PEMENUHAN REHABILITASI DAN RESTITUSI BAGI KORBAN PERDAGANGAN ORANG
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Agustus 2016)
Restitusi atau ganti kerugian sangat penting bagi mereka yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) karena korban menderita kerugian fisik (materil) dan psikis (non-materil). Namun pemenuhan restitusi sangat jarang terjadi karena korban tidak mengetahui hak-haknya dan aparat penegak hukum tidak menginformasikan hak tersebut kepada korban bahkan ditemukan juga aparat penegak hukum tidak mengetahui bagaimana mekanisme mengajukan restitusi.
Putusan pengadilan dengan memberikan ganti rugi kepada korban trafficking masih jarang dilakukan. Salah satu putusan yang menjatuhkan hukuman restitusi terhadap pelaku adalah dalam kasus perdagangan manusia di Jakarta Timur. Pelaku mengiming-imingi pekerjaan di luar negeri (Hong Kong) dengan membayar sebesar Rp35 juta kepada pelaku, kemudian korban diberangkatkan ke Hong Kong, namun sampai di sana tidak mendapatkan pekerjaan sebagaimana dijanjikan. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang kemudian dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan pelaku dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp120 juta. Selain itu majelis hakim menjatuhkan hukuman restitusi kepada pelaku sebesar Rp20 juta kepada masing-masing korban.[i] Meskipun putusan ini hanya menjatuhkan restitusi untuk kerugian materil namun putusan ini dapat dijadikan pembelajaran dan yurisprudensi (jika sudah memiliki kekutan hukum yang tetap) agar para korban juga memperjuangkan hak mendapatkan ganti kerugian atas penderitaan yang mereka alami akibat perbuatan pelaku.
Rehabilitasi
Amanat pemberian rehabilitasi dan restitusi diatur di dalam Pasal 48 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Rehabilitasi sendiri adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.[ii] Sebelum rehabilitasi dilaksanakan sebaiknya korban melaporkan ke kepolisian agar apabila terdapat luka-luka atau adanya kekerasan sexual dapat dimintakan visum untuk menghindari hilangnya bukti-bukti kekerasan yang dilakukan oleh pelaku perdagangan orang. Jika kondisi korban tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan di Kepolisian (BAP/Berita Acara Pemeriksaan) maka korban atau pendamping korban (keluarga atau lembaga swadaya masyarakat) dapat meminta penjadwalan ulang setelah kondisi fisik dan psikis korban membaik.
Jenis rehabilitasi yang dapat diperoleh oleh korban adalah rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang. Yang dimaksud rehabilitasi kesehatan adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis, sedangkan rehabilitasi sosial adalah pemulihan gangguan terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Reintegrasi sosial adalah penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Penyelenggara rehabilitasi sebaiknya tidak memulangkan korban apabila proses hukumnya belum selesai dan hak-hak korban belum terpenuhi. “Pemulangan” atau reintegrasi sosial harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban benar-benar menginginkan pulang dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut.
Rehabilitasi dapat diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan melampirkan bukti laporan kasusnya tersebut. Permohonan diajukan kepada instansi terkait tergantung kebutuhan dari korban. Permohonan tersebut diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah (Dinas Sosial, Dinas Kesehatan). Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan. Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan. Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial Pemerintah dan Pemda wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. Setelah kondisi fisik dan psikis korban pulih, pendamping korban dapat mendampingi korban selain menuntut pelaku untuk dihukum juga memperjuangkan hak korban yaitu ganti rugi atas penderitaan yang dialami akibat perdagangan orang (restitusi).
Restitusi
Pengertian dari restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi berupa penggantian kerugian atas :
- Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
- Penderitaan;
- Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis;
- Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Untuk poin 1 dan 2 merupakan kerugian imateriil sedangkan point 3 dan 4 adalah kerugian materiil yaitu kerugian yang nyata-nyata diderita oleh korban.
Pengajuan restitusi dapat diajukan sejak awal di Kepolisian sehingga ketika masuk dalam kewenangan Jaksa, tidak ada alasan untuk menolak karena belum diajukan di Kepolisian. Pengajuan restitusi paling lambat dimohonkan sebelum tuntutan dibacakan oleh Jaksa di persidangan (lihat tabel di bawah). Mekanisme hukum acara pengajuan restitusi belum diatur di dalam UU Penghapusan TPPO sehingga dapat merujuk ketentuan di dalam pasal 98 KUHAP yang mengatur hak korban yang menderita kerugian materil karena dilakukannya suatu tindak pidana oleh pelaku. Penggabungan perkara perdata ke dalam perkara pidana yang dimaksudkan disini adalah penggabungan pemeriksaan perkara perdata gugatan ganti rugi yang bersifat perdata dengan perkara pidana yang sedang berjalan. Perkara pidanalah yang akan menjadi dasar tuntutan perdatanya dan diputus sekaligus dengan perkara pidananya. Penggabungan perkara ini sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Hak korban untuk mendapatkan restitusi dan rehabilitasi dapat terpenuhi apabila terkait tiga hal berikut. Pertama, aparat penegak hukum baik pendamping korban, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan memahami mekanisme pengajuan restusi termasuk bagaimana memformulasikan dan mandapatkan bukti-bukti kerugian materil dan inmateril yang diderita oleh korban. Sehingga, putusan-putusan hakim kedepan banyak dilakukan selain menjatuhkan pidana dan denda kepada pelaku juga menjatuhkan restitusi kepada pelaku dalam perkara perdagangan orang. Kedua, Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum wajib memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi sehingga korban dapat menggunakan haknya tersebut untuk mendapatkan keadilan. Ketiga, adanya koordinasi antar berbagai pihak termasuk pendamping korban, aparat penegak hukum, dinas sosial, dinas kesehatan dan instansi terkait lainnya penting untuk dilakukan agar hukuman maksimal dapat dijatuhkan kepada para pelaku untuk mencegah terulangnya tindak pidana perdagangan orang kepada korban lainnya. Serta mengembalikan harkat dan martabat korban sebagai manusia dengan berbagai macam program rehabilitasi dan pemberian restitusi (ganti rugi). (***)
CATATAN REFERENSI:
[i] Putusan Langka, Pelaku Trafficking Juga Wajib Ganti Rugi Kerugian Korban, http://news.detik.com/berita/2718033/putusan-langka-pelaku-trafficking-juga-wajib-ganti-rugi-kerugian-korban, diakses pada tanggal 25 Agustus 2016.
[ii] Pasal 1 angka 14 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
Published at :