PEMBERI GRATIFIKASI SEHARUSNYA JUGA DIPIDANA
Dosen Jurusan Business Law BINUS Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A. menegaskan bahwa tidak adanya aspek transaksional dalam gratifikasi (sebagaimana terdapat pada tindakan suap), tidak lalu membuat gratifikasi tidak dapat dipidana. Beliau mengemukakan pandangannya ini saat diundang sebagai salah satu pembicara dalam acara worksop “Analisa Putusan Pengadilan Tindak PIdana Korupsi dalam Perkara Gratifikasi” yang diadakan pada tanggal 2 Agustus 2016 di Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Kegiatan ini diadakah oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) bekerjasama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dalam workshop ini, tiga pembicara lain yang diudang adalah Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. (Dekan Fakultas Hukum UI), Muhammad Novia, S.H., M.H. (Ketua Kelompok Advokasi Direktorat Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK), dan Hasril Hertanto, S.H., M.A. (staf Pengajar Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum UI). Dalam workshop ini sekitar 25 peserta hadir dari berbagai latar belakang yaitu LBH, KPK, akademisi, MAPPI dan beberapa organisasi yang bergerak dalam bidang antikorupsi.
Workshop ini sendiri bertujuan untuk merumuskan pendapat hukum dan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai panduan bagi penegak hukum dalam menerapkan ketentuan gratifikasi sebagaimana terdapat pada Pasal 12B Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Ada dua kasus yang dianalisis dan menjadi fokus utama workshop ini yaitu Putusan Perkara I Wayan Chandra (Mantan Bupati Klungkung Bali) dan Perkara Gatot Sutejo (Kepala Seksi Izin Peruntukan Lahan, Pemerintah Bekasi).
Dalam konteks ini Ahmad Sofian diminta memberikan analisis atas kedua perkara ini. Menurutnya, dalam hukum positif Indonesia, gratifikasi dibedakan dengan perkara suap sebagaimana diatur dalam Pasal 209-210 KUHP. Dalam suap ada unsur “transaksional” antara pemberi suap dan penerima suap sehingga kedua pelaku dapat dipidana. Sementara itu dalam gratifikasi unsur transaksional itu tidak ada pada saat diberikannya gratifikasi, sehingga pemberi gratifikasi tidak dipidana dan hanya penerima grafitikasi saja yang dapat dipidana. Penekanan pada delik gratifikasi adalah soal moral seorang penyelenggara negara yang tidak boleh menerima pemberian ketika dia menjalankan pekerjaannya karena akan muncuk “conflict interest”. Oleh karena itu, gratifikasi ini dilarang sebagaimana diatur dalam pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Menurut Ahmad Sofian, seharusnya pemberi gratifikasi pun dapat dipidana, jika pemberian gratifikas ini menimbulkan akibat yaitu si pejabat publik yang menerima gratifikasi tersebut melakukan sesuatu yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Jadi, menurutnya, meskipun tidak ada hubungan transaksional, namun ada hubungan kausal yang menimbulkan akibat yang terlarang. Pemberian gratifikasi adalah sebuah tindak pidana sepanjang menimbulkan akibat yang terlarang tersebut. Dengan demikian patut dipertimbangkan agar rumusan delik gratifikasi dirubah menjadi delik materiil.(***)