PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF ATAS PENJARA YANG PENUH SESAK
Oleh Ahmad Sofian
Ada pandangan yang mengatakan bahwa dengan memberikan hukuman berat dan menjebloskan pelaku tindak pidana ke penjara akan memberi efek jera. Pandangan ini masih dianut dalam hukum positif Indonesia, sehingga membuat penjara-penjara di Indonesia menjadi penuh bahkan cenderung over-capacity. Mahzab pemidanaan dengan penjara merupakan aliran yang sudah dianut sejak zaman renaisance. Oleh sebab itu tidak heran jika paham ini sangat populer dan banyak negara yang menganutnya. Latar belakang pemikiran paham ini didasarkan pada pemikiran bahwa pelanggar hukum telah mengganggu ketertiban dan melukai perasaan masyarakat. Dengan demikian, orang yang melanggar hukum harus mendapat ganjaran yagn setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu pembalasan yang setimpal juga dilakukan dengan mengisolasi dan membatasi kemerdekaan si pelaku.
Pertanyaan yang muncul saat ini adalah bagaimana dengan situasi saat ini, apakah paham pembalasan dalam hukum pidana masih relevan untuk diterapkan? Ternyata dalam perkembangannya banyak muncul aliran baru tentang pemidanaan yang lebih progresif yang menentang aliran pidana penjara. Aliran-aliran baru ini tidak lagi setuju dengan pidana penjara sebagai satu-satunya bentuk hukuman, karena pidana penjara tidak dapat memberi jaminan bahwa pelaku tidak mengulangi perbuatannya. Aliran progresif juga mempertanyakan konsepsi pidana penjara, karena jika dicermati pidana penjara justru memberikan beban kepada rakyat melalui pungutan pajak untuk membiayai operasional penjara. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan, karena tidak seharusnya uang yang dikutip dari pajak rakyat digunakan untuk membiayai pelaku tindak pidana.
Sejalan dengan pandangan di atas juga memunculkan pertanyaan tentang ukuran efektivitas dari hukum pidana itu sendiri, yaitu: dengan semakin banyak orang yang dihukum, apakah hukum pidana menjadi efektif? Menurut hasil penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya orang yang dihukum, maka semakin tinggi pelaku tindak pidana. Artinya, pidana penjara bukan merupakan solusi yang tepat untuk mengurangi tindak pidana. Selain itu, pidana penjara juga bukan lagi sesuatu yang menakutkan bagi pelaku kejahatan.
Dewasa ini, muncul bentuk-bentuk kriminalisasi yang berlebihan (overcriminalization) terhadap delik-delik pidana baru. Kriminalisasi yang berlebihan ini juga dikenal dengan krisis kriminalisasi, yang mana telah terjadi pemidanaan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan baru seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Perkembangan peradaban manusia diikuti dengan munculnya perilaku yang sebelumnya tidak ada diatur dalam hukum pidana, namun dianggap sebagai perilaku yang menyimpang. Akibat adanya penilaian perilaku menyimpang ini, maka munculah delik pidana dan pemidanaan penjara. Misalnya seseorang yang menggunakan narkoba untuk kepentingan pribadi dianggap sebagai salah satu delik pidana sehingga harus dipidana penjara. Demikian juga seseorang yang berjudi dinilai sebagai delik. Akibatnya, karena masih menganut paham pemenjaraan maka penjara penuh dengan para pengguna narkoba dan para penjudi. Padahal kedua jenis pidana ini merupakan kesenangan pribadi yang tidak mengganggu ketertiban umum dan tidak ada yang dirugikan akibat perbuatan ini. Padahal untuk mengatasi pelaku seperti penjudi atau bandar narkoba lebih tepat melalui rehabilitasi, bukan penjara.
Demikian juga dengan adanya perubahan politik hukum dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, maka penjara pun telah diisi oleh “pelaku intelektual” yang bergabung dengan para penjahat konvensional. Namun penjara bagi koruptor pun tidak membuat jumlah narapidana koruptor berkurang, tetapi malah sebaliknya, akibatnya uang negara tersedot dengan membayar biaya operasional penjara.
Alternatif Pemidanaan
Perkembangan terbaru atas paham pidana penjara ternyata tidak memberikan implikasi pada penurunan jumlah pelaku tindak pidana secara statistik. Hal ini justru kemudian memunculkan mahzab baru yang menghendaki penghapusan pidana penjara. Gerakan ini dikenal dengan gerakan abolisionis. Namun gerakan penghapusan pidana penjara ditentang habis-habisan oleh para penganut mahzab pemidanaan penjara. Selain itu, penghapusan pidana penjara dianggap menghilangkan esensi hukum pidana, dimana pidana harus dibalas dengan sanksi pidana.
Gerakan penghapusan pidana penjara dianggap tidak rasional, maka dari itu muncul pemikiran lain yang didasarkan pada konsepsi hukum perdata, yaitu dengan memberikan sanksi ganti rugi (restitusi) kepada pelaku tindak pidana. Hal ini terutama bagi tindak pidana yang merugikan secara material kepada korban atau tindak pidana yang bukan disebabkan oleh unsur kesalahan. Pidana ganti rugi ini dinilai lebih realistis karena akan menyebabkan pelaku tindak pidana membayar ganti rugi terhadap korban. Sebagai contoh dari bentuk tindak pidana ini pada kasus pencurian, penggelapan, korupsi misalnya.
Tindak pidana denda sebenarnya sudah diatur dalam hukum pidana positif namun konsep denda yang ada di dalam hukum pidana bukankah seperti konsep ganti rugi yang harus dibayarkan kepada korban, tetapi dibayarkan kepada negara. Oleh sebab itu konsep ini menimbulkan ketidakadilan bagi si korban karena uang ganti rugi yang dibayarkan oleh pelaku tidak diberikan kepadanya. Umumnya, bagi sebagian besar korban tidak begitu penting apakah pelaku tindak pidana dihukum berat atau tidak, yang lebih penting adalah penggantian kerugian yang diderita. Hal yang sama bisa juga diterapkan kepada tindak pidana korupsi, misalnya dengan konsep memiskinkan dengan cara mengenakan ganti rugi dua atau tiga kali lipat dari uang yang dikorupsi.
Selain itu, pidana ganti rugi juga bisa diterapkan pada tindak pidana susila atau kejahatan seksual.Misalnya untuk delik perkosaan, bisa saja pelaku dikenai ganti rugi untuk membayar sejumlah uang kepada korban untuk biaya medis, persalinan dan biaya-biaya lain. Dengan demikian pidana ganti rugi ini akan memberikan alternatif sehingga tidak menyebabkan penjara-penjara penuh. Filosofi pemidanaan tidak semata-mata ditujukan untuk melakukan balas dendam tetapi memberikan keadilan bagi korban sehingga seharusnya pidana denda dapat menjadi alternatif selain dari pidana penjara. (***)
Comments :