Oleh BESAR (Agustus 2016)

Indonesia, sebagai negara di Asia Tenggara dengan Jumlah penduduk sekitar 250 juta dengan laju pertumbuhan saat ini mencapai 1,49 persen per tahun. Dibandingkan dengan Jepang yang 0,2 %, Tiongkok 0,5 %dan Brazil 0,9 % maka pertumbuhan penduduk di Indonesia sudah termasuk tinggi dan cukup mengkhawatirkan apabila tidak segera dikendalikan. Untuk DKI Jakarta sendiri pertumbuhannya adalah 1,11 namun angka ini dipengaruhi oleh wilayah yang berdekatan seperti Jawa Barat dan Banten yang masing-masing 1.58%, dan 2,30. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional memperkirakan jumlah penduduk Indonesia tahun 2035 mencapai 305 juta jiwa dan pada tahun 2045 bisa mencapai 450 juta jiwa. Jumlah penduduk yang begitu besar menjadi masalah yang serius terutama di daerah perkotaan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk tentu harus dibarengi dengan penambahan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan, serta terbukanya lapangan kerja yang lebih banyak lagi.

Permasalahan pengangguran di Indonesia per Agustus 2014 mencapai lebih dari 7 juta orang dan mungkin bertambah karena ada sekitar 23 juta orang yang bekerja paruh waktu dan kategori setengah pengganggur. Masalah ini perlu segera dipecahkan untuk mengatasi pengangguran yang didominasi oleh usia produktif. Pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan pertumbuhan lapangan kerja membuat sebagian angkatan kerja beralih mencari lowongan pekerjaan apa saja. Salah satu di antaranya menjadi pengamen.Dengan mengamen orang mendapatkan penghasilan dari bernyanyi atau memainkan alat musik di muka umum dengan tujuan mendapatkan imbalan uang atas apa yang mereka lakukan. Fenomena ini sudah sangat umum ditemukan di banyak kota di Indonesia.

Pada awalnya, mengamen dianggap kamuflase dari tindakan minta-minta (mengemis), suatu pekerjaan yang terlarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kamuflase ini terbilang berhasil! Secara sosiologis, mengamen saat ini dapat dianggap sebuah pekerjaan yang berbeda dengan mengemis. Mengamen sekilas telah menjadi satu jenis pekerjaan terendiri. Pekerjaan yang kerap diklaim halal dan dapat diterima oleh masyarakat.

Namun, benarkah demikian? Persoalan terkait kehadiran pengamen di jalanan kota-kota di Indonesia sebenarnya belum teratasi dengan perubahan pandangan sosiologis seperti itu. Persoalan ini tetap ada karena kehadiran mereka tidak berangkat dari kebutuhan riil suatu kota. Keberadaan pengamen di banyak kota di Indonesia pada dasarnya sangat terkait dengan faktor kemiskinan. Mereka “bekerja” pada waktu dan tempat yang salah, menyusup di tengah-tengah keramaian lalu lintas, masuk di dalam angkutan umum; tatkala masyarakat sedang tidak membutuhkan hiburan, apalagi jika “hiburan” yang dimaksud disajikan melalui permainan musik ala kadarnya. Para pengamen seperti ini bekerja tanpa bekal keterampilan untuk menghibur. Mereka ini merupakan beban masyarakat.

Suasananya tentu berbeda jika para pengamen ini beraksi pada lokasi tertentu, seperti di taman-taman hiburan ketika ketika masyarakat memang punya waktu luang dan siap menikmati hiburan dari tangan-tangan terampil pemain musik jalanan ini. Di banyak negara maju, para pengamen dibiarkan tampil di trotoar yang luas tanpa mengganggu lalu lintas pejalan kaki. Bahkan, para pejalan kaki banyak yang berhenti sejenak mendengarkan satu atau dua lagu dinyanyikan sampai selesai. Para penikmat musik ini tidak segan-segan pula untuk memberikan tips yang lumayan besar, yang diletakkan di kotak atau di balik topi sebagai balas jasa atas hiburan segar ini.

