UTOPIA HUKUM KEWARGANEGARAAN
Oleh REZA ZAKI (Agustus 2016)
Polemik status kewarganegaraan mantan Menteri ESDM Archandra Tahar dan Paskibraka Gloria menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir ini. Keduanya muncul menjadi fenomena menjelang perayaan kemerdekaan ke-71 Indonesia. Archandra Tahar akhirnya diberhentikan secara hormat sebagai Menteri ESDM karena dianggap memiliki status kewarganegaraan Amerika Serikat, sementara Gloria tidak diperbolehkan mengibarkan bendera Merah Putih saat perayaan HUT ke-71 Kemerdekaan RI di Istana Negara karena dianggap merupakan warga negara Perancis, walaupun akhirnya lewat kebijaksanaan Presiden Joko Widodo, Gloria diperbolehkan menurunkan bendera Merah Putih di sore harinya.
Hukum kewarganegaraan sebenarnya adalah hukum yurisdiksi di masing-masing negara untuk mengklaim status seseorang. Menurut hukum kebiasaan internasional, setiap negara berhak untuk menentukan siapa yang akan diakui sebagai warga negara. Klasifikasi itu dapat dilakukan oleh adat, hukum wajib, atau kasus hukum (preseden), atau beberapa kombinasi.
Menurut Undang-undang No 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan disebutkan bahwa cara memperoleh kewargangeraan bisa dengan beberapa mekanisme yakni karena:
- kelahiran;
- pengangkatan;
- dikabulkan permohonannya;
- pewarganegaraan;
- akibat perkawinan;
- turut ayah dan Ibunya; dan
- pernyataan.
Secara konvensional, seseorang dapat memperoleh kewarganegaraan di Indonesia apabila telah menetap di Indonesia selama 5 (lima) tahun. Akan tetapi Presiden bisa mengambil kebijakan melalui konsultasi dengan DPR berdasarkan Pasal 20 UU Kewarganegaraan, bila seseorang yang telah berjasa atau dibutuhkan karena kemampuannya, Presiden dapat memberi kewarganegaraan setelah berkonsultasi atau mendapat persetujuan dari DPR. Jalur yang ditempuh adalah jalur khusus, sebagaimana naturalisasi yang kerap dilakukan terhadap pemain sepakbola asing.
Menurut UU Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, pada seseorang dapat terjadi tiga hal: memperoleh (Pasal 8–22), kehilangan (Pasal 23–30), dan memperoleh kembali (Pasal 31–35) kewarganegaraan Indonesia. Yang pasti, Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride). Namun, kewarganegaraan ganda niscaya terwujud di Indonesia jika ada wacana yang digulirkan untuk melakukan revisi terhadap UU Kewarganegaraan di DPR. Pengalaman beberapa negara lain juga dapat dijadikan acuan. India misalnya, memakai prinsip dwikewarganegaraan sehingga saat ini terdapat begitu banyak orang-orang India di Amerika Serikat, bekerja di Google dan Microsoft, tetapi mereka tetaplah warga negara India sekaligus juga warga negara Amerika Serikat. Iktibar demikian cukup beralasan karena Indonesia memiliki sejumlah kaum profesional yang saat ini tersebar di mancanegara dan terikat dalam sebuah kanal bernama Diaspora Indonesia. Keahlian mereka seringkali tak disambut gegap gempita oleh Pemerintah Indonesia. Seringkali di antara mereka memilih akhirnya berpindah kewarganegaraan atau bahkan mengabdi di negeri seberang akibat minimnya respon dari negara mereka sendiri.
Kita harus berpikir strategis ke depan untuk menyelamatkan kekayaan terbesar negeri ini yaitu sumber daya manusia (SDM), khususnya kehadiran mereka yang kualitasnya sudah mendapatkan pengakuan internasional, seperti Sri Mulyani, Mari Elka Pangestu, Ricky Elson, Gita Wirjawan, dan lain-lain sederet tokoh anak bangsa. (***)