PENYADAPAN DALAM REKAM JEJAK MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh SITI YUNIARTI (Oktober 2016)
Perihal penyadapan kembali masuk dalam meja pemeriksaan uji materiil Mahkamah Konstitusi (MK) melalui gugatan yang diajukan Setyana Novanto terkait rekaman “Papa Minta Saham” yang disinyalir memuat percakapan dirinya dengan pejabat Freeport Indonesia. Penyadapan yang diberikan arti oleh UU ITE sebagai “kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan nirkabel, seperti pancaran elektronik atau radio frekuensi “, bukan kali ini diajukan ke MK. Rangkaian pertimbangan yang dituangkan MK dalam setiap putusannya setidaknya memberikan sudut pandang perihal penyadapan, yang sampai dengan hari ini belum memiliki payung hukum untuk secara detail mengaturnya. Berikut beberapa poin yang secara konsisten MK tuangkan dalam putusan – putusannya yang penulis rangkum dari Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 serta Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 22 Juni 2016.
Penyadapan dan Hak Asasi Manusia
Diakui bahwa penyadapan berguna sebagai salah satu metode penyidikan dan alternatif jitu dalam investigasi kriminal terhadap perkembangan modus kejahatan maupun kejahatan yang sangat serius. Dalam hal ini, penyadapan merupakan alat pencegahan dan pendeteksi kejahatan. Sekalipun demikian, penyadapan sebagai alat pencegah dan pendeteksi kejahatan juga memiliki kecenderungan yang berbahaya bagi hak asasi manusia, bila berada pada hukum yang tidak tepat (karena lemahnya pengaturan). Oleh karena itu, pembatasan-pembatasan penyadapan diperlukan karena penyadapan berhadapan langsung dengan perlindungan hak privasi individu.
Penyadapan dianggap sebagai intervensi atas hak-hak privasi warga negara yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun korespodensi yang dijamin dalam Pasal 28F ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut:
“Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 selanjutnya menyatakan:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaanya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat yang merupakan suatu hak asasi.”
MK menjelaskan bahwa hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai – nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.”
Oleh karena itu, melalui Putusan MK No.5/PUU-VIII/2010, MK membatalkan keberlakuan Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang mengamanatkan pengaturan mengenai tata cara penyadapan dengan Peraturan Pemerintah.
Hal-hal yang Perlu Diatur dalam Undang-Undang Mengenai Penyadapan
Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 itulah yang selanjutnya merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan dan apakah perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan itu baru dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukah justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup.
Lebih lanjut, disampaikan bahwa dalam membentuk aturan mengenai mekanisme penyadapan, perlu dilihat syarat-syarat penyadapan yakni:
- Adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang-Undang untuk memberikan izin penyadapan;
- Adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan;
- Pembatasan penanganan materi hasil penyadapan;
- Pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan.
Serta perihal yang harus ada dalam pengaturan penyadapan yaitu:
- Wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan;
- Tujuan penyadapan secara spesifik;
- Kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan;
- Adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan penyadapan;
- Tata cara penyadapan;
- Pengawasan terhadap penyadapan;
- Penggunaan hasil penyadapan.
Hasil Rekaman Sebagai Barang Bukti
Melalui Putusan No. 20/PUU-XIV/2016, MK menyatakan frasa ”Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Dengan kata lain, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik diakui sebagai barang bukti sepanjang perolehannya adalah sah sesuai ketentuan setingkat undang-undang yang mengaturnya. Dalam hal aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah, maka bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan. (***)