KONSEP RELATIVISME DALAM PEMBELAJARAN HUKUM
Oleh SHIDARTA (Agustus 2016)
Dalam filsafat kita mengenal istilah “relativisme” yang kerap dilawankan dengan “absolutisme”. Dalam buku-buku teks, relativisme dibedakan menjadi dua area, yakni relativisme di wilayah epistemologi dan relativisme di wilayah aksiologi. Walaupun di atas kertas keduanya dapat dibedakan, tetapi dalam tataran argumentasi, mereka berada dalam satu kubu. Penganut relativisme epistemologi akan mendukung posisi relativisme aksiologi, demikian pula sebaliknya.
Relativisme dalam epistemologi disebut juga relativisme kognitif, yang mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak dan universal dalam pengetahuan manusia. Semua hanya sampai pada tahapan relatif benar. Eksponen kaum sofis dari era Yunani Kuno bernama Protagoras Abdera (485–415 SM) sudah sejak lama mengajarkan hal ini. Baginya setiap kebenaran berangkat dari ukuran-kuran subjektif manusia karena benar atau tidak benar ditentukan oleh manusia itu sendiri. Tidak ada kebenaran yang datang dari sang adi-manusia sebagaimana ditawarkan oleh ajaran politeisme atau monoteisme karena pada akhirnya ajaran-ajaran itu harus diturunkan dan diterjemahkan kembali melalui kognisi manusia. Relativisme etika mengamini pandangan relativisme kognisi. Secara aksiologis, tataran nilai juga muncul dari pandangan kemanusiaan. Tidak hanya benar/salah, melainkan baik/buruk juga datang melalui penilaian manusia (catatan: Soetandyo Wignjosoebroto pernah membedakan pengertian antara benar/salah dalam kategori true/false pada ilmu-ilmu aposteriori dan right/wrong pada ilmu-ilmu apriori).
Pandangan penganut relativisme kemudian terpecah menjadi dua, yaitu relativisme individual dan relativisme sosial. Diskusi tentang keduanya terutama menghangat dalam perbincangan di bidang etika, sehingga lahir kelompok pengusung etika individual vis-a-vis dengan pengusung etika sosial. Bagi penganut etika individual, setiap orang berhak memiliki tolok ukur moralnya sendiri. Sementara etika sosial berpendapat masyarakatlah yang berhak menentukan apa yang bermoral dan tidak bermoral. Konsekuensi dari pandangan-pandangan demikian adalah keharusan untuk menerima terjadinya pluralisme moralitas, bahwa setiap orang atau setiap masyarakat boleh memiliki pandangan moralitasnya masing-masing.
Louis P. Pojman dalam karyanya berjudul “Ethical Theory: Classical and Contemporary Readings” (1998: 16-18) memberi terminologi “konvensionalisme” sebagai pengganti kata “relativisme sosial”. Hal ini mengacu pada pengertian bahwa selalu terdapat konvensi (kesepakatan) di dalam masyarakat mengenai benar/salah dan baik/buruk itu. Peran budaya menjadi sangat signifikan dalam konvensi tersebut.
Lawan dari relativisme adalah absolutisme yang meyakini bahwa harus ada kebenaran dan kebaikan tunggal dan objektif. Pilihannya hanya dua: benar mutlak atau salah mutlak, baik mutlak atau buruk mutlak. Tidak boleh ada yang setengah benar atau setengah salah. Mencuri barang milik orang lain adalah tindakan yang salah dan buruk, dan untuk itu tidak ada kompromi. Sama seperti kita meyakini kebenaran jawaban 1+1=2.
Untuk mempersingkat uraian, ada baiknya kita dapat masuk ke dalam pembahasan mengenai relativisme dalam hukum. Topik tentang relativisme ini punya relevansi ketika orang mempertentangkan antara hukum prapositif dan hukum positif. Hukum prapositif adalah hukum yang eksis tanpa harus melalui campur tangan penguasa. Para penstudi hukum menyebutnya sebagai moralitas, yang pada hakikatnya merupakan norma-norma ideal. Karena norma-norma ini masih berada dalam alam ideal, maka formatnya sebagai hukum belum ditetapkan. Hukum tersebut masih berupa ius constituendum. Lain halnya dengan hukum positif, yakni hukum yang sudah ditetapkan dalam format tertentu melalui campur tangan penguasa. Menurut pandangan sejarawan hukum, pada mulanya substansi hukum positif yang ditetapkan oleh penguasa tersebut tidaklah diambil dari ius constituendum, melainkan dari kebiasaan-kebiasaan yang memang sudah dipraktikkan secara nyata oleh masyarakat setempat. Dengan perkataan lain, sesuatu yang positif sebenarnya adalah sesuatu yang empiris. Itulah alasannya mengapa H.L.A. Hart memasukkan kebiasaan-kebiasaan ini ke dalam kelompok aturan pengakuan (rule of recognition). Pengakuan ini mengharuskan ada pengalihwujudan hukum kebiasaan ke dalam bentuk-bentuk lain, misalnya dalam teks-teks tertulis. Pada tahapan awal ini, hukum positif yang tertulis itu sama saja dengan hukum yang hidup (living law) di tengah-tengah masyarakat. Tatkala Corpus Iuris Civilis Romanum diinisiasi oleh Kaisar Justinianus (483-565), ia bermaksud membukukan apa-apa yang memang sudah menjadi kebiasaan warga Romawi yang tersebar dari daratan Irlandia di Eropa sampai ke perbatasan wilayah Persia di Asia. Namun segera disadari bahwa kitab hukum ini tidak mungkin mampu merangkum semua kebiasaan-kebiasaan warga Romawi yang hidup dalam rentang geografis seluas itu. Oleh sebab itu, corpus iuris ini memuat juga catatan-catatan para ahli hukum Romawi, ditambah dengan bahan bacaan untuk acuan para penstudi hukum, dan hal-hal baru yang terjadi setelah Kaisar Justinianus wafat.
