PERMAINAN ASAS HUKUM DALAM MENYOROTI UPAYA PERPANJANGAN KONTRAK KARYA FREEPORT
Oleh SHIDARTA (Agustus 2016)
Sampai sekarang isu tentang jadi tidaknya perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia masih menjadi polemik dan konsumsi publik. Intinya, kontrak karya ini akan berakhir pada tahun 2021. Kontrak karya ini dibuat berangkat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan. Saat ini, undang-undang ini tidak lagi menjadi hukum positif. Acuan hukum positifnya sekarang adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Dalam filosofi undang-undang yang baru ini, rezim kontrak karya sudah berakhir dan diganti dengan izin usaha pertambangan. Persoalannya adalah: apakah mungkin untuk memperpanjang kontrak karya ini dengan berangkat dari kenyataan bahwa kontrak karya ini sudah dimulai sebelum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan dengan sendirinya memiliki sejarah tersendiri yang harus dihormati; demikian juga kemanfaatan yang sudah dikontribusikan bagi masyarakat? Saya ingin mencermati pertanyaan di atas dengan menganalisisnya melalui paparan beberapa asas hukum sebagai berikut.
Pertama, ada asas yang menyatakan bahwa para pihak dalam suatu kontrak memiliki kebebasan membuat kontrak (freedom of contract; partij autonomie). Dalam konteks di atas, kebebasan berkontrak sudah terjadi di era ketika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 masih berlaku. Undang-undang ini membolehkan para pihak membuat kontrak karya, sehingga ada keselarasan antara perjanjian yang diformat dalam kontrak karya dan undang-undang yang menaunginya. Namun, hubungan antara kontrak karya dan undang-undang ini tidak dilandasi oleh asas lex specialis derogat legi genarali, sebagaimana disinyalir oleh sebagian pengamat hukum. Kontrak dan undang-undang adalah dua sumber hukum yang berbeda format. Kontrak bukanlah lex. Hanya dua peraturan perundang-undangan yang sederajat dan secara prinsip memiliki materi muatan yang sama, yang dapat dilekatkan pada asas lex specialis derogat legi generali itu. Misalnya, KUH Perdata dan KUH Dagang memenuhi syarat ini. Keduanya adalah produk hukum berderajat undang-undang dan secara substansi mengatur hal yang sama. KUH Perdata berposisi sebagai lex generalis, sementara KUH Dagang adalah lex specialis. Apabila terjadi konflik secara normatif di antara keduanya, maka yang dimenangkan adalah KUH Dagang. Lalu bagaimana antara kontrak dan undang-undang? Jika kontrak bentrok dengan undang-undang, maka mana yang harus dimenangkan sangat bergantung pada sifat norma dari undang-undang itu (atau disebut operator normanya). Jika sifat normanya memaksa, maka undang-undang yang dimenangkan. Asasnya menyatakan: lex dura sed tamen scripta (undang-undang itu keras, demikianlah ia tertulis). Dengan demikian, undang-undang tak dapat diganggu gugat. Jika sifat normanya sekadar mengatur, maka kontrak dapat saja menyimpangi ketentuan norma yang mengatur itu. Buku III KUH Perdata pada umumnya memuat ketentuan norma mengatur atau bersifat terbuka, sehingga dapat disimpangi oleh para pihak yang membuat kontrak. Di sini asas kebebasan berkontrak (dan konsensualisme) menunjukkan kekuatannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kontrak karya yang menggunakan dasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tidak boleh dipandang sebagai lex specialis karena secara konseptual memang tidak dapat disebut sebagai lex. Namun, kontrak ini tetap sah memiliki kekuatan berlaku karena bersandar pada asas kebebasan berkontrak dan tidak bertentangan dengan hukum positif pada saat kontrak ditandatangani. Batas waktu kekuatan berlaku kontrak bisa ditentukan oleh undang-undang (hukum positif) yang ada pada saat kontrak disahkan, atau jika tidak ditentukan oleh undang-undang dapat juga ditentukan di dalam kontrak itu sendiri. Apabila telah ditetapkan sejak semula bahwa kontrak karya Freeport ini berakhir pada tahun 2021, maka batas waktu inilah yang dijadikan pegangan untuk mengakhiri kontrak.
