CATATAN ATAS PERGUB ACEH TERKAIT CUTI MELAHIRKAN SELAMA ENAM BULAN
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Oktober 2016)
Pemerintah Daerah Aceh sangat mendukung akan gerakan pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif. Hal ini dituangkan dalam Peraturan Gubernur No. 49 Tahun 2016 tentang Pemberian Air Susu Ibu Ekslusif (PerGub No. 49 Tahun 2016). PerGub No. 49 Tahun 2016 tersebut mendorong dilakukannya inisiasi dini sampai dengan pemberian ASI Ekslusif kepada bayi selama enam bulan dimana dalam PerGub No. 49 Tahun 2016 ini peran tenaga kesehatan, fasilitas tenaga kesehatan serta pengusaha diatur guna mencapai tujuan dari pembuatan PerGub No. 49 Tahun 2016 ini.
Salah satu hal yang diatur dalam PerGub No. 49 Tahun 2016 tersebut adalah pemberian cuti melahirkan selama lebih dari tiga bulan. Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan Tenaga Honorer di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Aceh cuti melahirkan diberikan selama enam bulan dan dua puluh hari, dimana cuti melahirkan diberikan dua puluh hari sebelum melahirkan dan cuti pasca melahirkan diberikan selama enam bulan guna pemberian ASI ekslusif. Selain itu bagi suami dari PNS, PPPK dan Tenaga Honorer di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Aceh diberikan cuti selama empat belas hari dimana cuti diberikan selama tujuh hari sebelum melahirkan dan tujuh hari setelah melahirkan. Hal ini berbeda dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil (PP No. 24 Tahun 1976) dimana cuti bersalin hanya diberikan selama tiga bulan dimana satu bulan diberikan sebelum persalinan dan dua bulan diberikan setelah melahirkan. Pemberian cuti tersebut pun hanya dibatasi pada saat melahirkan anak pertama dan anak kedua saja. Sedangkan cuti bagi suami tidak diatur.
Sayangnya para pekerja perempuan di lingkungan swasta di Propinsi Aceh dikecualikan. Ketentuan mengenai cuti hamil bagi pekerja perempuan di lingkungan swasta tidak diatur dalam PerGub No. 49 Tahun 2016 karena dalam PerGub No. 49 Tahun 2016 hanya diatur bahwa Pengusaha wajib memberikan cuti melahirkan baik bagi pekerja dan suaminya yang lamanya diatur dalam Peraturan Perusahan atau Perjanjian Kerja Bersama. Dengan demikian lamanya cuti melahirkan tersebut akan merujuk pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Dimana cuti melahirkan diberikan selama satu setengah bulan sebelum dan sesudah melahirkan serta bagi suami diberikan cuti melahirkan selama dua hari. Akan tetapi ketentuan dalam UU Ketengakerjaan tersebut merupakan normatif minimum yang artinya aturan tersebut bisa dibuat lebih asalkan diatur dalam Peraturan Perusahaan atau disepakati bersama antara perusahaan dengan serikat pekerja dalam Perjanjian Kerja Bersama. Faktanya telah ada beberapa perusahaan yang memberikan cuti melahirkan sampai dengan empat bulan atas dasar ketentuan Peraturan Perusahaan atau pun Perjanjian Kerja Bersama. Akan tetapi patut disayangkan adalah Gubernur Aceh dalam PerGub No. 49 Tahun 2016 tidak mendorong dan memerikan fasilitasi bagi Pengusaha untuk memberikan cuti melahirkan yang sama dengan para PNS, PPPK dan Tenaga Honorer di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Aceh, sehingga PerGub No. 49 Tahun 2016 tersebut menjadi seakan-akan berat sebelah.
Tentu lahirnya PerGub No. 49 Tahun 2016 ini sangat disambut baik perempuan dan pendukung feminisme. Memang sudah lama disuarakan bahwa pengaturan cuti melahirkan sebaiknya lebih dari tiga bulan guna memberikan waktu bagi ibu untuk dapat mengurus bayinya. Apalagi jika dibandingan dengan negara-negara lainnya dimana durasi cuti melahirkan lebih lama dengan berbagai skema. Di Swedia misalnya, cuti hamil diberikan selama satu tahun dengan ketentuan boleh diambil sampai dengan anak berusia delapan tahun dengan pembayaran gaji selama cuti sebanyak delapan puluh persen serta suami diberikan cuti melahirkan selama dua bulan. Tentunya kebijakan lamanya cuti melahirkan tersebut didasarkan pada arah kebijakan negara tersebut. Di Swedia yang merupakan negara maju hal tersebut dapat dilakukan meninggat angka kelahiran yang sudah mendekati nol sehingga hal ini merupakan bagian dari kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran. Tentuanya di Indonesia hal tersebut masih belum dilakukan, dimana tidaklah mungkin cuti melahirkan bisa diberikan sampai jangka waktu satu tahun, namun angka tiga bulan juga belumlah ideal sehingga PerGub No. 49 Tahun 2016 patut diapresiasi.
Meskipun demikian ada beberapa hal yang menjadi catatan penting mengenai PerGub No. 49 Tahun 2016 ini. Pertama adalah produktifitas. Pemberian cuti yang melebihi dari tiga bulan akan mengganggu produktifitas kinerja di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Aceh terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik. Kiranya perlu diamati dan dikaji lebih lanjut mengenai hal ini jangan sampai lamanya pemberian cuti melahirkan tersebut menjadi kambing hitam turunnya produktifas kerja. Selain itu yang peting adalah mengenai keberlakuan asas lex superior derogat legi inferiori. Ketentuan mengenai cuti melahirkan dalam PerGub No. 49 Tahun 2016 ini bertentangan dengan ketentuan dalam PP No. 24 Tahun 1976. Akan tetapi Aceh merupakan daerah dengan otonomi khusus berdasarkan keislaman sehingga menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo keberadaan PerGub No. 49 Tahun 2016 dipersilakan asalkan tidak bertentangan dengan enam kewenangan pusat yaitu mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Akan tetapi menyangkut cuti melahirkan ini juga berlaku bagi PNS yang bukan hanya berstatus sebagai pegawai pemerintah daerah namun juga PNS dari lembaga atau departemen yang ditempatkan atau bekerja di Provinsi Aceh sehingga sedikit banyak hal ini beririsan dangan kewenangan kepegawian pemerintah pusat sehingga berpotensi untuk dibatalkan. (***)
Published at :