JUSTICE COLLABORATOR
Oleh SITI YUNIARTI (September 2016)
Anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putrati, berserta dua asistennya, telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait kasus suap untuk proyek rekonstruksi jalan sebesar Rp8,1 milliar dari Direktur PT. Windhu Tunggal Utama. Selain pengenaan hukuman, Majelis Hakim mengabulkan permohonan ketiganya sebagai Justice Collaborator dalam kasus terkait.
Perihal Justice Collaborator atau Saksi Pelaku Yang Bekerjasama diatur secara eksplisit dalam United Nations Convention against Corruption tahun 2003 yang diratifikasi melalui Undang – Undang No. 7 tahun 2006, United Convention against Transnational Organized Crimes tahun 2000 yang diratifikasi melalui Undang-Undang No.5 Ttahun 2009 serta Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 (UU Perlindungan Saksi).
Ada dua hal yang sekiranya ingin disampaikan terkait penerapan Justice Collaborator. Pertama, perihal lingkup tindak pidana yang dapat menerapkan konsep Justice Collaborator. Dalam dua konvensi PBB tersebut di atas, lingkup pengurangan hukuman atas terdakwa yang memberikan kerja sama dalam penyelidikan diberikan untuk tindak pidana yang menjadi lingkup konvensi. Adapun UU Perlindungan Saksi tidak memberikan secara rinci perihal lingkup tindak pidana yang dapat menerapkan konsep Justice Collaborator. Kendati demikian, Pasal 2 UU Perlindungan Saksi memberikan lingkup interpretasi yang luas mengenai keberlakuan UU Perlindungan Saksi yaitu dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkup peradilan. Lebih lanjut, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban RI No.: M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor : PER-045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011, Nomor: 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Peraturan Bersama), menyatakan bahwa tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisasi, yaitu tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan/atau tindak pidana lain yang dapat menimbulkan bahaya dan mengancam keselamatan masyarakat luas. Adanya frasa “tindak pidana lain yang dapat menimbulkan bahaya dan mengancam keselamatan masyarakat luas” merupakan exit door untuk diberlakukannya konsep Justice Collaborator terhadap tindak pidana lain diluar tindak pidana yang telah secara eksplisit dicantumkan dalam Peraturan Bersama tersebut.
Kedua, perihal tolak ukur yang dapat digunakan untuk melakukan interpretasi atas frasa “meringankan pidana” sebagai penghargaan yang diberikan kepada Saksi Pelaku sebagaimana dinyatakan dalam UU Perlindungan Saksi sebagai berikut:
Pasal 10A ayat (1) dan (3):
(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Keringanan penjatuhan pidana; atau Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Penjelasan Pasal 10A:
Yang dimaksud dengan “keringanan penjatuhan pidana” mencakup pidana percobaan, pidana bersyarat khusus atau penjatuhan pidana yang paling ringan di antara terdakwa lainnya.
Pengertian tersebut sejalan dengan SEMA No. 04 tahun 2011 perihal “Perlakukan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistelblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) Di Dalam Tindak Pidana Tertentu” (“SEMA 04/2011”) sebagai berikut:
Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut:
- Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus;dan/atau
- Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.
Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Dari rangkaian uraian di atas, perlu digarisbawahi bahwa penentuan mengenai keringanan pidana merupakan kewenangan penuh dari hakim. Adapun LPSK sesuai ketentuan dalam UU Perlindungan Saksi hanya memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutanya kepada hakim. Dengan perkataan lain, dalam hal hakim berpendapat bahwa permohonan status sebagai Justice Collaborator tidak dapat dikabulkan maka keringanan hukuman menjadi tidak dapat diberikan. Padahal di sisi lain, Saksi Pelaku telah memberikan kesaksian yang menurut pertimbangan LPSK maupun penuntut umum memberikan kontribusi dalam pengungkapan kasus tersebut sehingga layak untuk dijadikan sebagai Justice Collaborator. Seperti yang terjadi pada Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama di mana permohonan sebagai Justice Collaborator yang telah disetujui KPK, ditolak oleh Majelis Hakim. Dengan mengacu pada SEMA 04/2011, Majelis Hakim berpendapat bahwa Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama merupakan pelaku utama sehingga tidak dapat diberikan status sebagai Justice Collaborator. Lebih lanjut, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana lebih berat daripada yang diajukan oleh KPK yang segera ditindaklanjuti dengan upaya banding oleh KPK.
Dengan demikian, menjadi pekerjaan rumah bersama untuk menyusun mekanisme maupun penafsiran yang jelas mengenai kriteria Justice Collaborator sehingga perbedaan persepsi perihal tersebut tidak menyebabkan berkurangnya maksud dari UU Perlindungan Saksi yang menempatkan saksi sebagai salah satu bagian penting dalam pengungkapan tindak pidana. (***)
Published at :