INKONSISTENSI TANDA PADA WADAH SAMPAH
Oleh ERNI HERAWATI (Agustus 2016)
Tulisan kali ini sekali lagi hendak membahas tentang pengelolaan sampah di Indonesia. Seperti data mengenai sampah yang pernah disampaikan sebelumnya bahwa sampah yang dihasilkan di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 175.000 ton sampah per hari atau jika dirata-rata setiap orang memproduksi sampah 0,7 kg per hari. Terhadap permasalahan sampah ini, pemerintah sudah lama mengatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pembuat undang-undang pada dasarnya telah menyadari bahwa permasalahan sampah sudah menjadi isu nasional, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat.
Berkaitan dengan pertimbangan bahwa undang-undang tentang pengelolaan sampah tersebut diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat, namun melihat pada kenyataannya perilaku masyarakat Indonesia masih belum berubah dalam memahami tentang sampah dan bagaimana ikut serta dalam mengelola sampah. Contohnya masih banyak didapati masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempatnya, padahal saat ini tempat penampungan sampah (wadah sampah) sudah sangat mudah ditemui baik ditempat umum maupun privat. Selain itu perangkat peraturan tentang pengelolaan sampah sudah dibuat tidak hanya pada tingkat pusat, tetapi juga sampai pada peraturan daerah. Belum berubahnya perilaku masyarakat seperti yang diharapkan, kemungkinan bisa terjadi karena masih belum adanya konsistensi tanda dalam mengarahkan masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Tidak seperti tanda-tanda rambu lalu lintas dimana bentuk, warna dan bahkan ukuran pasti sama dan konsisten dimanapun berada di seluruh wilayah Indonesia. Tanda-tanda yang tersedia pada fasilitas tempat membuang sampah tidak memiliki kekonsistensian. Hal ini khususnya jika melihat pada bagaimana masyarakat diharapkan ikut melakukan pemilahan sampah yang dibuangnya melalui tempat penampungan sampah yang ada di sekitar lingkungan mereka. Berbagai macam tanda dan warna yang ada pada TPS untuk menunjukkan pada masyarakat yang hendak membuang sampah yang dipilah sesuai dengan jenis sampah.
Penanganan sampah terdiri atas lima langkah yaitu: pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah. Menurut Pasal 2 UU Pengelolaan Sampah, sampah yang diatur menurut UU tersebut terdiri dari 3 jenis yaitu : sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga dan sampah spesifik. Pada Passal 12 ayat (1) dan 13 diatur bahwa kewajiban pengelolaan sampah ada pada setiap orang dengan membedakan jenis sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga, sedangkan kewajiban pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya yaitu wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah. Pemilahan sampah yang dimaksud adalah pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah. Pada PP No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, khususnya pada pasal 17 diatur bahwa pemilahan sampah dilakukan melalui kegiatan pengelompokan sampah menjadi paling sedikit 5 (lima) jenis sampah yang terdiri dari : 1) sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbaaya dan beracun; 2) sampah yang mudah terurai; 3) sampah yang dapat digunakan kembali; 4) sampah yang dapat didaur ulang; dan 5) sampah lainnya.
Pelaksanaan pengelolaan sampah menjadi wewenang pemerintahan daerah. Salah satu contoh ketentuan pemilahan sampah di wilayah DKI Jakarta, berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah, diatur bahwa pemilahan sampah dilakukan dilakukan dengan dengan tanda antara lain : 1) wadah warna hijau untuk sampah organik; 2) wadah warna kuning untuk sampah anorganik; 3) wadah warna merah untuk sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun rumah tangga. Di daerah lain kita menemukan bahwa pembagian kriteria wadah sampah tidak hanya tiga jenis tetapi lima jenis sesuai dengan yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah atau justru hanya dua jenis saja yaitu sampah organik dan non organik. Warna wadah sampahnyapun bermacam-macam yaitu merah, biru, hijau, kuning dan hitam.
Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa tidak ada tanda yang pasti bagi masyarakat untuk dapat tertib membuang dan memilah sampah sesuai dengan jenis sampah. Mengapa tanda ini begitu penting? Karena hal ini berkaitan dengan sistem kognisi atau pengetahuan manusia dalam mengolah informasi ke dalam otak. Manusia membutukan kepastian dan keteraturan tanda dalam berperilaku. Dalam kajian semiotik, Johansen & Larsen menjelaskan “Within semiotics, the concept of structure refers not only to various interacting components, which together form a sign. It can also be used to characterize the relationship between signs and the reality to which they refer”.[1] Pentingnya tanda dikaitkan dengan keteraturan masyarakat dalam program pemilahan sampah tidak bisa diremehkan. Melalui tanda, manusia akan berusaha mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang tidak teratur agar manusia mempunyai pegangan. Dalam pandangan Saussure tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial yang terdiri dari sistem tanda dan sistem sosial yang saling berkaitan. Keduanya memerlukan konvensi sosial agar tanda dapat dipilih dan digunakan dengan cara-cara tertentu sehingga ia memiliki makna dan nilai sosial.[2] Peirce juga mengkategorikan tanda demikian sebagai Iconic Legisign, yaitu tanda yang menginformasikan norma atau hukum. Dengan demikian, maka keberhasilan pengelolaan sampah perlu ditunjang dengan aturan yang seragam mengenai tanda-tanda yang pasti bagi masyarakat untuk tertib dalam membuang sampah pada tempatnya sesuai dengan jenis sampah. (***)
CATATAN REFERENSI:
[1] Sign in use, Johansen & Larsen, Routledge, 2002.
[2] Alex Sobur. Semiotika Komunikasi (2013). Bandung: Remaja Rosdakarya.