MAKNA ISTILAH “PENGEMBANAN HUKUM”
Oleh SHIDARTA (Oktober 2016)
“Pengembanan hukum” adalah sebuah istilah yang terkesan baru dan belum banyak dipakai. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Almarhum Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H., guru besar bidang filsafat hukum dari Universitas Katolik Parahyangan. Terminologi ini dialihbahasakan beliau dari istilah hukum berbahasa Belanda: “rechtsbeoefening”.
“Beoefening” secara harfiah berarti “praktik,” namun ketika kata ini digabungkan menjadi kata majemuk “rechtsbeoefening” maka ia tidak lagi tepat untuk diterjemahkan menjadi “praktik hukum”. Prof. Arief menyadari bahwa “rechtsbeoefening” lebih luas maknanya daripada praktik hukum. Oleh sebab itu, beliau memilih kata “pengembanan” yang berasal dari kata dasar “emban”. Kata kerja “mengemban” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung arti: (1) menggendong (kanak-kanak dan sebagainya) dengan kain atau selendang; (2) melaksanakan (tugas, cita-cita, kewajiban, dan sebagainya), contoh: guru mengemban tugas mulia sebagai pendidik. Prof. Arief lalu memilih pilihan kedua di atas, sehingga kata “pengembanan hukum” (rechtsbeoefening) mengandung arti sebagai pelaksanaan tugas/cita-cita/kewajiban di bidang hukum.
Prof. Arief pernah berpikir untuk memakai istilah lain sebagai pengganti “pengembanan hukum,” yaitu “pereksaan hukum”. Kata “pereksaan” ini diartikan sebagai “penjagaan”. Beliau lalu berpikir untuk tidak memakai kata ini karena bunyi kata “reksa” dekat dengan bunyi kata “rusak”. Beliau khawatir, nanti kata pereksaan hukum menjadi perusakan hukum. Pada akhirnya beliau menginisiasi istilah “pengembanan hukum” yang sayangnya kerap dikacaukan dengan “pengembangan hukum” (dari kata dasar “kembang”).
Saya sendiri menawarkan menggunakan istilah lain, yaitu “fungsionalisasi hukum,” yaitu tindakan memfungsikan hukum. Orang yang memfungsikan hukum ini disebut “fungsionaris hukum.” Istilah “fungsionaris hukum” ini lebih lazim dikenal daripada “pengemban hukum” (rechtsbeoefenaar [tunggal] atau rechtsbeoefenaren [jamak]).
Mari kita kembali ke istilah “pengembanan hukum.” Pengembanan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) pengembanan hukum teoretis, dan (2) pengembanan hukum praktis. Pengembanan hukum ini berada dalam forum hukum yang disebut audtioria iuridica. Dalam pengembanan hukum teoretis, para pengemban (fungsionaris) hukum itu menjalankan kegiatan berhukum secara teoretis, misalnya menjadi akademisi hukum, ilmuwan hukum, teoretisi hukukm, atau filsuf hukum. Kegiatan pengembanan hukum praktis mengandung arti kegiatan hukum di dalam praktik, mencakup kegiatan pembentukan hukum (legislasi), penemuan hukum (yudikasi), atau pembantuan hukum (advokasi). Dapat juga ditambahkan kegiatan lain di sini, yaitu birokrasi hukum. Ada dua profesi hukum praktis (praktisi hukum), yaitu profesi bebas dan profesi tidak bebas. Pengertian profesi bebas ini adalah profesi yang bekerja dan mendapat penghasilan berangkat dari hubungan profesional dengan kliennya, seperti advokat dan notaris. Profesi tidak bebas adalah profesi yang kedinasan di instansi publik dan di institusi swasta. Misalnya hakim, jaksa, dan polisi, adalah profesi hukum yang tidak bebas karena diangkat sebagai pejabat publik. Ada juga profesi tidak bebas karena hubungan ketenagakerjaan sebagai in-house lawyer di perusahaan.
Istilah pengembanan hukum dengan demikian, merupakan istilah yang sama dengan fungsionalisasi hukum, yakni semua kegiatan yang mengacu pada adanya hukum dan/atau berlakunya hukum. Kegiatan tentang “adanya hukum” dipersepsikan sebagai aktivitas berkenaan dengan hukum dalam keadaan diam sebagaimana tersedia dalam berbagai bentuk sumber-sumber hukum (law as it is in the books), sementara kegiatan tentang “berlakunya hukum” adalah aktivitas berkenaan dengan hukum dalam keadaan bergerak atau berlaku senyatanya di masyarakat (law as it applies in the society). Dua kegiatan ini sebenarnya menjadi perhatian semua fungsionaris hukum, baik oleh pengemban hukum teoretis maupun pengemban hukum praktis. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa pengemban hukum teoretis hanya berkutat pada persoalan adanya hukum, sedangkan pengembanan hukum praktis berfokus pada persoalan berlakunya hukum. Pengembanan hukum teoretis pun akan memperhatikan hukum itu ketika berlaku di masyarakat. Sebaliknya pengembanan hukum praktis pun akan mencermati bagaimana hukum itu ada di dalam konstelasi sumber-sumber hukum, baik dalam bentuk undang-undang, kebiasaan, doktrin, traktat, yurisprudensi, dan seterusnya.
Seorang akademisi yang notabene menyandang predikat sebagai pengemban hukum teoretis, tidak boleh membatasi dirinya sekadar sebagai peneliti hukum tertulis persis sebagaimana adanya di dalam peraturan perundang-undangan. Akademisi dapat saja meneliti bagaimana peraturan perundang-undangan itu berlaku di lapangan. Artinya, makna hukum yang dicernanya melalui peraturan perundang-undangan akan menjadi lebih kaya dengan asupan data empiris di lapangan. Akademisi ini tentu tidak harus menjadi praktisi hukum terlebih dulu agar ia dapat memperoleh pemahaman ini.
Di sisi lain, seorang pengemban hukum praktis juga tidak boleh hanya melihat hukum yang berlaku, melainkan juga harus berkonsultasi dengan hukum yang ada di dalam khazanah hukum positif. Apabila ada perbedaan dalam pemaknaan hukum itu (legal gaps) antara hukum dalam praktik dan hukum dalam teori, maka praktisi hukum harus mencari alternatif-alternatif pemecahan masalahnya. Dari alternatif-alternatif itu lalu dipilih salah satu di antaranya sebagai [ke]putusan akhir. Produk dari pengembanan hukum praktis adalah [ke]putusan (decision). Tuntutan ini tidak dipaksakan untuk para pengemban hukum teoretis. (***)