KEJELASAN SASARAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN KEADILAN DALAM UU PENGAMPUNAN PAJAK
Oleh ANISA OKTAVIA PERWITASARI (Oktober 2016)
Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak, seperti yang dimuat pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak) yang menyebutkan: “Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.” Dalam kalimat tersebut bisa kita tarik unsur-unsurnya. Ada tiga unsur yang ada dalam satu kalimat tersebut yaitu:
- Setiap wajib pajak, yang berarti bahwa semua wajib pajak yang di Indonesia baik itu orang pribadi atau badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat (2))
- Berhak mendapatkan, yang artinya: semua wajib pajak baik itu orang pribadi atau badan hukum mempunyai hak yang sama di mata hukum menurut UU Pengampunan Pajak.
- Pengampunan Pajak, yang berarti: penghapusan pajak terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (Pasal 1 ayat [1]).
Sasaran dari undang-undang ini adalah mereka baik itu orang pribadi maupun badan hukum yang selama ini mempunyai harta, baik yang berada di wilayah negara Republik Indonesia atau yang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia tanpa kecuali. Lalu timbul pertanyaan : apakah yang menjadi tujuan utama pemerintah dalam menetapkan Undang-Undang Pengampunan Pajak ini? Banyak polemik seiring dengan diundangkannya undang-undang ini, yang kemudian sampai pada gugatan uji materi (judicial review) terhadap undang-undang ini.
Hadirnya undang-undang ini adalah untuk mengisi kekosongan APBN yang pemasukannya ditarget fantastis yaitu sebesar 165 trilliun rupiah, yang berasal dari akumulasi perhitungan harta kekayaan pengusaha-pengusaha kaya Indonesia yang memarkir uangnya di luar negeri sejak 1970.
Terdapat keganjilan dalam UU Pengampunan Pajak ini. Pertama, bahwa sangat banyak pengusaha yang menyimpan kekayaan mereka di luar negeri dan tidak membayarkan pajaknya. Di sini ada unsur “hutang” pajak. Kedua, muncul Undang-Undang Pengampunan Pajak yang memberikan penghapusan pajak yang seharusnya sebagai hutang yang harus dibayar. Pertanyaan lebih lanjut adalah: apakah aturan ini dibuat untuk “memaksa” para pengusaha kaya menyenaraikan harta yang mereka miliki dengan cara memasang “umpan” menghapus pajak yang selama ini terhutang sejak tahun 1970 dan apakah aturan ini sengaja dibuat untuk melegalisasi harta pengusaha yang bahkan bisa jadi harta tersebut bersumber dari bisnis ilegal atau kejahatan pajak internasional.
Peraturan perundang-undangan tersebut seolah-olah hanya sebagai tameng pelindung bagi para pengusaha untuk mendaftarkan hartanya. Sehingga dengan demikian patut dipertanyakan terkait dengan asas kepastian hukumnya. Asas keadilan juga muncul untuk bisa dibicarakan karena unsur “setiap wajib pajak” seperti yang dijelaskan di atas semestinya berlaku untuk semua warna negara Indonesia tanpa kecuali, namun hal ini dirasa mengusik asas keadilan untuk mereka yang selama ini taat membayar pajak.
Selanjutnya yang menjadi sorotan dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah Pasal 21 ayat (2),(3) dan (4) serta Pasal 22 yang membahas sebagai berikut:
Pasal 21 ayat (2) Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain. Pasal 21 ayat (3) Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri. Pasal 21 ayat (4) Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 22 menyebutkan: Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari sisi transparansi, pengampunan pajak dianggap tidak menunjukkan upaya kooperatif dalam membangun transparansi baik untuk kepentingan perpajakan maupun perdagangan internasional. Karena segala hal yang berhungan dengan pajak adalah hal yang sensitif. Masyarakat tidak diperkenankan untuk ikut tahu tentang harta siapa saja yang selama ini pajaknya berhutang. Masyarakat Indonesia belum percaya kepada pemerintah jika transparansi yang seharusnya dikedepankan menjadi hilang dalam undang-undang ini.
Unsur “setiap wajib pajak” seperti yang diuraikan di atas yang berarti bahwa semua warga negara Indonesia sama tanpa kecuali (equality before the law,” All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law…..”). Pasal 22 UU Tax Amesty mengesankan imunitas pajak pagi para pejabat negara. Untuk menutup pembahasan ini adalah dengan pertanyaan siapa yang bisa menjamin keseluruhan itikad baik yang terjadi dalam proses “tax amnesty”? (***)
Catatan: ANISA OKTAVIA PERWITASARI adalah mahasiswa Jurusan Business Law BINUS. Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulisnya; tidak mencerminkan pandangan institusi BINUS.
Published at :