TINDAK PIDANA GRATIFIKASI: SEBUAH ANALISIS PUTUSAN
Oleh AHMAD SOFIAN (Agustus 2016)
Gratifikasi dalam konteks hukum pidana Indonesia dirumuskan sebagai tindak pidana formil, yaitu tindak pidana dinilai selesai ketika pemberian tersebut diberikan kepada pejabat publik. Namun ada kriteria tersendiri dalam perumusan normanya, yaitu: (1) pemberi gratifikasi tidak dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, namun penerimalah yang dinilai sebagai pembuat delik. (2) Penerima gratifikasi baru bisa dipidana, setelah dalam jangka waktu tertentu (30 hari) tidak melaporkan ke KPK bahwa yang bersangkutan telah menerima sesuatu sebagai akibat jabatan yang melekat pada dirinya. Menurut penyusun undang-undang, ada argumentasi tersendiri, mengapa penerima gratifikasi sebagai perbuatan yang patut dicela, yaitu karena secara moral pejabat publik tidak sepatutnya menerima hadiah atau pemberian karena bisa menimbulkan “conflict of interest” dengan jabatannya. Pertanyaan sering muncul adalah, mengapa pemberi gratifikasi tidak digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum? Tidak digolongkan melanggar moral, tidak akan memiliki kepentingan? Muncul banyak perdebatan soal ini. Dalam konteks ini saya tidak akan terlibat terlalu jauh dalam konteks perdebatan ini, hanya saja mencoba memberikan analisis terhadap tindak pidana ini. Analisisnya mungkin masih sangat dangkal dan perlu diuji dan dan dielaborasi lebih jauh. Ini merupakan draf awal untuk dilakukan preliminary study atas delik ini.
Dalam menganalisis kasus ini, saya membatasi diri hanya pada konteks tindak pidana saja. Saya tidak menganalisis pembuktian atau soal hukum acara, karena sudah dianalisis oleh ahli yang lain dan lebih berkompeten.
Mungkinkah Gratifikasi Dirumuskan secara Materiil?
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa gratifikasi merupakan tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana suap. Gratifikasi menghukum penerima bukan pemberi. Jika gratifikasi dirumuskan secara materiil, masih memungkinkan untuk menjadikan pemberi grafifikasi sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Meskipun akan menimbulkan debat panjang. Salah satu caranya adalah dengan merumuskan secara materriil. Pertanyaannya adalah mungkinkan gratifikasi dirumuskan secara materiil. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka berikut ini sebuah matrik sederhana yang bisa saya gambarkan.
Saya gambarkan pasal-pasal yang mengatur gratifikasi dan penafsiran atas pasal tersebut dalam sebuah bagan di bawah ini:
Analisis Putusan Perkara I Wayan Chandra (Nomor 07/Pid.Sus/TPK/2015/PN DPS Jo Putusan PT. Denpasa No. 11/Pid.Sus/TPK/2015/PT DPS)
Ada tiga bentuk tindak pidana yang didakwakan oleh JPU, yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana grafitikasi, dan tindak pidana pencucian uang. Ketiga tindak pidana ini terlihat dari dakwaan yang disusun oleh JPU dalam surat dakwaannya. Lalu ketika dilihat putusannya, ketiganya juga terbukti dilakukan oleh terdakwa.
Tulisan ini membatasi diri hanya mengulas tindak pidana yang dilakukan terdakwa dan dikaitkan dengan analisis kausal. Secara sederhana dapat digambarkan dalam matriks di bawah ini:
Analisis lain yang bisa diberikan atas kasus di atas adalah keterkaitan antara perbuatan yang satu dengan perbuatan berikutnya. Tindak pidana korupsi (C1), diikuti dengan tindak pidana gratifikasi (C2) dan diikuti dengan tindak pidana pencucian uang (C3). Tiga tindak pidana ini saling berhubungan dan membentuk sebuah rantai. Dalam konteks ini analisis kausalitas bisa dipergunakan terbatas pada keterhubungan antara perbuatan-perbuatan tersebut. Meski demikian, hal penting lain yang harus dilihat adalah apakah keterhubungan antara perbuatan-perbuatan tersebut dapat menimbulkan konsekuensi yang terlarang? Pertanyaan ini sulit terjawab, karena kausalitas membatasi dirinya hanya pada tindak pidana materiil. Tindak pidana formil seperti korupsi, gratifikasi dan pencucian uang oleh pembentuk undang-undang digolongkan sebagai tindak pidana formil.
Perlu dipertimbangkan juga bahwa tindak pidana gratifikasi bisa digolongkan sebagai tindak pidana materiil. Pertimbangan yang bisa diberikan adalah tindak pidana ini dapat menimbulkan akibat yang terlarang. Perbuatan memberikan sesuatu yang bernilai ekonomi dapat saja sebagai sebuah perbuatan yang positif. Namun dapat juga digolongkan sebagai perbuatan yang negatif, yaitu ketika muncul akibat yang terlarang dari perbuatan tersebut, sehingga pelaku yang memberikan dan orang yang menerima pemberian tersebut dapat digolongkan sebagai pembuat delik.
Secara doktrin, kasus ini berbeda dengan suap, karena tindak pidana suap “memiliki unsur transaksional” antara pemberi dan penerima; sedangkan gratifikasi unsur transaksional tidak muncul seketika. Karena unsur transaksional yang terlarang tidak muncul seketika, maka perumusan delik ini sebaiknya diubah ke delik materiil. Artinya, ketika akibatnya sudah muncul maka para pihak yang terlibat dalam gratifikasi dapat dikenakan pidana. Analisis ini tentu saja perlu didukung dengan argumentasi yang lebih akademik, serta riset dari berbagai kepustakaan dan mengkomparasinya.
Analisis Perkara Gatot Sutejo (Perkara No. 98/PID.SUS/TPK/2013/PN.Bdg)
Tindak pidana yang dilakukan Terdakwa sebagaimana didakwakan oleh JPU adalah melanggar Pasal 12 (e) atau melanggar Pasal 12 B (1) (a) atau pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Ketiga dakwaan tersebut tidak terbukti sehingga terdakwa dinyatakan tidak bersalah. Dalam konteks ini juga ditemukan putusan Pengadilan Tinggi dan Putusan Mahkamah Agung sehingga tidak diketahui apakah putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap atau belum.
Secara ringkas analisis yang bisa saya berikan atas kasus ini, dapat tergambar dalam matrik si bawah ini:
CATATAN: Paper ini pernah dipresentasikan oleh penulis dalam workshop yang diadakan oleh MAPP-FH UI dan KPK di Kampus FH UI Depok, tanggal 2 Agustus 2016. (***)
Published at :