MENGUJI LOGIKA BERPIKIR MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN
Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (Oktober 2016)
Cerita tentang bukti rekaman “Papa Minta Saham” memang sudah tidak banyak diperbincangkan, namun banyak orang mencoba mengingatnya kembali dikarenakan lontaran wacana kemungkinan Setya Novanto menduduki kembali “singgasana”-nya sebagi ketua DPR-RI. Wacana ini mencuat sejak dikabulkannya Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas nama Drs. Setya Novanto, Ak (A-300/F-PG), isi keputusan sidang MKD memang belum dikeluarkan ketika tulisan ini dibuat. Namun, penulis dapat menduga kira-kira putusan itu akan memberi angin segar: (1) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Sdr. Drs. Setya Novanto, Ak terhadap proses Persidangan atas Perkara Pengaduan Sdr.Sudirman Said. (2) menyatakan bahwa proses persidangan perkara tidak memenuhi syarat hukum untuk memberikan Putusan Etik karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 bahwa alat bukti rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam proses persidangan MKD adalah tidak sah; dan (3) memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Saudara Setya Novanto dan pihak-pihak lain yang terkait dalam Proses Persidangan MKD.
Secara kronologi pengajuan Peninjaun Kembali Putusan MKD di atas basisnya adalah setelah dikabulkannya sebagian gugatan uji materi atau judicial review (JR) yang diajukan oleh Setya Novanto ke Mahkamah Konstitusi, terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan, yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ) yang menyebutkan bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan sah, serta diatur juga dalam Pasal 26 A UU KPK yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik. Inti koreksi MK lewat putusan Nomor 20 Tahun 2016 adalah : rekaman elektronik tidak bisa dipakai lagi sebagai alat bukti kecuali dilakukan oleh penegak hukum.
Sekarang mari kita lihat logika berpikir MKD dalam mengambil keputusan berdasarkan fakta yang ada;
Fakta pertama
Putusan Mahkamah Konstitusi hanya berkaitan langsung dengan proses penegakan hukum. JR yang mengkoreksi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak otomatis pula menghapus ketentuan serupa dalam aturan yang menyangkut kode etik yang ada di DPR dan faktanya sampai sekarang DPR juga belum mengubah Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan. Pasal 27 huruf d peraturan itu jelas memasukkan rekaman elektronik sebagai alat bukti. Aturan ini mendeskripsikan jenis alat bukti, yakni informasi yang dapat dibaca, dilihat, atau didengar, termasuk rekaman elektronik.
Fakta kedua
Pada dasarnya norma hukum tidak boleh berlaku surut, dalam hal ini kita temukan suatu fakta kedua bahwa pada dasarnya nama baik Setya Novanto tetap susah dipulihkan hal ini disebabkan karena aturan etik dan pidana seharusnya tidak bisa berlaku surut demi menegakkan kepastian hukum. Kalau asas ini diabaikan, betapa kacaunya proses penegakan etika dan hukum. Banyak sekali pelanggar hukum dan etik yang harus dibebaskan dari hukuman atau dipulihkan nama baiknya gara-gara perubahan aturan. Saat Setya Novanto diadili dalam sidang etik, aturan mengenai rekaman sebagai alat bukti jelas masih berlaku
Fakta ketiga
Setya Novanto mengundurkan diri ini adalah fakta yang ketiga, jadi sebenarnya Mahkamah Kehormatan Dewan tidak pernah mengeluarkan putusan mengenai skandal Setya. Sidang kasus “Papa Minta Saham” karena kasus ini ditutup pada 26 Desember 2015 tanpa putusan dengan alasan Setya Novanto sudah mengundurkan diri sebagai Ketua DPR. Keputusan menghentikan sidang tanpa putusan itu sungguh keliru karena Setya diadili sebagai anggota Dewan dan bukan sebagai Ketua DPR. Mahkamah semestinya tetap mengeluarkan putusan, bahkan jika perlu memberikan sanksi berupa pemecatan Setya Novanto dari anggota DPR. Kini Mahkamah menambah blunder dengan memulihkan nama baik Setya Novanto. Apa yang dipulihkan bila Mahkamah tak pernah menjatuhkan putusan atas kasus Setya Novanto.
Ketiga fakta diatas cukup memberikan gambaran terkait kuatnya posisi tawar dari Setya Novanto di kancah politik dengan kendaraan partainya, karena beliau sekarang adalah ketua Umum Partai Golkar, cerita Setya novanto rupanya masih bersambung karena mulai berhembus wacana Setya Novanto kembali menjadi ketua DPR-RI, mari kita tunggu cerita berikutnya. (***)