Oleh SHIDARTA (Oktober 2016)

Sejak beberapa bulan terakhir ini, mungkin banyak di antara pembaca sudah tidak merasa nyaman lagi pergi ke rumah ibadah. Bisa itu terjadi di saat menunaikan ibadah shalat Jumat di masjid atau ketika melaksanakan ibadah Minggu di gereja. Memang, pilkada serentak masih sekitar setengah tahun lagi, tetapi aroma pekat politik sudah demikian kuat terasa, khususnya bagi yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya.

Tulisan ini tidak ingin mengupas soal halal haram jika para pengkhotbah ikut-ikutan jadi juru kampanye; terlepas kampanye hitam atau putih. Biarlah itu masuk ke dalam ranah agama masing-masing. Tulisan ini justru ingin mempersoalkan fenomena kesesatan berpikir yang kerap diperagakan oleh para pengkampanye berkedok rohaniawan ini.

Larangan untuk menjadikan rumah ibadah sebagai tempat kampanye politik sudah sangat jelas. Itulah sebabnya spanduk, pamflet, brosur, atau apapun asesoris yang mengarah kepada salah satu calon, dilarang untuk dipasang, diletakkan, atau disebarkan di rumah-rumah ibadah. Jika asesosir seperti ini dilarang, maka tentu dengan sendirinya juru kampanye pun tidak boleh masuk dan menjalankan aktivitas di rumah ibadah. Juru kampanye ini tidak harus anggota resmi tim sukses, tetapi bisa siapa saja yang mengunakan fasilitas rumah ibadah itu untuk “menjual” calon yang diusungnya, atau sebaliknya “menjelekkan” calon lain yang tidak diusungnya. Artinya, bisa kampanye positif atau negatif, keduanya terlarang.

Kondisinya sangat mengecewakan ketika ada pemegang otoritas penyelenggara pemilihan pejabat publik di negeri ini yang membolehkan jika berlangsung di rumah ibadah agama tertentu suatu anjuran untuk tidak memilih seseorang. Alasannya, karena di rumah ibadah agama lain, ditemukan ada anjuran untuk memilih calon tertentu. Pejabat ini ingin tampak adil, bahwa kalau di rumah ibadah A rohaniawan boleh menganjurkan umatnya untuk memilih seseorang sebagai kepala daerah, maka di rumah ibadah B boleh juga orang menganjurkan untuk tidak memilih orang itu sebagai pemimpin.

Dalam logika cara berargumentasi seperti ini dipandang sesat (fallacy). Di sini terjadi kesesatan yang disebut “tu quoque” (baca: tu:kwookwi). Kesesatan ini diajukan biasanya untuk membantah serangan lawan dengan cara menunjukkan bahwa lawan bicaranya itupun melakukan hal yang sama seperti yang dialamatkan kepada orang lain.  Biasanya saya kerap memberi contoh kasus seperti ini. Anggaplah Anda sedang berkendara sepeda motor dan terlanjur masuk di ruas jalan yang tidak boleh Anda lewati karena hanya diperuntukkan bagi kendaraan satu arah. Polisi yang melihat Anda salah masuk jalan, berusaha untuk mengejar. Ia pun ikut masuk di ruas jalan yang salah itu. Ketika polisi itu berhasil menahan Anda, ia mengajukan pertanyaan: “Mengapa Anda masuk di jalan yang arus lalu lintasnya berlawan arah?” Anda lalu menjawab dengan cara “tu quoque” bahwa polisi itupun melakukan perbuatan yang sama,  yakni ikut-ikutan melanggar larangan masuk.

Fenomena “kamu juga” (you also) sebenarnya biasa diadakan di dalam penalaran hukum. Apabila dalam suatu perjanjian ada A berhutang kepada B dan tidak membayar hutang itu, dan pada saat yang sama B ternyata juga berhutang kepada A, maka di sini terjadi perjumpaan hutang. Apabila A wanprestasi untuk melunasi hutangnya, maka B juga boleh melakukan hal yang sama.

Lalu bagaimana dengan kasus kampanye tadi? Dalam konteks tersebut, jelas fenomena “tu quoque” ini tidak dapat dibenarkan karena sungguh-sungguh memperlihatkan kesesatan bernalar. Sangat tidak pantas jika larangan kampanye di rumah ibadah yang semula dilarang, kemudian menjadi dibenarkan hanya karena ada pihak tertentu yang sudah memulai. JIka mereka memulai, maka sah saja jika pihak lainnya ikut melakukan hal yang sama.

Pembenaran kesesatan dalam ilmu hukum seperti contoh di atas terjadi di ranah hukum privat. Perjanjian hutang piutang adalah suatu perjanjian di ranah privat. Kejadian itu tidak dapat diterapkan untuk kasus-kasus yang berada di ranah hukum publik. Dalam ranah hukum publik, tindakan anti-sosial berupa pelanggaran hukum publik, tidak boleh dibalas dengan tindakan anti-sosial. Apabila ini dilakukan, apalagi atas pembenaran oleh aparat resmi, maka dengan sendirinya yang bersangkutan telah menganjurkan masyarakat untuk saling melanggar hukum. Akibatnya dapat diduga, yakni justifikasi-justifikasi atas nama agama akan bermunculan di rumah-rumah ibadah kita, seperti terjadi saat ini. Sungguh, tidak ada pelanggaran hukum yang lebih buruk daripada pelanggaran hukum yang diberi bumbu-bumbu pembenaran spiritual di dalamnya! (***)


SHD