People Innovation Excellence

KEJAHATAN SEKSUAL ONLINE ANAK DI INDONESIA

Oleh AHMAD SOFIAN (Agustus 2016)

Belakangan publik dikejutkan dengan maraknya kasus prostitusi anak lak-laki yang diperjualkan kepada konsumen seks anak. Bareskrim Polri berhasil memgongkar satu sindikat kejahatan ini. Anak laki-laki yang “diperjualbelikan” tersebut tidak saja dilakukan secara off-line tetapi juga dilakukan secara online. Dalam kasus ini, seorang residivis terlibat. Keterlibatan residivis ini sudah dapat dipastikan karena bisnis seks anak merupakan sebuah bisnis yang sedang mengalami booming di Indonesia, karena berbagai faktor. Upaya penanggulangan dan pencegahan masalah tidak maksimal dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah sehingga kasus demi kasus terjadi. Anak-anak yang diperjualbelikan kepada penikmat seks merupakan korban tindak pidana, tidak peduli apakah anak-anak tersebut setuju untuk diperjualbelikan, karena secara hukum internasional dan hukum nasional anak yang berusia di bawah 18 tahun belum memiliki kapasitas dalam memberikan persetujuan untuk menjadi objek seks komersial. Tulisan ini akan mengungkap sedikit fakta akademik soal kejahatan ini terutama anak-anak yang diperjualbelikan melalui media online dalam perspektif kriminologi.

Jual beli anak melalui media online merupakan bagian dari dari Sexual Exploitation of Children Online (SECO), yang dapat diartikan sebagai kejahatan yang ditujukan kepada anak-anak dengan memanfaatkan informasi dan teknologi sebagai media untuk mengkomunikasikan, mempertunjukkan, mempertontonkan, atau mendistribusikan material pornografi anak atau aktivitas seksual anak. Anak-anak dijadikan objek kekerasan seksual dan menjadi objek seks komersial (Catherine Beaulieu, 2011). SECO ini pun tidak sebatas pada pendistribusian atau mempertontonkan anak sebagai objek seks dan objek komersial, termasuk juga memiliki gambar-gambar porno, suara anak yang direkam yang mengandung konten erotisme, dan segala seuatu yang mengandung kontens seksual anak yang disimpan di dalam komputer karena memilki potensi untuk disebarluaskan.

Secara umum kasus-kasus SECO sangat memprihatinkan tidak hanya di Indonesia tetapi juga di banyak negara. Bentuk SECO yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah prostitusi anak online dan pornografi anak online yang banyak memanfaatkan fasilitas internet. Pemanfaatan anak-anak untuk tujuan seksual online melalui internet telah banyak ditemukan oleh penegak hukum. Beberapa kasus berhasil dibawa ke pengadilan namun sebagian besar kasus tidak berhasil menghukum pelaku karena sulitnya mengakses korban tindak pidana. Kasus-kasus kejahatan seksual online pada anak di masa depan diperkirakan mengalami peningkatan seiring dengan tingginya pengguna internet di Indonesia. Menurut Kementrian Informasi dan Komunikasi, pengguna internet di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 93,4 juta dan pada tahun 2016 ini diperkirakan meningkat menjadi 102,8 dan pada pada tahun 2017 diperkirakan melonjak menjadi 112, 6 juta atau menjadi peringkat 5 dunia terbesar pengguna internet setelah China, Amerika Serikat, India dan Brazil. (https://kominfo.go.id/content/detail/4286/pengguna-internet-indonesia-nomor-enam-dunia/0/sorotan_media).  Tidak ada statistik resmi yang menunjukkan penyebaran kasus-kasus seksual anak online. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada kurun waktu 2015, ada 1.366 kasus pornografi dan kejahatan siber pada anak. Sayangnya, laporan ini tidak menunjukkan validitas data yang akurat, karena hanya didasarkan pada temuan media, dan yang didasarkan pada kasus-kasus yang dilapokan kepada komisi ini. Namun demikian, sekurang-kurangnya sudah ada statistik kasus yang berhasil dikumpulkan sehingga mendorong institusi lain untuk melakukan validitas atau bahkan pengumpulan data.