Kedua, ada asas lex posterior derogat legi priori. Di atas sudah disinggung bahwa batas akhir masa kontrak adalah pada tahun 2021. Jika kontrak ini berakhir nanti pada tahun 2021, sandaran hukum positifnya tidak boleh lagi mengacu ke Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Hal ini menjadi penting karena undang-undang yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah menggantikan posisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Ada perbedaan prinsip dalam substansi pengaturan di antara kedua undang-undang ini, sehingga para pihak yang membuat perjanjian tidak boleh bersikeras menggunakan dasar hukum yang lama, yang nota bene sudah bukan lagi hukum positif. Pemaksaan untuk menggunakan aturan yang lama justru menunjukkan kesesatan benalar yang disebut argumentum ad antiquitam, yang dalam konteks ini tidak relevan untuk digunakan.
Dalam setiap kontrak selalu terdapat tiga unsur perjanjian yang perlu dicermati. Ada unsur yang mutlak ada tanpa bisa dikompromikan, yaitu unsur esensialia. Unsur ini biasanya berkorelasi langsung dengan ketentuan-ketentuan memaksa yang sudah dicantumkan di dalam peraturan perundang-undangan. Namun, ada unsur naturalia yang memang tercantum di dalam peraturan perundang-undangan atau dalam sumber formal hukum lainnya, tetapi oleh para pihak dapat dieksplisitkan klausula khusus untuk menyimpanginya. Unsur naturalia ini biasanya berkorelasi dengan ketentuan mengatur dalam peraturan perundang-undangan. Terakhir adalah unsur aksidentalia yang sepenuhnya bergantung pada ada tidaknya hal itu dicantumkan di dalam kontrak. Artinya, ia hanya mengikat sepanjang dimuat di dalam kontrak.
Dengan demikian, perpanjangan kontrak Freeport dengan tetap menggunakan format kontrak karya sama sekali tidak memiliki pijakan dasar hukum lagi. Jika ini dipaksakan, maka kontrak demikian menjadi batal demi hukum. Seandainya masih terdapat kontrak-kontrak yang harus dibuat saat ini, maka format kontrak karya sudah harus ditinggalkan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Dengan perkataan lain, di mata para pelaku usaha pertambangan saat ini, rezim kontrak karya tidak boleh lagi dijadikan acuan. Jika dipaksakan, maka hal ini akan melanggar unsur esensialia dalam perjanjian yang dibuat.
Patut dicatat bahwa rezim perizinan jelas berbeda dengan rezim kontrak. Dalam perizinan terkonstruksikan suatu pola relasi subordinasi. Penerima izin berada di posisi subordinat daripada pemberi izin. Hal ini berbeda dengan kontrak yang mendudukkan para pihak dalam posisi sejajar. Dengan demikian, melalui rezim perizinan ini seharusnya tidak lagi dikenal bentuk kontrak untuk mendasarkan hubungan hukum di antara pemberi dan penerima izin.
Ketiga, asas kemanfaatan. Asas ini merupakan asas hukum yang sangat luas cakupannya. Asas ini memberi landasan teleologis bagi hukum, bahwa setiap hukum wajib memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin masyarakat. PT Freeport Indonesia dapat saja mengklaim bahwa kontrak karya yang telah berjalan saat ini telah mampu berkontribusi bagi pendapatan negara. Pemerintah Indonesia juga memiliki saham di perusahaan ini sebesar 9,36%. Namun, persoalannya adalah siapa yang menentukan besaran kemanfaatan ini?
Apabila kontrak karya berakhir pada tahun 2021, pola hubungan antara pihak pemerintah sebagai pemberi izin dan PT Freeport Indonesia sudah sama sekali berubah. Menurut hukum positif yang berlaku pada saat itu, mereka tidak boleh lagi diposisikan sebagai pembuat kontrak yang sederajat. Oleh sebab itu, apakah kontribusi PT Freeport Indonesia selama ini dipandang bermanfaat atau tidak bermanfaat menjadi hak sepenuhnya bagi pihak pemberi izin untuk mempertimbangkannya. Pertimbangan ini bukan dalam rangka untuk melanjutkan pola hubungan kontrak karya, melainkan pertimbangan untuk memberi atau tidak memberi izin usaha pertambangan. Pihak PT Freeport Indonesia adalah sekadar subordinat yang menjadi pemohon izin. (***)