GOOGLE DAN SUBJEK PAJAK BENTUK USAHA TETAP
Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (Agustus 2016)
Akhir-akhir ini mencuat kasus penghindaran pajak oleh Google yang cukup santer diberitakan bahkan raksasa Internet ini disebut-sebut menunggak kewajiban pajak selama lima tahun. Pada tahun 2015 saja, Google diperkirakan berutang pajak lebih dari Rp5 triliun, menurut kepala kantor wilayah direktorat jenderal pajak jakarta khusus, Muhammad Haniv. Pada dasarnya permasalahan ini terkait dengan model perencanaan perpajakan atau tax planning yang dilakukan oleh Google Indonesia dengan cara hanya menempatkan kantornya yang ada di Indonesia sebagai kantor perwakilan biasa dan tidak menjadikan sebagai permanent establishment atau bentuk usaha tetap sehingga negara Indonesia tidak punya hak untuk mengenakan pajak dari penghasilan dari Google di Indonesia. Dan, tragisnya lagi ada indikasi Google justru melarikan uang transaksinya ke Singapura, sehingga setiap transaksi tersebut lolos dari pajak. Untuk itu perlu kita ketahui bagaimana sebetulnya subjek pajak bentuk usaha tetap itu dari sudut pandang hukum Indonesia.
Permanent establishment atau dalam bahasa Indonesia Bentuk Usaha Tetap [BUT] adalah istilah penting dalam perpajakan internasional karena berkaitan dengan taxing right atau hak pemajakan. Pengertian BUT dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan terdapat pada BAB II Pasal 2 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
- tempat kedudukan manajemen;
- cabang perusahaan;
- kantor perwakilan;
- gedung kantor;
- pabrik;
- bengkel;
- gudang;
- ruang untuk promosi dan penjualan;
- pertambangan dan penggalian sumber alam;
- wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
- perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
- proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
- pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
- orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
- agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
- komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Untuk objek pajak BUT dapat kita lihat pada Pasal 5, bahwa yang menjadi objek pajak bentuk usaha tetap adalah:
- penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
- penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
- penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Dari definisi di atas secara gamblang sebetulnya tidak ada alasan bagi Google menolak untuk ditetapkan sebagai BUT, karena semua unsurnya terpenuhi. Pertama, jelas Google adalah sebagai badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia lewat kantor perwakilannya yang beralamat Sentral Senayan II, Jalan Asia Afrika, Jakarta. Kedua, Google memperoleh pengahasilan dari Indonesia lewat bentuk usaha tetapnya, yang ketiga Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan dependent agent dari Google Asia Pacific Pte Ltd yang berlokasi di Singapura.
Dengan demikian, menurut Pasal (2) ayat (5) huruf (n) UU Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai subjek pajak BUT, sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia harus dikenakan pajak penghasilan.
Pada dasarnya negara Indonesia harus melakukan upaya paksa kepada Google agar menjadi BUT karena strategi korporasi ini tidak lagi tepat dikatakan sebagai perencanaan perpajakan/tax planning biasa tetapi sudah memasuki ranah praktik aggressive tax planning karena intensi melakukan tax planning dengan cara mencari kelemahan ketentuan pajak baik dalam level domestik dan internasional.”. Dalam istilah pajak, tax planning diartikan sebagai usaha-usaha wajib pajak untuk meminimalkan pembayaran pajaknya. Satu titik dari tax planning yang dianggap tidak bisa ditoleransi adalah aggressive tax planning. (***)
Leave Your Footprint
-
Trisna Wicaksono PT Google Indonesia (Subjek Hukum Indonesia) tidak melakukan transaksi, semua transaksi termasuk invoicing dilakukan melalui Google Asia Pacific Pte. Ltd. yg merupakan badan hukum asing dan tidak memiliki perwakilan di Indonesia secara administratif. Transaksi dilakukan langsung terhadap Google Asia Pacific Pte. Ltd. Jadi kesimpulan bahwa tidak ada alasan bagi Google menolak untuk ditetapkan sebagai badan BUT adalah kurang tepat.