HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN
Oleh ABDUL RASYID (Agustus 2016)
Salah satu tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dalam melakukan kegiatan dalam sektor jasa keuangan. Perlindungan konsumen yang diamanahkan kepada OJK disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 4 (c) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat UUOJK) yang dinyatakan sebagai berikut, “OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: (c) mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.” Perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang andal, meningkatkan pemberdayaan konsumen, dan menumbuhkan kesadaran Pelaku Usaha Jasa Keuangan mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan.
Perlindungan konsumen yang diberikan OJK dianggap penting mengingat begitu kompleknya aktivitas dalam sektor jasa keuangan. Perlindungan konsumen yang difasilitasi OJK dapat berupa tindakan pencegahan kerugian konsumen, pelayanan pengaduan konsumen dan pembelaan hukum (lihat Pasal 28 s.d 30 UUOJK). Lebih lanjut, untuk menyediakan payung hukum yang kuat dalam memberi perlindungan kepada konsumen dalam sektor jasa keuangan, pada tahun 2013, OJK mengeluarkan peraturan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. (Selanjutnya disingkat POJKPKSJK). Secara umum POJKPKSJK terdiri dari 7 Bab & 57 Pasal. Bab I: Ketentuan Umum, Bab II: Ketentuan Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab III: Pengaduan Konsumen dan Pemberian Fasilitas Penyelesaian Pengaduan Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab IV: Pengendalian Internal, Bab V: Pengawasan Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Bab VI: Sanksi, Bab VII: Ketentuan Peralihan, Bab VIII: Ketentuan Penutup.
Berbicara mengenai hukum perlindungan konsumen erat hubungannya dengan konsumen itu sendiri. Menurut Shidarta (91/2016) suatu peristiwa hukum perlindungan konsumen dikatakan sudah terjadi apabila ‘konsumen’ secara langsung terlibat di dalamnya. Jika tidak, maka bisa dipastikan bahwa area hukum itu bukan bidang hukum perlindungan konsumen. Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah ‘segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.’ Perlindungan ini perlu diberikan karena selama ini konsumen dirasa selalu berada dalam posisi yang lemah jika berhadapan dengan para pelaku usaha sehinga perlu dilindungi.
Dalam sektor jasa keuangan, yang dimaksud dengan konsumen adalah ‘pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.’ Adapun yang dimaksud dengan Lembaga Jasa Keuangan, yang juga disebut dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (Selanjutnya disingkat PUJK) adalah ‘Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah.” (Lihat Pasal 1 Huruf 1 & 2 POJKPKSJK). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa peraturan perlindungan konsumen dalam jasa keuangan dimaksud untuk melindungi kepentingan konsumen dari perilaku negatif yang dilakukan oleh PUJK.
Terkait dengan pembahasan di atas, terdapat lima prinsip penting perlindungan konsumen yang diatur dalam POJKPKSJK. Lima prinsip ini mesti ditaati agar perlindungan konsumen dapat berjalan dengan efektik. Lima prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, transparansi. Prinsip ini mengharuskan PUJK untuk memberikan informasi secara terbuka, jelas dan bahasa yang mudah dimengerti kepada konsumen tentang semua produk yang dimiliki. Hal ini penting agar konsumen bisa memahami secara sempurna produk yang ditawarkan.
Kedua, perlakuan yang adil. Prinsip ini, menekankan agar PUJK berlaku adil dan tidak diskriminatif kepada konsumen dengan memberikan perlakuan yang berbeda antara konsumen yang satu dengan yang lainnya, terutama berdasarkan pada suku, agama dan ras.
Ketiga, keandalan. Maksud dari ‘keandalan’ dalam prinsip ini adalah segala sesuatu yang dapat memberikan layanan yang akurat melalui sistem, prosedur, infrastuktur, dan sumber daya manusia yang andal.
Keempat, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen. Prinsip ini mengatur agar PUJK menjaga dan kerahasiaan dan keamanan data konsumen. PUJK hanya dibolehkan menggunakan data dan informasi sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang disetujui oleh konsumen, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Dan kelima, penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Prinsip ini terkait dengan pelayanan/penyelesaian pengaduan yang dilakukan oleh konsumen dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Pelayanan pengaduan konsumen ini difasilitasi oleh OJK untuk mempermudah pengaduan yang dilakukannya. Lalu mekanisme penyelesaian sengketa melalui lembaga penyelesaian sengketa alterantif yang efektik juga ditawarkan kepada konsumen agar sengketa dapat diselesaikan secara cepat. (lihat penjelasan Pasal 2 POJKPKSJK).
Agar perlindungan konsumen dalam sektor keuangan dapat berjalan dengan maksimal, maka lima prinsip diatas harus dipahami dan diaplikasikan baik oleh PUJK maupun konsumen. Prinsip ini memberi petunjuk umum yang kemudian dijabarkan secara eksplisit dalam pasal-pasal yang ada. Komitmen OJK dalam memberikan perlindungan kepada konsumen diharapkan konsisten. Berbagai inisiatif yang direncanakan dalam Masterplan Sektor Jasa Keuangan 2015-2019 terkait dengan perlindungan konsumen mesti dijalankan agar perlindungan konsumen dalam sektor jasa keuangan dapat berjalan dengan baik. (***)