EKSTRADISI TERHADAP KEJAHATAN POLITIK
Oleh AGUS RIYANTO (Agustus 2016)
Salah satu asas yang dikenal dalam ekstradisi adalah non–extradition of political crime. Asas ini menentukan bahwa penyerahan seorang pelaku kejahatan tidak diperbolehkan apabila kejahatan yang dijadikan dasar mengekstradisikan adalah kejahatan politik (political crime) dan negara yang diminta dapat menolaknya. Larangan mengekstradisikan pelaku kejahatan politik itu didasari pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia orang yang akan diminta diekstradisikan.
Namun, dalam tiga dasawarsa belakangan tumbuh kecenderungan menghapuskan sifat dan hakekat politik dari suatu kejahatan, sehingga bagaimanapun juga kejahatan tersebut tetap akan dipandang sebagai kejahatan dan tidak lagi termasuk sebagai kejahatan politik. Penghapusan dapat diketemukan dalam perjanjian ekstradisi multilateral maupun dalam perjanjian ekstradisi bilateral. Misalnya, Konvensi Den Haag 1970, Konvensi Tokyo, 1970, dan Konvensi Montreal 1971. Ketiga konvensi tadi mengatur bahwa kejahatan dalam bidang penerbangan tidak termasuk kejahatan politik. Di samping itu, diatur dalam perundang-undangan nasional ekstradisi. Misalnya, Indonesia telah mengatur penghapusan kejahatan politik dalam Pasal 5 ayat 3 Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dengan ketentuan bahwa telah diperjanjikan terlebih dahulu dengan negara yang meminta ekstradisi kepada Indonesia.
Tumbuhnya pemikiran untuk menghapuskan sifat serta hakikat pengertian kejahatan politik dapat disebabkan oleh berberapa faktor. Antara lain faktor waktu dan kondisi, misalnya apa yang dahulu digolongkan sebagai kejahatan politik sangat boleh jadi sekarang tidak lagi dianggap sebagai kejahatan politik dan begitu pula sebaliknya pada masa yang akan datang. Termasuk juga sistem politik yang dianut, misalnya negara-negara yang menganut paham komunis hampir dapat dipastikan akan memberikan perlindungan kepada kaum komunis, yang melakukan kejahatan dan menghidupkan komunisme dalam negara-negara yang anti ideologi ini, dengan menggolongkan komunisme sebagai tindak kejahatan politik. Demikian pula tingkat penghormatan terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia turut juga mempengaruhi penilaian sifat dan haki kat kejahatan politik tersebut. Misalnya, di bawah pemerintahan regim junta militer, seorang warga negara Myanmar telah melakukan suatu perampokan pada sebuah bank milik pemerintah. Kemudian, perampok berhasil melarikan diri ke Australia. Di Australia, perampok meminta perlindungan sebagai pelaku kejahatan politik. Permintaan ini dengan pertimbangan bahwa regim junta militer pemerintah di Myanmar telah memperlakukan hak asasi manusia sewenang-wenag dan dikhawatirkan bahwa apabila diekstradisikan ke Myanmar, maka akan menerima perlakuan hukum yang sewenang-wenang tanpa memperhatikan hak-hak asasi manusia. Atas kekhawatiran besar kemungkinan bahwa perampok akan mendapatkan perlindungan hukum pelaku kejahatan politik pemerintah Australia. Hal ini terjadi, karena Australia tidak mengakui regim militer yang berkuasa di Myanmar dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia serta demokrasi atas penentuan nasib sendiri. Jadi meski permintaan ekstradisi yang diajukan pemerintah Myanmar dengan dasar kejahatan biasa, namun kemungkinan besarnya permintaan tersebut ditolak Australia. Kasusnya akan menjadi lain, apabila perampok tersebut melarikan diri ke sebuah negara yang kebetulan mengakui pemerintah regim militer di Myanmar dan sejak dahulu bersahabat secara baik, maka kemungkinan besar diserahkan sebagai penjahat biasa oleh negara yang bersahabat atau mengakui negara Myanmar. Artinya, perampok tersebut tidak akan mendapat perlindungan di negara tersebut, akan tetapi akan segera diekstradisikan ke Myanmar sebagai kejahatan biasa.
