STRATEGI KOGNISI DAN TANDA-TANDA SEMIOTIKA HUKUM
Oleh SHIDARTA (Agustus 2016)
Apabila kita perhatikan bangunan suatu ilmu, khususnya yang terjadi dalam ilmu-ilmu empiris, akan terlihat bagaikan bangunan piramida. Pada bagian paling bawah bangunan ditempati oleh fakta, yaitu segala sesuatu yang terikat pada ruang dan waktu. Fakta ini ada di dalam wilayah empiris. Pada tingkat di atas fakta terdapat konsep. Konsep adalah generalisasi dari fakta-fakta yang memiliki kesamaan karakteristik tertentu. Hubungan antara konsep dan fakta harus sangat erat, karena dalam setiap konsep harus bisa didenotasi apa fakta-faktanya. Jika saya memiliki konsep bunga, maka saya harus dapat menyebutkan apa saja fakta-fakta yang menjadi anggota dari konsep bunga itu. Maka, akan tersebutlah misalnya: bunga mawar yang sedang mekar di rumah saya, bunga melur di Taman Sari, dan seterusnya. Tentu saja, ada konsep-konsep yang tidak langsung bisa dengan mudah disebutkan anggota-anggota (fakta-fakta)-nya. Kebungaan, adalah contoh dari jenis konsep seperti ini. Kebungaan merupakan konsep yang lebih abstrak dibandingkan dengan bunga. Oleh sebab itu, kebungaan disebut juga sebagai konstruk, yakni konsep yang dihasilkan melalui proses konstruksi.
Bangunan strategi kognisi ini dapat diteruskan lagi ke tingkat berikutnya. Tingkat ini adalah proposisi. Proposisi merupakan jalinan antar-konsep. Ada yang menyebutkan proposisi ini sebagai dalil dan hipotesis. Hal ini dapat dipahami karena memang sebuah proposisi sudah mampu menawarkan sebuah deskripsi sekaligus preskripsi. Dalam ilmu hukum, proposisi ini dapat berupa asas hukum. Sebuah asas hukum pasti mengandung penjelasan tentang konsep-konsep.
Lalu, meningkat pada tataran di atas proposisi terdapat teori. Setiap teori pasti mengandung lebih dari satu proposisi. Dengan perkataan lain, sebuah teori merupakan jalinan proposisi, sehingga area deskriptif dan preskriptif sebuah teori akan lebih luas dibandingkan sebuah proposisi. Selanjutnya, kumpulan teori-teori yang memiliki kesamaan di dalam objek kajiannya, tersusun secara sistematis dalam hubungan satu sama lain, metodis (dalam arti dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis), dan diterima secara luas dalam komunitas ilmiah tertentu, berpotensi untuk melahirkan sebuah ilmu.
Gambaran di atas menunjukkan perjalanan sebuah bangunan ilmu. Perjalanan tersebut (dari fakta sampai ke ilmu) merupakan suatu strategi kognisi. Namun, apa kaitan strategi kognisi ini dengan tanda-tanda semiotika di dalam hukum?
Dalam kajian semiotika, hukum dipandang sebagai tanda (sign). Setidaknya, ada tiga jenis tanda, yaitu berupa ikon, simbol, dan indeks (icon, symbol, index). Polisi adalah contoh ikon di dalam hukum. Orang yang melihat polisi, sekaligus akan mendapatkan hukum ada pada sosok polisi itu. Polisi adalah representasi dari hukum. Tidak mengherankan jika di Yogyakarta, misalnya, patung polisi lalu lintas diletakkan di beberapa sudut perempatan untuk mengingatkan orang bahwa hukum berlalu lintas hadir di tempat-tempat itu. Kemudian ada simbol. Tanda berupa huruf S yang dicoret merupakan simbol dari larangan berhenti bagi kendaraan. Tanda ini lebih abstrak dibandingkan dengan ikon polisi tadi. Tanda larangan berhenti tersebut merupakan kesepakatan dalam masyarakat, khususnya para pengguna jalan, tentang sebuah tindakan yang tidak boleh dilakukan dalam hukum berlalu lintas. Tanda simbolis dengan demikian, membutuhkan pemahaman yang lebih tinggi daripada tanda ikonik. Selanjutnya ada indeks. Dalam indeks, orang akan memahami hukum secara lebih kompleks. Dengan melihat tanda larang berhenti itu, orang akan mencermati apakah benar masih ada pengemudi kendaraan yang berhenti di situ. Jika masih ada, maka tanda itu masih sekadar simbol, belum berupa indeks.
Dengan demikian,terlihat bahwa dalam berhukum pun, ada hukum bertataran ikon, tatkala masyarakat melihat hukum langsung pada fakta-fakta di lapangan. Polisi yang sedang bertugas dipandang sebagai hukum. JIka polisinya pergi, hukumnya juga bisa saja dianggap juga ikut pergi. Mirip seperti jalan yang sedang dijaga oleh polisi lalu lintas. Ketika polisi itu menghilang, maka lalu lintas kembali semrawut. Masyarakat yang memahami hukum sekadar sebagai tanda ikonik seperti ini adalah masyarakat yang tingkat kesadaran hukumnya paling rendah.
Pemahaman yang lebih tinggi adalah pemahaman di tingkat simbolik. Masyarakat dianggap tahu bahwa hukum dapat hadir melalui simbol-simbol yang disepakati. Ada undang-undang, perjanjian, putusan pengadilan, dan seterusnya. Termasuk tentu saja, rambu-rambu lalu lintas. Semua itu menyimbolkan kehadiran hukum. Masyarakat yang lebih tinggi tingkat kesadaran hukumnya akan juga menghormati simbol-simbol hukum ini. Abstraksi dari tanda hukum di tataran simbol ini dapat kita posisikan sebagai tataran konseptual dalam berhukum.
Selanjutnya adalah indeks. Di sini kita melihat bahwa masyarakat akan mencermati bahwa simbol-simbol itu saling terhubungkan. Mirip seperti asap sebagai indeks dari api. Jika melihat asap orang akan langsung menghubungkannya secara kausalitas dengan adanya api. Kita berharap masyarakat yang melihat simbol-simbol hukum tertentu akan langsung mengubah perilakunya mengikuti ekspektasi dari simbol-simbol itu. Artinya, dengan melihat tanda dilarang berhenti, maka secara kausalitas berarti juga tidak ada lagi kendaraan yang berhenti di tempat itu. Apabila tetap ada kendaraan yang berhenti, maka berarti tanda itu baru dalam taraf simbolis, karena tidak memiliki dampak apa-apa. Tanda itu hanya menjadi tanda dekoratif, tetapi tidak secara kausalitas mengubah perilaku. (***)
Published at :