HAK CIPTA PADA TRAVEL PHOTOGRAPHY
Oleh SITI YUNIARTI (Oktober 2016)
Era digital merambah berbagai bidang, termasuk fotografi. Aktivitas yang apabila diterjemahkan secara harfiah dalam Bahasa Yunani sebagai “melukis dengan cahaya” (Fos= cahaya; Grafo = melukis) ini telah mengalami transformasi dari era analog menjadi era digital. Tak dipungkiri bahwa era digital memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk melakukan eksplorasi dalam fotografi, baik sebagai amatir maupun profesional. Eksplorasi tersebut melahirkan pula variasi peminatan yang lebih spesifik dalam fotografi, salah satunya adalah travel photography.
Travel photography didefinisikan oleh The Photography Society of America sebagai a travel photo as an image that expresses the feeling of a time and place, portrays a land, its people, or a culture in its natural state, and has no geographical limitation (https://en.wikipedia.org/wiki/Travel_photography) . Travel dan fotografi memang merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Dari sekadar dilakukan untuk mengabadikan perjalanan seseorang sampai dengan untuk tujuan promosi. Potret yang dihasilkan dari kegiatan travel photography merupakan hal yang juga memperoleh perlindungan hukum hak kekayaan intelektual berupa hak cipta.
Perihal perlindungan hak cipta, Indonesia telah meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Bern tentang Pelindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property Organization Copyright Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO) y melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997, serta World Intellectual Property Organization Performances and Phonograms Treaty (Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram WIPO) melalui Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2004. Adapun pengaturan hak cipta atas Potret diatur dalam Undang – Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”).
Berdasarkan UU Hak Cipta, penggunaan secara komersial, penggandaan, pengumuman, pendistribusian dan/atau komunikasi atas Potret yang dibuat untuk kepentingan reklame atau periklanan secara komersial wajib mendapat persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya. Apabila dalam suatu potret memuat 2 (dua) orang atau lebih maka persetujuan wajib diperoleh dari setiap orang yang termuat dalam potret tersebut.
Berbeda dengan peminatan fotografi lainnya seperti fashion photography, aktivitas travel photography pada umumnya kerap dilakukan secara spontan di mana si fotografer tidak menciptakan objek secara sengaja. Apabila objek yang diambil merupakan landscape, maka tidak diperlukan persetujuan untuk menggunakannya untuk keperluan komersial. Hal berbeda muncul ketika objek yang diambil adalah manusia, baik sebagai bagian dari suatu aktivitas atau sebagai objek tunggal dalam potret. Dalam kondisi demikian, maka persyaratan persetujuan dari orang yang dipotret hendaklah diperhatikan. Hal ini tentulah tidak mudah mengingat nature dari travel photography sebagaimana diuraikan di atas. (***)
Published at :