Oleh karena semula tidak ada disparitas antara hukum positif dengan hukum kebiasaan, maka disparitas lalu dialamatkan pada perbedaan antara hukum positif yang yuridis dan hukum yang dicita-citakan yang metayuridis. Atau, antara ius constitutum dan ius constituendum; antara hukum positif dan moralitas. Di tataran ini masih relevan untuk menghadap-hadapkan antara ius constitutum sebagai produk relativisme dan ius constituendum sebagai produk absolutisme.
Namun, tataran ini tidak berjalan lama. Seiring dengan makin berkembangnya hukum, ius constituendum pun tidak lagi dapat disebut absolut. Moralitas ternyata juga merupakan hasil dari kesepakatan. Kesepakatan itu dapat muncul secara sadar dan disengaja (by-desgin) atau secara intuitif dan alamiah. Moralitas dengan demikian boleh jadi juga tidak datang dari dunia meta-yuridis yang diasumsikan ideal itu, melainkan timbul dari dunia faktual yang empriris. Adanya kesepakatan-kesepakatan itupun tidak selalu harus diangkat ke permukaan dan dieksplisitkan sehingga menjadi isu publik apabila tidak/belum terdapat dilema-dilema moralitas. Di era Yunani Kuno, misalnya, orang-orang Sparta sangat memuliakan anak-anak yang belajar musik dan membaca, sehingga anak-anak di polis ini terbiasa memainkan musik dan membaca. Ironisnya, pada saat bersamaan orang-orang Ionia menganggap hal-hal tersebut sebagai tindakan yang sangat tidak terpuji (Shomali, 2001: 45). Orang-orang Sparta dan Iona tentu tidak akan mempermasalahkan perbedaan tersebut apabila kedua kelompok masyarakat itu tidak pernah berinteraksi satu sama lain. Isu ini akan muncul ke permukaan dan menjadi dilema jika ternyata ada orang Sparta yang bermigrasi ke Iona atau sebaliknya, atau jika di antara mereka kemudian melangsungkan perkawinan dan beranak pinak, sehingga perbenturan nilai-nilai pun terjadi. Orang-orang yang kritis pada zaman mereka akan mempertanyakan mana di antara kedua pandangan masyarakat itu yang pasti benar dan pasti baik, atau mungkin yang lebih benar dan lebih baik.
Dengan demikian adalah sangat logis apabila hukum positif yang hadir dewasa ini terbuka pula untuk dikritisi. Sikap yang sama juga ditujukan terhadap putusan-putusan hakim. Produk-produk hukum itu perlu dikritisi karena benar/salah dan baik/buruk mereka adalah relatif. Jika sudah mutlak benar/salah dan baik/buruknya maka tidak perlu ada diskusi lagi tentang hukum. Pendidikan hukum juga bakal hadir sekadar sebagai pendidikan indoktrinasi atau ideologisasi semata. Belajar hukum akhirnya menjadi sangat berbahaya karena akan mengerdilkan para penstudinya bukan malah mencerahkan. Belajar hukum tidak membuat orang bertambah luas wawasannya karena hanya boleh menyakini satu kebenaran saja (monolitik).
Itulah sebabnya, saya sangat tidak dapat menerima pandangan yang menyatakan bahwa pembelajaran hukum (termasuk di tingkat sarjana) sudah dianggap memadai apabila mencakup kemampuan menguasai hukum-hukum positif (yang sebenarnya juga tidak pernah mampu dilakukan dan tidak pula punya kemanfaatan permanen). Belajar hukum dianggapnya cukup jika sampai pada batas belajar dogmatika hukum, seolah-olah yang benar dan baik itu cukup berpegang pada bunyi teks-teks hukum positif. Padahal, pemositifan hukum tidak boleh dipandang sebagai pemutlakan kebenaran dan kebaikan hukum. Pemositifan hukum adalah sekadar tindakan konvensionalisme, atau pemufakatan tentang tolok ukur benar/salah dan baik/buruk yang bisa diterima sementara waktu. Penerimaan sementara waktu ini penting karena hukum positif memang mengejar kepastian untuk memberi jawaban atas problema konkret yang diajukan oleh masyarakat. Ilmu hukum adalah ilmu praktis yang bertugas memberikan solusi konkret, bukan mengambang-ambangkan jawaban (litis finiri oportet). Jawaban itu selayaknya dianggap benar dan baik, sampai ditemukan lagi jawaban lain yang lebih benar dan baik, terlepas kemungkinan jawaban terakhir itu sudah tidak lagi memiliki kegunaan praktis bagi pihak-pihak berperkara atau berkepentingan langsung. (***)