MENGENAL REGULATORY SANBOX PADA FINTECH
Oleh BAMBANG PRATAMA (September 2016)
Pada tulisan sebelumnya dijelaskan tetang FinTech dan prinsip pengaturannya. Sejalan dengan prinsip pengaturan FinTech, ada model pengaturan yang saat ini booming dan dikenal secara global terkait FinTech, yaitu regulatory sandbox. Pengaturan model sandbox ini dipelopori oleh Inggris dengan nama regulatory sandbox atau program uji coba bagi start-up FinTech. Maksud dari sandbox adalah agar para pelaku FinTech dapat menguji sistem dan bisnisnya dengan rentang waktu antara 6 bulan sampai 12 bulan sebelum bisnisnya dioperasikan secara penuh. Dalam masa uji coba ini, perusahaan FinTech akan didampingi oleh pemerintah secara administrasi hukum dan operasional sistem, sehingga tidak ada aturan yang dilanggar oleh perusahaan FinTech.
Melalui program sandbox Inggris dianggap sebagai negara yang berhasil melahirkan start-up FinTech. Akibatnya, banyak negara-negara lain yang meniru seperti: Australia, Hongkong, Singapura dan Malaysia. Perlu diketahui, bahwa sebelum Inggris mengeluarkan program sandbox, Inggris terlebih dahulu membuat payung hukum (umbrella law) keuangannya pada tahun 2000. Selain infrastruktur hukum, kelembagaan hukum juga dibangun oleh Inggris dengan mendirikan ombudsman financial pada tahun 2001. Dengan dukungan sarana dan prasarana hukum maka tentunya program sandbox menjadi program pendukung untuk mempercepat pertumbuhan FinTech.
Kunci utama dari keberhasilan sistem sandbox terletak pada pendampingan pemerintah. Oleh sebab itu, sandbox hanyalah sebuah nama program yang bertujuan untuk mengembangkan perusahaan-perusahaan FinTech. Melalui pendampingan hukum dan pendampingan teknis, maka FinTech akan teruji sebelum beroperasi di masyarakat. Setelah pendampingan kemudian pemerintah menetapkan ijin operasional dan standar pelayanan. Tujuan utama dari program sandbox adalah mendapat kepercayaan publik bahwa FinTech yang lahir itu akan aman dalam beroperasi. Dengan adanya kepercayaan masyarakat maka tentunya pengguna akan lebih banyak. Ini menunjukkan bahwa instrumen hukum keuangan Inggris dirancang sedemikian rupa dengan berorientasi kepada pasar (market-oriented). Meski berorientasi pada pasar tentunya secara nasionalisme juga tetap dijaga keseimbangannya, yaitu dengan menjaga agar industri keuangannya tetap kuat untuk berkompetisi di negara-negara Uni Eropa. Secara umum, program sandbox dapat digambarkan sebagai berikut.
Diadopsi dari pengaturan FinTech di beberapa negara
Start-up FinTech, untuk dapat mengikuti program sandbox harus mendaftar diri, kemudian mengikuti beberapa assesment awal dan akhir sebelum beroperasi penuh. Komponen umum yang dinilai oleh pemerintah kepada start-up antara lain:
Internal Perusahaan, cakupannya: manajemen pengurus dan reputasinya, kebaruan (novelty) dan manfaat, pendanaan, konsultan hukum.
Eksternal Perusahaan, yang terbagi menjadi dua, yaitu: a) dengan perusahaan lain (persaingan usaha), dan b) dengan konsumen, yang mencakup perlindungan konsumen, informasi konsumen, edukasi konsumen, dan penyelesaian sengketa konsumen.
Belajar dari keberhasilan Inggris dalam mengatur industri keuangannya, ada dua kunci utama yang dapat diambil, yaitu: pendampingan pemerintah, dan kepercayaan publik. Pendampingan pemerintah menjadi penting agar aturan hukum yang ada tidak menjadi hambatan munculnya perusahaan FinTech. Sedangkan kepercayaan publik menjadi penting agar masyarakat mau menggunakan jasa FinTech, sehingga roda ekonomi FinTech berjalan dengan baik.
Rekayasan sosial melalui hukum FinTech memang memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang dirancang secara terstruktur dan terencana, salah satunya dengan mendirikan ombudsman financial yang bertujuan untuk membangun kepercayaan publik. Kepercayaan menjadi penting karena publik adalah end-user dari FinTech. Tanpa adanya kepercayaan publik, sebaik apapun bisnis model dari FinTech dan sebaik apapun aturan hukum tentang FinTech maka pengguna FinTech tidak akan banyak, yang mana berakibat bisnis FinTech di Indonesia menjadi tidak seksi karena penggunanya sedikit.
Pengaturan FinTech saat ini merupakan tuntutan global bagi industri keuangan. Saat ini masalah yang dihadapi oleh negara maju dan negara berkembang seperti Indonesia adalah sama yaitu bagaimana mengembangkan FinTech. Artinya, kesamaan level-playing-field antara negara maju dan negara berkembang ini harusnya dapat menjadi peluang bagi negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan regulasi. Harapannya di kemudian hari pertumbuhan FinTech di Indonesia dapat berkembang dengan baik dan aman. (***)