MEMPERTANYAKAN PASAL PEMBUNUHAN BERENCANA BAGI PARA PEMERKOSA YUYUN
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (September 2016)
Masih ingatkan Anda dengan tindak pidana pemerkosaan/kekerasan seksual yang disertai dengan pembunuhan terhadap seorang anak perempuan berusia empat belas tahun bernama Yuyun. Sebagaimana diberitakan oleh Putro, wartawan “Liputan6” (2016), tindak pidana ini terjadi di Kasie Kasubun, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Bermula dari Yuyun yang ketika itu sedang berjalan pulang dari sekolah ke rumahnya yang melewati perkebunan karet. Di tengah-tengah perkebunan karet, Yuyun dianiaya dan diperkosa secara bergantian oleh dua belas pelaku hingga meninggal. Kemudian mayatnya dibuang ke jurang. Dua hari setelahnya, mayat Yuyun ditemukan oleh warga. Kejadian ini kemudian diberitakan oleh media nasional. Perhatian masyarakat tertuju pada kasus ini, masyarakat menggalang solidaritas untuk Yuyun, Musriadi dari “Antara” Bengkulu (2016) melaporkan bahwa solidaritas tersebut berlangung di empat belas kota besar di Indonesia. Selain itu di media soal muncul solidaritas “Saya Bersama Yuyun”. Salah satu poin yang disampaikan dalam solidaritas tersebut adalah menolak hukuman penjara yang dijatuhkan kepada para pelaku yang dipandang terlalu ringan. Bahkan kasus ini menjadi salah satu pemicu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perpu No. 1 Tahun 2016).
Dari dua belas pelaku tindak pidana tersebut, tujuh orang pelaku merupakan anak-anak yang masih berusia di bawah delapan belas tahun. Terhadap ketujuhnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Curug, Rejang Lebong pada tanggal 10 Meil 2016 telah menjatuhkan pidana penjara selama sepuluh tahun karena telah terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No 35 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 80 ayat (3) UU No. 35 Tahun 2016 sebagaimana diberitahan oleh Usim dari “beritasatu.com” (2016). Hukuman tersebut dipandang terlalu ringan. Fajri, wartawan dari “Okezone.news” (2016) melaporkan bahkan Tim Cahaya Perempuan Women Crisis Center yang mendampingi keluarga Yuyun menilai hukuman yang dijatuhkan terlalu ringan dan hukuman yang pantas ialah hukuman kebiri.
Lebih lanjut terhadap lima pelaku tindak pidana yang dewasa, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut empat terdakwa dengan hukuman pidana penjara selama dua puluh tahun dan pidana mati bagi satu terdakwa lainnya. Tututan tersebut didasarkan karena dalam pandangan JPU para terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 340 KUHP jo. Pasal 80 ayat (3) jo. Pasal 81 ayat (1) juncto Pasal 76 huruf d UU No. 35 Tahun 2014 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP sebagaimana diberitakan oleh Wisbisono (2016). Pengenaan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana terhadap kelima terdakwa sangat menarik sehingga menimbulkan pertanyaan apakah tepat pengenaan pasal tersebut.
Jika kita melihat dari tujuan didakwakan dan dituntutnya Pasal 340 KUHP kepada kelima terdakwa tersebut tidak lepas dari tujuan untuk memperberat ancaman pidana yang akan dijatuhkan kepada para terdakwa. Sebelumnya, vonis terhadap ketujuh terpidana anak dianggap oleh masyarakat sangat ringan, sehingga pengenaan pasal tersebut dianggap sebagai jawaban untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan keluarga korban. Selain itu Perpu No. 1 Tahun 2016 yang memberikan ancaman pidana maksimal hukuman mati serta tindakan kebiri bagi para pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa diberlakukan retroaktif terhadap pada terdakwa.
