People Innovation Excellence

TINDAK PIDANA TERHADAP IDEOLOGI NEGARA

Oleh SHIDARTA (Agustus 2016)

Pada tanggal 5 Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat bernomor R-35/Pres/06/2015 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meminta DPR bersama-bersama dengan Pemerintah melakukan pembahasan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP). Di antara pasal-pasal yang diajukan dalam rancangan kodifikasi tersebut, ada cukup banyak ketentuan yang menarik perhatikan masyarakat. Salah satunya tentang tindak pidana terhadap keamanan negara, sebagai  bab pembuka dari Buku II R-KUHP tersebut. Bagian kesatu dari Bab I Buku II R-KUHP ini berjudul “tindak pidana terhadap ideologi negara”.

Pengaturan terkait tindak pidana terhadap ideologi negara dalam R-KUHP terdapat pada Pasal 219 sampai dengan Pasal 221, masing-masing di bawah dua paragraf berbeda, yaitu berupa: (1) penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, dan (2) peniadaan dan pergantian ideologi Pancasila. Tulisan berikut ini memberikan catatan kecil terhadap ketiga pasal tersebut. Pasal-pasal tersebut lengkapnya berbunyi sebagai berikut:


Screen Shot 2016-08-22 at 23.21.31


Catatan terhadap Pasal 219

Penyebutan secara eksplisit terkait larangan penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninsime dalam satu pasal khusus memperlihatkan mind-set yang sangat kuat pada kekhawatiran munculnya kembali paham ekstremis kiri di Indonesia. Padahal, paham ekstremis kanan pun tidak dapat disangkal juga mengandung bahaya yang sama tinggi derajatnya.

Menjadi cukup menarik untuk menyimak kenyataan bahwa ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang klasik hampir tidak lagi diminati dewasa ini. Telah muncul varian-varian baru dalam gerakan kaum kiri, seperti yang diperagakan oleh kaum kiri baru (new-left) yang di dalamnya juga terkandung kritik terhadap Komunisme/Marxisme sebagaimana pernah dipraktikkan oleh Lenin dan Mao. Akan sangat terbuka kemungkinan bahwa pandangan kaum kiri baru seperti inipun bisa saja dikategorikan sebagai ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Memang Penjelasan Pasal 219 telah mencoba mengunci perluasan tafsir seperti itu dengan mengatakan bahwa paham yang dilarang itu adalah ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan praktik perjuangan yang diajaran oleh Lenin, Stalin, Mao Tse-Tung, dan lain-lain, yang mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafat Pancasila.

Rumusan penjelasan di atas ternyata perlu dibaca secara hati-hati juga. Kata “dan lain-lain” pada penjelasan itu tentu sangat luas, bisa mencakup ajaran dari siapa saja. Lalu kata “benih-benih dan unsur-unsur” memperlihatkan suatu potensi. Padahal, ajaran yang bersifat ideologi apapun (tidak hanya Komunisme/Marxisme-Leninisme) pasti punya potensi pertentangan dengan Pancasila. Hal ini karena “ideologi” bagi suatu negara merupakan pilihan bagi negara tersebut. Ideologi Pancasila bagi Indonesia merupakan pilihan sadar bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebagai pilihan sadar, maka ideologi ini pasti dianggap benar dan terbaik oleh bangsa dan negara tersebut. Setiap ideologi pasti punya sifat subjektif untuk membenarkan dirinya sendiri dan justru dipakai sebagai kaca mata penilaian (genetivus subjectivus). Dengan demikian, ideologi-ideologi selain Pancasila, misalnya liberalisme, neo-liberalisme, kapitalisme, komunisme, adalah ideologi-ideologi yang kurang benar dan kurang baik bagi Indonesia. Hanya Pancasila sebagai ideologi terbaik satu-satunya bagi bangsa dan negara Indonesia. Ideologi-ideologi lain itu selalu dinilai kurang benar dan kurang baik. Oleh karena itu, di dalam ideologi-ideologi di luar Pancasila itu tadi pasti ada pertentangannya dengan falsafah Pancasila.

