SIDANG TERBUKA UNTUK UMUM DAN SIARAN LANGSUNG TELEVISI
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Agustus 2016)
Persidangan dugaan tindak pidana pembunuhan berencana dengan menggunakan racun sianida pada kopi yang dilakukan oleh terdakwa Jessica Kumala Wongso merupakan salah satu kasus yang menarik perhatian publik sehingga persidangan kasus tersebut disiarkan secara langsung oleh beberapa televisi swasta di Indonesia. Berjam-jam penonton televisi di Indonesia disuguhkan dengan tayangan mengenai perbedatan antara jaksa penuntut umum, penasihat hukum, dan majelis hakim serta berbagai keterangan saksi dan pendapat ahli telah diperdengarkan di muka persidangan. Masyarakat diajak untuk menyaksikan bagaimana jalannya persidangan atas perkara ini tanpa harus bersusah payah datang ke pengadilan. Akan tetapi di sisi lain, hal ini menimbulkan pertanyaan jika dikritisi lebih dalam apakah hal ini tidak mencederai dari jalannya persidangan itu sendiri?
Memang dalam asas peradilan pidana dikenal dengan adanya asas keterbukaan yang menyatakan bahwa sidang pemeriksaan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam undang-undang. Pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 153 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni untuk pemeriksaan persidangan yang menyangkut kesusilaan dilakukan secara tertutup, kendati pembacaan atas putusan perkara tersebut tetap dilakukan secara terbuka untuk umum. Asas ini merupakan pencerminan dari asas demokrasi dan transparansi, bahwa dengan kehadiran masyarakat dalam suatu persidangan tidak terjadi “kenakalan” dalam proses persidangan dan dalam pengambilan keputusan.
Lalu bagaimana dengan siaran langsung televisi atas suatu pemeriksaan persidangan, termasuk dalam persidangan dalam dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Jessica Kumala Wongso? Jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, makna pemeriksaan sidang terbuka untuk umum dapat ditafsirkan juga meliputi disiarkan secara langsung oleh televisi dengan adanya batasan-batasan sebagai berikut:
Pertama, soal liputan permeriksaan persidangan yang disiarkan secara langsung tersebut dilakukan secara menyeluruh. Dalam hal ini menyeluruh maksudnya adalah liputan siaran langsung tersebut dilakukan mulai dari awal agenda persidangan sampai dengan akhir agenda persidangan, yaitu sejak dari pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum sampai dengan pembacaan putusan pengadilan. Selain itu menyeluruh juga harus dimaknai tidak adanya pemotongan dalam durasi jalannya persidangan dalam siaran langsung, misalnya dalam agenda pemeriksaan saksi maupun ahli, maka siaran langsung tersebut harus meliputi seluruh keterangan saksi dan pendapat ahli dalam persidangan tersebut. Tidak hanya satu keterangan satu saksi atau pendapat ahli saja yang siarakan secara langsung dan yang lainnya tidak. Kemudian keterangan saksi atau pendapat ahli tersebut tidak boleh hanya disiarkan secara langsung sebagian atau cuplikan saja.
Hal ini menjadi penting untuk menghindari terjadinya penghakiman oleh masyarakat. Penting untuk memberikan informasi yang sebenarnya terjadi pada sidang pemeriksaan pengadilan kepada masyarakat. Pemberian informasi yang tidak utuh pada memberikan informasi yang tidak berimbang kepada masyarakat yang pada akhirnya dapat membentuk opini dan penghakiman oleh masyarakat terhadap salah satu pihak saja. Padahal seyogianya hal ini haruslah dihindari masyarakat memberikan vonis terlebih dahulu sebelum pengadilan mengeluarkan putusannya. Hal ini untuk memberikan keleluasaan kepada para aparat penegak hukum dan kepercayaan kepada institusi penegak hukum dalam menjalankan peran mereka.
Kedua, soal liputan dilakukan hanya dengan menyampaikan fakta-fakta persidangan yang berimbang. Pada saat sesudah siaran langsung, reporter televisi sering kali menyampaikan laporan dari persidangan dan mewawancari keluarga korban maupun pengacara korban. Lebih dari itu terkadang dalam peliputan tersebut hadir narumber yang merupakan ahli di bidang tertentu yang diminta komentarnya atas jalannya persidangan. Dalam hal ini pers dalam menyiarkan secara langsung suatu persidangan diharapkan lebih berhati-hati untuk menghindari terjadinya penghakiman oleh pers (trial by the press). Apa yang disampaikan oleh reporter tersebut seyogyanya hanya menyampaikan fakta-fakta yang dipandang penting dalam persidangan saja secara berimbang tanpa menambahkan opini apapun. Kemudian wawancara terhadap keluarga korban maupun pengacara korban juga hanya dilakukan sebatas mengenai fakta-fakta yang dikemukaan dalam persidangan saja tanpa merambat ke hal-hal yang sifatnya rumor yang tidak pernah disampaikan dalam persidangan. Selain itu ahli yang dihadirkan sebagai narasumber pun haruslah ahli yang netral dan tidak memihak serta memberikan jawaban sebatas apa terungkap di dalam persidangan.
Sayangnya hal ini belum dilakukan dalam liputan siarang langsung dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Jessica Kumala Wongso. Peliputan tersebut tidak dilakukan secara utuh dan banyak dilakukan pemotongan-pemotongan. Memang pemeriksaan persidangan dalam dugaan perkara tindak pidana ini memakan waktu yang lama dan membosankan sehingga stasiun televisi memilah-milah bagian masa saja yang dipandang penting dan menarik yang akan disajikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa stasiun televisi di Indonesia masih mengutamakan rating penonton dan iklan sebagai patokan, sehingga hal-hal yang disampaikan di atas menjadi penghalang. Oleh karena itu kehadiran narasumber yang tepat (netral dan tidak memihak) merupakan pelengkap yang penting dalam suatu liputan siaran langsung. (***)
Published at :