Lebih lanjut, jika ditinjau dari asas-asas hukum pidana pengenaan Pasal 340 KUHP kepada kelima terdakwa tersebut tidaklah tepat. Dalam tindak pidana tersebut terdapat konsep penyertaan tindak pidana, di mana tindak pidana ini dilakukan secara bersama-sama baik oleh pelaku anak dan pelaku dewasa. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP bentuk penyertaan tersebut adalah pleger (orang yang melakukan), medepleger (orang yang turut melakukan) dan doen plagen (orang yang menyuruh melakukan). Dalam bentuk pertama dan bentuk kedua tersebut terhadap para pelaku memenuhi unsur-unsur atas tindak pidana yang sama. Demikian halnya dengan bentuk ketiga di mana orang yang disuruh melakukan adalah pelaku yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Namun, ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya, sehingga hanya pelaku yang menyuruh melakukan tindak pidana, yang sebenarnya tidak melakukan perbuatan pidana secara material tersebut, yang dimintai pertanggungjawabannya. Dalam ketiga konsep tersebut pasal tindak pidana yang dikenakan kepada para pelaku tindak pidana haruslah pasal yang sama, sehingga janggal jika terdakwa dewasa dikenakan Pasal 340 KUHP, sedangkan lainnya tidak. Splitsing atau pemisahan dakwaan menjadi dua nomor perkara dilakukan semata karena dalam tindak pidana ini terdapat pelaku anak dan dewasa yang berbeda kompetensi wewenang pengadilan untuk mengadili.
Lebih lanjut ditinjau dari konsep kesalahan dalam asas hukum pidana, pengenaan Pasal 340 KUHP juga tidaklah tepat. Degradasi kesengajaan para terdakwa adalah kesengajaan sebagai tujuan untuk melakukan pemerkosaan terhadap Yuyun dan bahwa Yuyun meninggal adalah akibat dari tindakan yang mereka tuju dan bukan sebaliknya. Penerapan pasal megenai pembunuhan kepada para terdakwa tidak berbeda halnya dengan penerapan Pasal 338 KUHP pada kasus Metro Mini Maut pada tahun 1994. Kasus ini bermual dari Ramses Silitonga seorang supir metro mini jurusan Senen-Tanjung Priok yang dalam keadaan mabok membawa metro mini yang penuh dengan penumpang secara ugal-ugalan, sehingga metro mininya slip dan tercebur ke Kali Sunter dan mengakibatkan tiga puluh dua orang penumpangnya meninggal dunia. Dalam kasus tersebut JPU dan hakim lebih memilih memakai Pasal 338 KUHP dengan menggunakan degradasi kesengajaan sebagai keinsyafan kemungkinan dan bukan menggunakan pasal-pasal terkait pelanggaran lalu lintas.
Dalam asas hukum acara pidana, seorang terdakwa tidak boleh dihukum selain dari tindak pidana yang ia lakukan. Dengan demikian, kelima terdakwa tersebut tidak boleh dipidana dengan menggunakan dasar Pasal 340 KUHP. Tujuan dari pemidanaan bukanlah balas dendam sehingga dalam menjatuhkan pidana kepada para terdakwa harus dengan tepat memperhatikan pasal-pasal mana saja yang dilanggar dan bukan semata-mata penggunaan pasal yang hukumannya berat saja. Pada akhirnya, dalam kasus ini bukan saja keadilan terhadap Yuyun yang menjadi perhatian. Keadilan bagi Yuyun hanya dapat diperoleh dengan menerapkan pasal yang tepat dan sesuai dengan perbuatan pada terdakwa, sehingga juga memberikan keadilan bagi para terdakwa. (***)
REFERENSI:
Fajri. Demon. (2016, 10 Mei). Vonis Terhadap Tujuh Pemerkosa Yuyun Terlalu Ringan. Diundauh Mei 20 2016 dari http://news.okezone.com/read/2016/05/10/340/1384523/vonis-terhadap-tujuh-pemerkosa-yuyun-terlalu-ringan.
Musriadi (Ed). (2016, 13 Mei). Spanduk Solidaritas Yuyun dibentangkan di Bengkulu. Diunduh Mei 20 2016 dari http://www.antarabengkulu.com/berita/37383/spanduk-solidaritas-yuyun-dibentangkan-di-bengkulu.
Putro, Yuliardi Hardjo. (2016, 4 Mei). Kronologis Kasus Kematian Yuyun di Tangan 14 ABG Bengkulu. diunduh Mei 20 2016 dari http://regional.liputan6.com/read/2499720/kronologi-kasus-kematian-yuyun-di-tangan-14-abg-bengkulu.
Usim. (2016, 10 Mei). Masyarakat Diminta Hormati Vonis Pelaku Pemerkosa dan Pembunuh Yuyun. Diunduh September 15 2016 dari http://www.beritasatu.com/nasional/364199-masyarakat-diminta-hormati-vonis-pelaku-pemerkosa-dan-pembunuh-yuyun.html.
Wibisono, B. Kunto. (2016, 15 September). Empat terdakwa pembunuh Yuyun minta dijatuhi hukuman mati. Diunduh September 17 2016 dari http://www.antaranews.com/berita/584512/empat-terdakwa-pembunuh-yuyun-minta-dijatuhi-hukuman-mati.
Published at :