MENYOROTI PUTUSAN PRAPERADILAN HAKIM SARPIN
Khairul Fahmi dkk., editor, Menegakkan Hukum tanpa Melanggar Hukum: Eksaminasi Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/PID.Prap/2015/PN/JKT.SEL (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015). 314 hlm + xiv. ISBN 978-979-769-896-6.
Sudah cukup lama berselang putusan praperadilan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.JKT.SEL dengan hakim tunggal Sarpin, tampil menghebohkan dunia peradilan. Hakim Sarpin mengabulkan permohonan Komjen Pol. Budi Gunawan terhadap termohon Komisi Pemberantasan Korupsi cq. Pimpinan KPK.
Putusan praperadilan yang menimbulkan pro-kontra ini telah disuarakan. Salah satunya dilakukan oleh majelis eksaminasi yang dibentuk oleh Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Salah satu anggota majelis eksaminasi putusan ini adalah dosen Jurusan Business Law BINUS Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. Anggota majelis yang lain adalah Prof. Dr. Elwi Danil, S.H., Dr. Yuslim, S.H., M.H., Dr. Shinta Agustina, S.H., M.H., Ganjar Laksmana, S.H., M.H., dan Sudi Prayitno, S.H., LL.M. Mereka masing-masing membuat anotasi atas putusan tersebut secara terpisah. Hasil dari keseluruhan eksaminasi ini telah diterbikan menjadi buku dengan judul seperti di atas.
Buku ini menarik untuk ditelaah karena menawarkan silang pendapat terkait isi putusan perkara praperadilan ini, baik dari aspek penalaran hukum hakim maupun dari sudut hukum acara pidana dan hukum substansialnya. Terlepas dari segala kontroversi yang mengitarinya, putusan ini membuahkan suatu pembelajaran tentang bagaimana suatu produk peradilan harus disikapi secara ilmiah oleh komunitas penstudi hukum. Tidak dengan jalan menghujat, melainkan dengan menganalisis. Hasilnya dapat saja berupa kritik pedas, namun kritik yang muncul setelah melewati pisau bedah yang tajam.
Shidarta, misalnya, menulis artikel berjudul “Kekaburan Demarkasi antara ‘Rechtsvinding’ dan ‘Rechtsschepping’ (hlm. 55-71) yang mpertanyakan batas-batas antara penemuan hukum dan penciptaan hukum yang dihadirkan oleh hakim. Dalam telaahannya, batas-batas ini telah diterabas tanpa lagi mengindahkan pakem-pakem keilmuan. Kendati di kemudian hari Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 21/PUU-XII/2014 menyuarakan pandangan yang sejalan dengan hakim praperadilan bahwa penetapan tersangka merupakan objek praperadilan, tidaklah hal ini menjadikan pagar pembatas yang telah dirobohkan itu menjadi tegak lurus kembali. (***)