Di sisi lain, secara internal pun kita masih menghadapi masalah dengan tafsir kita sendiri terhadap substansi dari ideologi Pancasila itu sendiri. Pada akhir tahun 1980 sampai pertengahan 1990-an, Pemerintah Orde Baru pernah mewacanakan Pancasila sebagai ideologi terbuka (lihat misalnya paparan Mensesneg [ketika itu] Moerdiono berjudul “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka” di depan peserta Penataran Calon Manggala BP-7 Pusat di Istana Bogor tanggal 12 Juni 1990). Idenya adalah bahwa Pancasila adalah ideologi yang berinteraksi secara dinamis dengan perkembangan lingkungan sekitarnya. Moerdiono melawankannya dengan ideologi tertutup, yaitu ideologi yang merasa sudah mempunya seluruh jawaban terhadap kehidupan ini, sehingga yang perlu dilakukan adalah [sekadar] melaksanakannya, bahkan secara dogmatik. Menarik bahwa Moerdiono ketika itu memberi contoh Uni Soviet di bawah kepemimpinan MIkhail Gorbachev yang memilih langkah radikal dengan menjadikan Komunisme sebagai ideologi terbuka. Entah sadar atau tidak dengan contoh ini, Moerdiono seperti ingin mengatakan bahwa konsekuensi dari ideologi terbuka seperti itu dapat saja membawa perubahan radikal sebagaimana dialami oleh eks negara Uni Soviet.

Jadi, dalam pemosisian Pancasila sebagai ideologi terbuka, ideologi ini seyogianya membuka diri terhadap perkembangan. Pancasila harus tidak boleh didudukkan sebagai paham dogmatis yang kaku. Pandangan Moerdiono tersebut sampai sekarang tampaknya masih tetap diterima, atau setidak-tidaknya belum pernah dikoreksi.

Pasal 219 ayat (3) menyatakan, “Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud dan tujuan semata-mata untuk kegiatan ilmiah.” Subjek norma dalam ayat ini adalah “setiap orang” sementara di dalam ayat ini adalah kata-kata “maksud dan tujuan”. Jika dibaca dalam satu nafas, maaka orang yang punya maksud dan tujuan semata-mata untuk kegiatan ilmiah adalah orang-orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan. Lalu siapa yang dimaksud orang-orang seperti ini? Apakah harus dari kalangan akademis? Apakah bisa oleh kalangan non-akademis? Apakah kajian para aktivis LSM, misalnya, dapat juga dikategorikan sebagai kajian orang yang punya maksud dan tujuan ilmiah? Hal-hal ini belum jelas terjawab. Demikian juga dengan kata-kata “semata-mata ilmiah”. Kata-kata ini membuka celah penafsiran lain karena dalam kajian ilmiah pun selalu terbuka tujuan dan kegunaan lain, termasuk dalam rangka menginisasi pembaruan terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka itu tadi.

Catatan terhadap Pasal 220

Pasal ini memuat larangan terhadap orang yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, atau mengadakan hubungan dengan organisasi berasaskan ajaran tersebut.

Makna dari kata-kata “menganut” pada Pasal 220 ayat (1) memberi ruang tafsir yang juga sangat terbuka. Indikator dari “menganut” ini bisa saja secara eksplisit terlacak dari anggaran dasar organisasi itu, namun penyidik dapat saja kemudian mengacu pada ucapan, tindakan, dan/atau simbol-simbol yang digunakan dalam aktivitas organisasi tersebut. Lagi-lagi tafsir yang terbuka seperti ini pasti memberi peluang untuk diplesetkan.

Sementara itu, bagi organisasi yang mengadakan hubungan dengan orang perorangan dan organisasi lain (terlebih-lebih dari luar negeri) juga diminta berhati-hati terhadap ancaman Pasal 220 ayat (3). Lembaga Indonesia penerima donor dari organisasi asing, tentu harus benar-benar melacak siapa-siapa saja orang yang duduk di lembaga donor itu, termasuk mencari tahu apakah mereka berafilisi ke kelompok kiri atau tidak. Demikian juga harus ditelusuri rekam jejak lembaga ini. Sesuatu yang tidak selalu mudah dilakukan!

Catatan terhadap Pasal 221

Jika Pasal 219 dan 220 ingin dirangkum, maka sebenarnya rangkumannya bisa disatukan menjadi Pasal 221 ini. Ide dari larangan berupa tindak pidana terhadap ideologi negara berangkat dari kekhawatiran atas peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila.

