SERTIFIKAT HALAL ATAU NON-HALAL?
Oleh SHIDARTA (November 2016)
Pada tahun 2014, melalui UU No. 33 Tahun 2014 telah ditetapkan peraturan tentang jaminan produk halal. Undang-undang ini mensyaratkan adanya peraturan pelaksanaan. Pada saat tulisan ini dibuat, peraturan pelaksanaan tersebuti tampaknya tinggal menunggu waktu untuk ditandatangani oleh Presiden Jokowi.
Regulasi tentang jaminan produk halal ini bertujuan mulia, yakni untuk memberikan kepastian bagi konsumen, khususnya konsumen Muslim, agar mereka dapat memakai, meminum, atau memakan produk yang dijamin kehalalannya secara syariah. Untuk keperluan ini, di Kementerian Agama RI sudah dibentuk unit kerja bernama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Badan inilah yang akan menertibkan sertifikat halal tersebut. Sebelum bisa menerbitkan sertifikat ini, tentu perlu ada pengujian kehalalan produk. BPJPH akan menggandeng institusi yang terakreditasi untuk mengujinya. BPJPH juga yang kemudian mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal ini.
Lalu, di mana posisi Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Organisasi non-pemerintah ini ternyata tetap dilibatkan karena BPJPH wajib melibatkan MUI di dalam sidang-sidang fatwa dalam menetapkan kehalalan suatu produk.
Produk yang wajib disertifikasi berjumlah sangat banyak. Terbanyak adalah di sektor makanan, minuman, farmasi, dan kosmetik. Menurut laporan Majalah Tempo (6 November 2016), untuk industri farmasi saja, kemampuan untuk mensertifikasi per tahun oleh BPJPH ditaksir hanya mampu mencapai 1.000 izin, sehingga jika ditotal keseluruhan prosesnya baru selesai setelah 22 tahun mendatang. Kesulitannya tidak hanya itu. Produk farmasi kita sebagian besar masih mengandalkan impor, yang berarti bakal berdampak pada iklim perdagangan internasional.
Negara-negara importir produk yang terkena ketentuan ini sudah mengajukan keberatan. Brazil, misalnya, sudah menggugat Indonesia di WTO dengan dalih Indonesia telah melakukan proteksi untuk industri daging ayam olahannya gara-garaa kewajiban bagi negara itu untuk melengkapi sertifikat halal. Malaysia juga mengajukan protes serupa karena pengurusan sertifikat halal di Indonesia ternyata tidak mudah, padahal importir Malaysia itu sudah mendapat sertifikat halal yang dikeluarkan oleh lembaga resmi di sana, yakni Jabatan Kemajuan Islam Malysia.
Jadi, alasan penolakan atas kebijakan sertifikasi halal ini tidak lain karena pertimbangan ekonomi semata. Biayanya diperkirakan bakal tinggi, sehingga konsumen pula yang akhirnya terbebani. Juga prosesnya butuh waktu lama, sehingga bakal mengganggu ketersediaan suplai produk itu di pasaran. Dalam iklim perdagangan internasional sekarang ini, kebijakan yang berdampak buruk bagi mitra perdagangan Indonesia akan mudah dibalas dengan kebijakan serupa oleh negara mitra. Hal ini juga sesuatu yang perlu diantisipasi.
Apabila sertifikasi halal ini diduga bakal menambah biaya produksi yang berdampak pada kenaikan harga barang/jasa, lalu apakah sertifikasi ini harus ditolak? Tentu tidak demikian jawabannya! Konsumen Muslim jelas tetap perlu diproteksi setelah mereka sekian lama mengalami kesulitan memastikan produk yang dikonsumsinya itu halal atau tidak halal. Mereka lebih mengandalkan intuisi dan kepercayaan saja, sementara peran lembaga pengawas dari Pemerintah tidak secara nyata dirasakan. Acuan satu-satunya adalah sertifikat dan label halal MUI, yang mungkin karena bersifat voluntary, belum menjangkau banyak produk.
Dalam penalaran hukum, persoalan apakah kewajiban sertifikasi ini ditujukan untuk produk halal atau justru non-halal, memang menjadi wacana menarik sejak lama. Oleh karena jumlah produk yang halal diasumsikan lebih banyak jumlahnya daripada yang non-halal, maka logikanya memang sertifikasi ini akan jauh lebih praktis jika ditujukan bagi produk non-halal saja. Dengan demikian, jika ada produsen yang menyajikan produk non-halal, ia wajib mengumumkannya kepada khalayak ramai bahwa produk ini tidak halal dikonsumsi oleh kaum Muslim. Namun, logika ini tidak berjalan di lapangan karena beberapa sebab.