Pemetaan yang dilakukan oleh sebuah NGO nasional yaitu ECPAT Indonesia (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes) tentang tindak ini tahun 2013 menunjukkan bahwa ditemukan sejumlah fakta terjadinya SECO di beberapa wilayah Indonesia. Pemetaan yang dilakukan oleh ECPAT ini mendapat dukungan dari sebuah organisasi perlindungan anak asal Belanda yaitu Terre des Hommes. Pemetaan ini dilakukan di tiga kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung dan menemukan bahwa karakteristik anak yang menjadi korban tindak pidana SECO adalah anak-anak yang menggunakan media sosial dan anak-anak lain yang dijadikan korban. Ditemukan fakta,  media sosial menjadi alat untuk mempromosikan anak-anak kepada konsumen, sejumlah forum online terbentuk dalam rangka mengeksploitasi anak-anak, tukar-menukar gambar dan video yang dilakukan oleh para kelompok sebaya, dan ditemukannya sejumlah jaringan anonymous yang terlibat dalam eksploitasi seks ini, sulit mengakses dan menemukan korban sehingga minim sekali kasus SECO yang dibawa ke ranah penegakan hukum. Pelaku kejahatan seksual anak online ini tidak melakukan kontak fisik dengan anak, mereka mengeksploitasi gambar dan video anak-anak tersebut dengan memproduksi, menyaksikannya, lalu mendistribusikannya, bahkan menggandakannya. Berbagai saluran digunakan untuk mengeksploitasi gambar dan video anak tersebut, seperti web, social media, networks group. Para pelaku tidak hanya datang dari satu negara tetapi juga dari berbagai negara. Batas-batas negara dalam kejahatan ini tidak terlihat lagi. Tiga kota yang menjadi target pemetaan menemukan kasus-kasus SECO yang memiliki karakreristik berbeda. Sebuah NGO lokal di Surabaya dalam kurun waktu 2013 menemukan enam kasus SECO, anak-anak yang menjadi korban ini dieksploitasi melalui media sosial. Lima orang anak korban SECO di Bandung berhasil diwawancarai. Sebagian dari mereka “dijual” oleh germo melalui sebuah web khusus. Web ini mempromosikan sejumlah gadis belia kepada para pelanggan. Anak-anak juga “dipasarkan” melalui sejumlah media sosial dan pesan singkat. Sejumlah anak-anak pun secara voluntary mendistribusikan gambar-gambar porno kepada pembeli seks anak dan kepada rekan-rekan sebaya mereka. Sebuah informasi mengejutkan dari anak, ditemukan pengalaman seorang anak melakukan hubungan seksual online dengan video streaming kepada seorang pelaku kejahatan seksual anak dari negara lain. Sementara itu, di Jakarta sejumlah anonymous networkgroups berkembang, group-group ini mendistribusikan gambar-gambar dan video porno anak. Anggota networksgroup menyebar di seluruh Indonesia.

Evaluasi Penanganan SECO di Indonesia

Indonesia sendiri telah memiliki sejumlah undang-undang yang melindungi anak-anak dari kejahatan seksual online yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002 jo UU No. 35/2014), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11/2008) dan Undang-Undang Pornografi (UU No. 44/2008). Ketiga undang-undang ini secara substansi memberikan porsi terbatas dalam melindungi anak dari tindak pidana seksual online. Undang-undang ini belum dapat mengakomodasi SECO secara komprehensif dan masih bersifat parsial. Ketiga undang-undang ini tidak mendefinisikan kejahatan seksual anak online. Undang-Undang Perlindungan Anak misalnya hanya mengatur tentang sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual anak yang meliputi persetubuhan dan pencabulan. Tidak ada aturan khusus tentang kejahatan seksual anak online dalam undang-undang ini. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tidak menyebutkan permasalahan SECO sebagai bagian dari  dari tindak pidana eksploitasi seksual anak tetapi malah mengkategorikannya sebagai bagian dari tindak pidana kesusilaan. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah mengatur semua hal terkait kejahatan pornografi pada umumnya tetapi penyusun undang-undang tidak mengatur secara khusus tentang tindak pidana pornografi anak termasuk definisi dan unsur-unsur tindak pidana ini. Dapat dikatakan bahwa pengaturan SECO dalam perundang-undangan di Indonesia masih belum sejalan dengan standard internastional terutama sebagaimana diatur dalam Opsional Protokol tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak. Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi opsional protokol ini melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.

