PENCEMARAN NAMA BAIK INSTITUSI NEGARA DALAM KASUS HARIS AZHAR
Oleh SHIDARTA (Agustus 2016)
Pencemaran nama baik yang dialamatkan kepada koordinator KONTRAS Haris Azhar berbuah pada pelaporan terhadap yang bersangkutan oleh tiga institusi negara sekaligus, yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kepolisian Negara, dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Persoalannya apakah pelaporan oleh institusi negara ini dapat dijustifikasi menurut hukum?
Pasal-pasal yang bersentuhan dengan delik pencemaran nama baik dapat merujuk pada Bab XVI KUHP yang berjudul “penghinaan” (beleediging). Pasal 310 ayat (1) KUHP menyebutkan istilah “pencemaran” (smaad). Pasal itu berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh suatu hal yang maksudnya terang supaya hak itu ketahui umum, diancam karena pencemaran [kehormatan/nama baik], dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.” Ancaman pidana penjaranya dipeberat kalau pencemaran itu dilakukan secara tertulis atau berupa gambar yang disiarkan dan dipertunjukkan kepada umum. Namun, ayat (3) dari pasal ini mengecualikan jika perbuatan itu dilakukan demi kepentingan umum atau karana keterpaksaan untuk membela diri. Bab XVI (Buku II KUHP) ini berlanjut sampai dengan Pasal 321. Kualifikasi lain dalam bab ini juga mencakup “fitnah” (laster) (Pasal 311)
Objek norma dari Pasal 310 ini adalah “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.” Kata seseorang ini tentu bermakna umum. Seseorang ini berarti harus spesifik, mengacu pada orang pribadi. Pasal 312 dan 316 KUHP memang menyebutkan kata “pejabat” (dalam bahasa aslinya ditulis ‘een ambtenaar’) yang memperlihatkan bahwa pejabat ini adalah orang pribadi. Tentu saja, dalam konteks ini boleh saja pribadi-pribadi yang mengganggap ada pencemaran nama baik itu bisa lebih dari satu, tetapi tetap harus jelas siapa pribadi-pribadi ini. Pasal 317 menyebut kata “penguasa” tetapi di sini pun harus ditujukan pada orang tertentu (dalam bahasa aslinya tertulis: een bepaald persoon bij de overheid). Jadi, tetap bahwa sasaran dari pencemaran (atau jika berlanjut menjadi fitnah) itu haruslah seseorang yang sudah tertentu.
Sebagai perbandingan dapat ditunjukkan kasus “pencemaran nama baik” yang dilakukan oleh seseorang bernama Prita Mulyasari. Orang-orang yang menuduhnya melakukan pencemaran ini adalah dua orang dokter bernama dr. Hengky Gosal dan dr. Garce Nela. Padahal, kedua dokter ini bekerja di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang.[1] Artinya, pengelola RS Omni Internasional Tangerang sama sekali tidak dilibatkan dalam kasus pidana ini. Lain halnya tatkala masalahnya terkait kasus perdata. Pihak pengelola RS Omni Internasional Tangerang, yakni PT Sarana Mediatama Internasional merupakan pihak.[2]
Mengingat pasal-pasal tentang penghinaan ini bersifat delik aduan, maka dapatkah ada pejabat-pejabat tertentu datang ke pihak penyelidik/penyidik untuk melaporkan atas nama institusi negara?
Institusi (lembaga) negara mengandung pengertian yang luas sebagai institusi yang dibentuk oleh negara untuk menjalankan fungsi negara. Pemaknaan luas ini dianut oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 62/PUU-VIII/2010.[3] Sementara dalam arti sempit, institusi negara adalah organ yang secara expressis verbis disebutkan demikian oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang pembentukannya. Jadi, tidak diragukan bahwa TNI, Polri, dan BNN adalah institusi negara.
Sebagai institusi negara, ketiga lembaga di atas menjalankan fungsi negara. Artinya, semua institusi ini menjalankan tugas-tugas terkait kepentingan umum. Mereka adalah badan-badan umum. Di sini filosofi terkait pasal-pasal penghinaan ini menjadi relevan untuk diperbincangkan. Dengan memasukkan ayat (3) Pasal 310 di dalam rumusan KUHP, terlihat benar bahwa pembentuk undang-undang sejak semula sudah menyadari adanya kemungkinan tuduhan-tuduhan pencemaran nama baik tersebut sangat rentan dipakai untuk membungkam warga-warga yang kritis terhadap institusi negara, padahal sebagai warga negara para pengkritik ini punya kepentingan untuk memperbaiki kinerja institusi tersebut. Kata-kata “kepentingan umum” (algemeen belang) yang ada di dalam Pasal 310 ayat (3) ini memang menjadi tugas hakim untuk menilainya (Pasal 312), tetapi secara filosofis dengan keharusan orang yang merasa tercemar ini harus pribadi, maka hakim seharusnya udah memiliki rambu-rambu bagaimana ia selayaknya bersikap.
Memang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberi kemungkinan (kendati kansnya kecil) terkait pelaporan kasus di atas atas dasar klasifikasi tindak pidana lain, misalnya berkenaan dengan penyerangan terhadap martabat presiden/wakil presiden (mengingat ketiga institusi ini berpuncak kepada Presiden) dan kejahatan terhadap ketertiban umum (permusuhan/kebencian/penghinaan terhadap pemerintah) sebagaimana dimuat dalam Bab II dan V (Buku II KUHP). Namun pasal-pasal yang berkisar soal ini termasuk dalam kategori haatzai artikelen, yang secara historis pernah dijadikan instrumen penekan bagi pengkritik pemerintah dari era kolonial sampai dengan Orde Baru.
Dilihat dari persperktif kepentingan perlindungan bagi institusi negara, perlindungan terhadap martabat presiden/wakil presiden jelas lebih langsung terasakan dampaknya (lebih krusial) daripada martabat badan-badan pemerintahan secara umum (baca: TNI, Polri, BNN). Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan pasal-pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang menjamin kebebasan warga negara memperoleh dan menyampaikan informasi. Artinya, pasal-pasal yang ada di dalam Bab V KUHP inipun sebenarnya secara filosofis harus dibaca dalam satu tarikan nafas dengan ketiga pasal yang sudah “dianulir” oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan menggunakan penalaran argumentum ad fortiori, seharusnya Pasal 154 dst (berkenaan dengan kejahatan terhadap ketertiban umum) juga tidak layak untuk dibuka kemungkinannya sebagai kriteria tindak pidana yang dapat mengancam Haris Azhar. (***)
REFERENSI:
[1] Putusan MA No. 822K/Pid.Sus/2010 menghukum Prita telah melakukan pencemaran ini.
[2] Putusan MA Nomor 300K/Pdt/2010 mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Prita Mulyasari, tetapi juga tidak menghukum pihak RS Omni Internasional Tangerang. Mengenai hal ini baca ulasan dari Shidarta, “Membidik Penalaran Hakim di Balik Skor ‘Kosong-Kosong’ dalam Kasus Prita Mulyasari,” Jurnal Yudisial, Vol. IV/No. 03/Desember/2011, hlm. 283-297.
[3] Putusan ini tentang penggunaan nama Ombudsman dan posisi Ombudsman sebagai lembaga negara. Mahkamah Konstitusi menyatakan lembaga negara adalah institusi yang menjalankan fungsi negara, terlepas apakah keberadaannya secara tegas (expressis verbis) dinyatakan di dalam undang-undang dasar atau dalam undang-undang pembentukannya.
Published at :