Pertama, tidak semua pihak paham bagaimana menentukan suatu produk halal atau non-halal. Dapat saja terjadi seorang produsen yang beragama Islam sekalipun, sejak awal menyangka produknya sudah halal, padahal tidak/belum halal. Di foodcourt di ruang-ruang publik seperti pusat perbelanjaan, misalnya, kerap dijual makanan siap saji halal dan non-halal. Kendati dijual di gerai-gerai yang terpisah, ternyata konsumen di seluruh foodcourt itu tetap memakai piring, sendok, dan garpu yang sama, sehingga setelah perkakas itu dicuci dapat saja mereka saling bertukaran antara bekas gerai yang halal dan non-halal. Tidak ada jaminan bahwa teknik pencucian piring, sendok, dan garpu tersebut mengikuti ketentuan syariah. Hal-hal seperti ini bisa saja lepas dari pengetahuan pengelola foodcourt.
Kedua, jika produk non-halal yang wajib diumumkan ketidakhalalannya, maka pengujiannya secara substansial sebenarnya menjadi tidak diperlukan lagi. Buat apa dibuat mekanisme pengujian, termasuk uji laboratoriuim untuk produk yang sudah diklaim non-halal oleh pembuatnya? Oleh sebab itu, tetap harus ada sertifikat halal ini asalkan dilakukan dengan meminimalisasi dampaknya secara ekonomis dan sosial. Pemerintah perlu menjamin agar harga-harga produk tidak menjadi naik secara signifikan akibat beban biaya sertifikasi, sehingga inflasi juga tidak meningkat tajam. Untuk itu, tidak perlu semua produk diwajibkan sekaligus menjalani sertifikasi. Berilah skala prioritas, misalnya untuk industri makanan/minuman yang berskala besar, baru ke skala menengah, dan kecil. Mungkin saja diperlukan waktu sampai 10 tahun ke depan, namun itu jauh lebih baik agar jaminan sertifikasi ini tidak diberikan secara sembarangan (kejar target).
Khusus untuk produk yang berbahan impor, seharusnya BPJPH dapat mengakui kehalalan yang sudah diperoleh di negara asalnya. Sikap untuk mempercayai otoritas serupa di negara lain perlu digalakkan agar hubungan perdagangan internasional tidak diwarnai isu saling jegal dengan menciptakan rintangan perdagangan (trade barrier) yang tidak perlu. Langkah ini sekaligus bisa mengurangi antrian permintaan sertifikasi tersebut melalui BPJPH. Secara resiprosikal, BPJPH juga dapat memberikan sertifikasi halal untuk produk ekspor asal Indonesia, yang akan meringankan produsen kita dalam memasuki pangsa pasar berkonsumen Muslim di negara lain. Pertimbangan ini tentu sangat masuk akal; lain halnya jika pertimbangannya berbeda, yaitu untuk mendapatkan pendapatan dari sistem sertifikasi ini.
Ketiga, khusus untuk pelaku usaha kecil yang membutuhkan bantuan biaya sertifikasi, Pemerintah Indonesia di tingkat pusat atau daerah, perlu menyiapkan fasilitas khusus. Jadikan momentum sertifikasi halal ini sekaligus sebagai momentum peningkatan kualitas produk mereka. Produk makanan yang menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti boraks, formalin, zat pewarna tekstil, sudah demikian luas ditemukan di masyarakat. Ini bahan-bahan yang berbahaya, yang juga sekaligus bisa ditertibkan. Ada baiknya, kehalalan produk di sini bisa diperluas maknanya menjadi keamanan produk. Dengan demikian, sertifikat halal ini akan dirasakan manfaatnya oleh kalangan yang lebih luas, tidak hanya oleh konsumen Muslim.
Keempat, bagi pelaku usaha yang secara kasat mata dan patut diduga mengetahui sejak awal bahwa produknya mengandung bahan-bahan non-halal, atau mekanisme produksinya berkontaminasi dengan produk non-halal, tidak ada salahnya dihimbau untuk memberikan peringatan kepada konsumen mereka. Untuk itu, Kementerian Agama dapat mensosialisasikan pengetahuan praktis terkait kehalalan produk dalam hukum Islam dengan menggunakan bahasa sepopuler mungkin. Tujuannya agar terjalin kesadaran pelaku usaha untuk menghormati hak-hak konsumen Muslim dalam memperoleh informasi yang benar dan mencukupi atas produk yang mereka konsumsi. Hak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. (***)
Published at :