Di Indonesia belum tersedia focal point yang secara khusus menangani soal SECO. Telah terbentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan pornografi sebagai konsekuensi disahkannya undang-undang No. 44/2008. Namun ketua gugus berada Kementerian Agama, sehingga tindak pidana pornografi (yang merupakan dari SECO) dinilai sebagai kejahatan moral bukan sebagai kejahatan yang menggunakan perangkat tehnologi informasi. Gugus tugas ini tidak mampu menangani masalah tindak pidana pornografi anak, karena konseptualisasi tindak pidana pornografi yang didefinisikan terlalu luas sehingga menimbulkan overcriminalisation.

Saat ini ada inisiatif dari pemerintah dalam menyusun peta jalan perlindungan anak di internet. Penyusunan peta ini dimaksudkan untuk melindungi anak dari kejahatan siber, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Diharapkan dengan adanya peta jalan pelindungan anak di internet ini, kita akan dapat lebih mensinergikan program yang sudah ada, sehingga dapat dilaksanakan secara serentak dan mengakomodasi seluruh sasaran. Peta jalan ini akan menjadi rujukan dalam menyusun kebijakan maupun regulasi pelindungan anak di internet. Sayangnya, program ini belum berhasil mengungkap dan memetakan modus operandi kejahatan ini, belum juga melakukan langkah-langkah penegakan hukum kepada pelaku dan akses perlindungan kepada korban.

Kementerian Informasi dan Komunikasi giat melakukan pembatasan konten internet yang mengandung unsur pornografi dengan filtering, sehingga anak-anak tidak terpapar konten pornografi dan anak-anak tidak dijadikan target pornografi. Program ini belum menyasar secara khusus tentang SECO, masih sebatas pada muatan internet yang mengandung pornografi baik pornografi dewasa maupun pornografi anak. Tentu saja program ini tidak sepenuhnya mampu menanggulangi SECO karena SECO bukan saja sebatas pada pornografi anak. Karena itu diperlukan langkah-langkah strategis dan penguatan kapasitas institusi ini dalam menanggulangi SECO.

Markas Besar Kepolisian RI telah membentuk subdirektorat untuk pemberantasan cybercrime dan salah satu yang menjadi perhatian unit ini adalah kejahatan seksual online. Namun, karena keterbatasn sumber daya manusia maupun sumber dana maka kasus-kasus SECO yang berhasil ditangani juga sangat sedikit sekali. Unit ini hanya ada di Markas Besar Kepolisian RI dan ditambah dengan tiga Kepolisian Daerah di Indonesia. Oleh karena itu, kasus-kasus SECO yang masuk dalam pengadilan juga sangat minim. Praktis tidak banyak kasus yang diproses penegak hukum Indonesia. Kesulitan yang dihadapi adalah ruang lingkup SECO yang luas sehingga memerlukan keahlian khusus dari penegak hukum.

Penutup

Paparan yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa kasus-kasus kejahatan seksual online pada anak akan masih terjadi. Program penanggulangan masalah ini masih sangat terbatas. Pemahaman yang keliru atas SECO dan bentuk-bentuknya, terkesan menyederhanakan trend kejahatan ini. Penegak hukum masih belum mampu menanggal kejahatan seksual online pada anak. Perangkat hukum yang lemah, keahlian penegak hukum yang terbatas, serta sulitnya mengakses korban tindak pidana ini karena berada dalam lingkup online. Hukum nasional kita masih menghendaki adanya berita acara yang memeriksa korban tindak pidana ini, dan korban yang harus hadir di pengadilan baik secara fisik maupun virtual. Selain itu, masih adanya persepsi yang keliru di kalangan penegak hukum, bahwa ketika korban menyetujui dirinya menjadi objek seks komersial, maka langkah penyidikan terhenti. Penguatan kapasitas terhadap unit cybercrime kepolisian perlu dilakukan, bahkan jika dimungkinkan unit ini tidak hanya berada di beberapa provinsi saja, tetapi memperluas wilayah kerjanya di Indonesia agar korban dapat terlindungi. (***)


AS


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close