Dalam Pasal 221 ayat (1) disebutkan tentang ancaman bagi setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum menyatakan keinginannya dengan lisan, tulisan, atau melalui media apa pun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Kata-kata “secara melawan hukum” pada ayat ini cukup membingungkan karena secara a-contrario kemudian dapat ditanyakan: apakah ada tindakan dari Pasal 221 ayat (1) ini yang boleh dilakukan karena dianggap “tidak secara melawan hukum”? Misalnya, apakah para akademisi yang memuat kajian ilmiah tentang Pancasila, lalu sampai pada rekomendasi mengganti bunyi salah satu Pancasila; apakah hal ini bisa dikatakan sebagai TIDAK melawan hukum [nota bene juga tidak melanggar Pasal 221 ayat (1)]? Pertanyaan ini sejalan dengan makna Pasal 219 ayat (3) yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa mengkaji ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk kajian ilmiah juga tidak dipidana.

Penutup

Sebagai penutup dari catatan kecil ini, ingin dipesankan agar perumusan tindak pidana terhadap ideologi negara dalam R-KUHP ini benar-benar dikaji kembali secara lebih teliti. Trauma bangsa kita terhadap kekuatan Komunisme/Marxisme-Leninisme pada era Orde Lama tidak boleh sampai membutakan kita pada ancaman serupa dari paham-paham lain yang juga sebenarnya tidak kalah bahayanya. Kekuatan Komunisme/Marxisme-Leninisme klasik saat ini sudah bermetamorfosa ke dalam paham-paham baru, bahkan terkadang menyaru juga sebagai ideologi kanan. Artinya, sumber ancaman tindak pidana terhadap ideologi negara tidak selalu harus datang dari paham kiri atau kekiri-kirian.

Ancaman-ancaman demikian tidak boleh diatasi dengan cara menutup diri terhadap kritik-kritik membangun yang dilakukan terhadap tafsir-tafsir yang terlanjur diklaim oleh pihak penguasa sebagai makna monolitik ideologi negara. Justru penguasaan terhadap tafsir monolitik demikian akan membahayakan dan pelan tapi pasti bakal mengikis daya tahan ideologi negara menghadapi tantangan zaman. Model indoktrinasi terhadap makna Pancasila di era Orde Baru sepatutnya memberikan kita pelajaran berharga tentang bagaimana cara bangsa ini seharusnya menghormati ideologi negaranya. Hukum positif seperti halnya KUHP tidak boleh lagi menjadi bagian dari upaya justifikasi penguasa negara untuk memasung tafsir ideologi Pancasila seperti itu.

Berbagai bentuk pelarangan temu ilmiah, pameran, atau kegiatan sejenis yang mengupas kajian ideologi kiri, termasuk yang akhir-akhir ini diadakan di kampus-kampus, memperlihatkan bahwa tafsir tentang “semata-mata untuk kegiatan ilmiah” dalam redaksi Pasal 219 ayat (3) R-KUHP itu juga tidaklah sesederhana seperti diperkirakan. Tidak mudah untuk membedakan antara mana kegiatan yang “semata-mata” dan “bukan semata-mata ilmiah” itu. Belum lagi jika untuk mendukung kepentingan kegiatan [ilmiah] itu, kemudian ditemukan berbagai referensi berupa buku, film, atau media lain, yang sangat mungkin juga masih berkategori terlarang. Keberadaan referensi seperti ini dapat langsung dicap sebagai bukti bahwa mereka yang terlibat dalam kegiatan itu adalah eksponen atau paling tidak, simpatisan dari ideologi anti-Pancasila.

Apabila pasal-pasal semacam haatzai artikelen sudah diupayakan untuk dihilangkan dari KUHP dan dalam khazanah hukum positif kita, maka seyogianya pasal-pasal yang berada dalam spirit yang sama dengan itu, perlu juga eksistensinya dipertimbangkan masak-masak. Cukuplah misalnya, substansi seperti termaktub dalam Pasal 221 R-KUHP itu yang dipertahankan, sehingga yang dimaksud dengan tindak pidana terhadap ideologi negara adalah tindak pidana dalam rangka meniadakan atau mengganti ideologi negara. Itupun harus tetap diformulasikan sebagai delik material. (***)


SHD


 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close