Yang menjadi permasalahan sekarang adalah kejahatan politik tertentu yang bagaimana yang dapat diekstradisikan? Ketegasan masalah ini adalah mutlak perlu untuk menghindari salah penafsiran di antara mereka dalam mengartikan kejahatan politik itu nanti dalam praktiknya. Misalnya, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi membuka kemungkinan terjadinya salah penafsiran apabila tidak dipertegas arti kejahatan politik tertentu yang bagaimana bentuknya. Sehingga, dalam hal ini merupakan kewajiban pihak Indonesia untuk menegaskan tentang hal tersebut guna menghindari salah penafsiran. Bentuk-bentuk kejahatan politik tertentu yang dihapuskan sifat dan hakikat politiknya itu merupakan usaha maksimal dari negara-negara tertentu dalam menghadapi problematika permintaan ekstradisi yang terkait unsur politik. Bahkan terdapat beberapa perjanjian multilateral yang secara tegas dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang bertalian dengan yang diatur dalam konvensi ini tidak dianggap sebagai kejahatan politik. Penegasan ini dimaksudkan supaya para pihak yang turut serta di dalam konvensi itu tidak memberikan perlindungan kepada pelaku kejahatan tersebut serta dengan tujuan pelaku kejahatan itu sendiri tidak lagi dapat berlindung dibalik alasan bahwa kejahatan yang dilakukannya itu adalah kejahatan politik.
Adapun bentuk perjanjian-perjanjian yang menghapuskan dari sifat dan hakikat kejahatan politik, sehingga menjadi dapat diekstradisikan, adalah antara lain:
- Genocide. Genocide adalah bentuk kejahatan internasional yang sangat ditakuti oleh seluruh umat manusia. Kejahatan ini pada dasarnya merupakan pembunuhan secara massal terhadap suatu ras tertentu. Mengingat betapa bahayanya kejahatan ini, maka dibentuklah suatu “Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide” Konvensi tersebut merupakan usaha mengantisipasi dampak negatif dari genocide terhadap umat manusia.
- Narkotika. Bentuk kejahatan narkotika adalah suatu kejahatan internasional yang memiliki daya rusak tinggi terhadap sendi-sendi kehidupan generasi muda khususnya dan masyarakat pada umumnya. Realitas negatif dari narkotika ini hampir telah diakui seluruh negara di dunia dan sebagai bukti keterlibatan negara-negara tersebut dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan narkotika tersebut dibentuklah “Single Convention on Narcotic Drugs” 1961 sebagai upaya bersama dari negara-negara dalam membedung dampak negatif narkotika.
- Kejahatan Penerbangan. Yang dimaksud dengan kejahatan penerbangan disini adalah kejahatan pembajakan udara. Kejahatan ini pada dekade terakhir telah merambah dan sering terjadi di berbagai kawasan dunia. Meskipun usaha masyarakat internasional di dalam memberantas kejahatan ini telah dilakukan dengan berbagai usaha seperti dibentuk Konvensi Tokyo 1963 tentang “Offence and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft”, Konvensi Den Haag 1970 tentang “The Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft” dan Kanvensi Montreal 1971 tentang “The Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation”. Namun perkembangannya memperlihatkan suatu peningkatan yang cukup membahayakan masyarakat internasional.
Dihapuskannya ketiga bentuk kejahatan tersebut dari unsur politik dengan pertimbangan dan pemikiran bahwa bentuk-bentuk kejahatan tersebut di atas telah menunjukkan dampak negatif secara langsung terhadap kelangsungan hidup umat manusia, sehingga merupakan suatu kebutuhan bersama untuk meredam dan mengurangi dampak negatif tersebut dengan menghilangkan unsur politik dari kejahatan-kejahatan itu. Hal ini didukung hukum internasional yang telah mempersempit pengertian kejahatan politik tersebut pada dasarnya adalah tidak dilarang. Artinya, mereka itu sebelumnya memang telah menentukan bahwa untuk kejahatan politik tertentu dihapuskan sifat dan hakekatnya dalam perjanjian tertulis, maka tindakan mempersempit arti kejahatan politik itu dapat dibenarkan adanya. Negara-negara diberikan kebebasan penuh untuk merundingkan dan mengaturnya, dengan harapan dalam pelaksanaan diktum-diktum konvensi-konvensi tersebut diatur dan dapat terlaksana sebagaimana dikehendaki masyarakat internasional. Kehendak bersama negara-negara untuk selalu akan menjaga keamanan, ketertiban dan kedamaian dunia. Semoga! (***)
Published at :