Hal lain adalah komposisi pengamen ini, yang juga bermasalaah karena terkadang melibatkan pula anak-anak. Keterlibatan anak-anak dalam “pekerjaan” ini sama sekali tidak dapat dibenarkan karena telah merampas hak anak. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemeritah, dan negara. Pemerintah hendaknya berperan aktif dalam pencegahan dan penanggulangan anak-anak terlantar tersebut, dengan cara penindakan hukum terhadap kedua orang tua yang telah menelantarkan dan mengekploitasi anak-anaknya, memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap anak-anak, memberikan perhatian khusus terhadap anak-anak tersebut dengan menyediakan sarana dan pra-sarana pendidikan dan bermain, serta dengan memberikan penghidupan yang layak. sehingga mereka besar sesuai dengan usianya.

Bagi negara miskin dan berkembang seperti Indonesia, persoalan ketenagakerjaan seperti diilustrasikan di atas memperlihatkan adanya dilema. Di satu sisi ada idealisme negara untuk tampil sebagai negara yang menyejahterakan rakyatnya.  Di sisi lain ada kenyataan bahwa negara seperti tidak berdaya mengatasi ketimpangan sosial. Akibatnya, muncul bentuk-bentuk vigilante, seperti lahirnya jenis-jenis pekerjaan “inovatif” yang tidak lahir dari semangat profesionalitas. Pekerjaan yang muncul sebagai hasil kamuflase dari pekerjaan yang semula terlarang. Pekerjaan demikian pada hakikatnya tidak memberi nilai tambah pada masyarakat dan justru menjauh dari semangat negara kesejahteraan.

Secara legal, tidak kurang Undang-Undang Dasar 1945 telah memberi  landasan idiil dan landasan konstitusional atas pentingnya negara kesejahteraan itu. Pembukaan UUD, tepatnya pada Alinea ke-4, dinyatakan: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa…dst’, Negara bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Tujuan negara ini tertuang dalam Pasal 34 UUD 45 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Makna yang tersurat dalam pasal tersebut bahwa negara dalam hal ini pemerintah terutama para kepala pemerintahan memiliki peranan penting dalam menjaga, melindungi dan memberdayakan masyarakatnya (fakir miskin dan anak-anak yang terlantar termasuk pengamen) untuk berkehidupan yang lebih layak dan sejahtera, sesuai cita-cita perjuangan para pendiri bangsa tercinta kita, Republik Indonesia.

Jelas cita-cita luhur ini masih jauh panggang dari api untuk dapat diwujudkan. Makin banyaknya fenomena sosial seperti kehadiran pengamen di jalanan kota-kota besar di Indonesia menjadi bukti kasatmata tentang hal ini. Jika masyarakat luas secara sosiologis dianggap bisa menerima kehadiran mereka, pada dasarnya lebih karena sikap realistis, yakni sikap untuk berempati sebagai sesama warga masyarakat yang hidup di negara yang belum mampu menyejahterakan. Reaksi ini ditunjukkan misalnya dengan buru-buru memberikan uang sekadarnya agar pengamen itu cepat berlalu dari hadapan mereka. Jadi, alih-alih menikmati, yang ada justru sikap sebaliknya!

Dalam kondisi seperti ini, tindakan pemerintah daerah yang kerap merazia kehadiran para pengamen ini tentu akan kontraproduktif. Mereka akan tetap muncul selama lapangan pekerjaan yang lebih layak belum tersedia. Tugas negara, dalam hal ini pemerintah daerah, seharusnya dapat menjadi fasilitator untuk membuat mereka lebih terampil menghibur masyarakat, dan untuk itu disiapkan pula tempat-tempat yang memang layak untuk mengasah keterampilan berkesenian mereka, sambil memberi mereka lapangan mata pencaharian secara lebih terhormat.

Bukan tidak mungkin, melalui tindakan seperti ini industri kreatif Indonesia akan dapat tumbuh subur. Dari para pengamen ini bisa pula lahir artis-artis berbakat yang dapat mewarnai industri musik Indonesia. Melalui lagu-lagu yang mereka ciptakan dan nyanyikan, juga bisa ditumbuhkan semangat untuk menghormati hak cipta orang lain. Satu persoalan lain lagi, yang juga masih menjadi “PR” di negari ini. (***)


BESAR