MAKNA HAKIKI SUBJEK HUKUM DAN SUBJEK NORMA
Oleh SHIDARTA (Agustus 2016)
Dalam doktrin hasil kajian para teoretisi hukum, subjek hukum dimaknai sebagai penyandang hak dan kewajiban. Saya cenderung tidak menggunakan proposisi dengan kata sambung konjunktif ”dan” pada definisi di atas. Lebih tepat jika dipakai kata sambung konjunktif-disjunktif sekaligus sehingga menjadi ”hak dan/atau kewajiban”. Jadi, subjek hukum dapat menjadi penyandang hak saja, atau penyandang kewajiban saja, atau keduanya sekaligus sebagai penyandang hak dan kewajiban.
Janin di dalam kandungan adalah subjek hukum yang dapat diberikan hak menerima warisan apabila di kemudian hari ia dilahirkan dalam keadaan hidup. Janin ini adalah penerima hak saja tanpa ada kewajiban apapun. Seorang majikan yang mengasuransikan buruhnya adalah penyandang kewajiban saja karena dirinya berkewajiban membayar premi asuransi itu, sementara hak mendapatkan santunan asuransi diserahkannya kepada si buruh. Namun, sebagian besar di antara kita adalah penyandang hak sekaligus kewajiban.
Pemaknaan subjek hukum sebagai penyandang hak dan/atau kewajiban adalah pengertian subjek hukum dalam arti yang sangat luas. Dalam ranah hukum pidana, misalnya pengertian subjek hukum kerap dirancukan dengan subjek norma atau sasaran norma (normadressaat). Mereka yang disebut subjek norma adalah orang yang menjadi pelaku dari objek norma. Objek norma (normgedrag) adalah perbuatan atau perilaku yang diwajibkan, dilarang, diizinkan untuk dikerjakan, atau diberikan dispensasi untuk tidak dikerjakan oleh norma (operator norma atau modus perilaku).
Subjek norma ini wajib memiliki kesadaran tatkala ia melakukan perilaku tertentu yang menjadi objek norma. Faktor kesadaran ini penting ditekankan, khususnya dalam hukum pidana, karena hanya subjek yang memiliki kesadaranlah yang dapat dituntut pertanggungjawabannya. Tentu saja derajat kesadaran ini menjadi isu lain yang penting diperhatikan, sehingga misalnya dikenal ada konsep kesengajaan dan kelalaian. Hubungan antara pelaku perbuatan dan akibat perbuatannya mensyaratkan adanya kemampuan bertanggung jawab (teori imputasi), sehingga kaitan anteseden dan konsekuennya senantiasa berupa hubungan kausalitas non-deterministis. Jika A membunuh B, maka seyogianya A dipidana. Kata ”seyogianya” ini menekankan aspek non-deterministis itu karena mengandung arti terbukanya kemungkinan A ternyata tidak dipidana.
Lalu bagaimana dengan korban sebagai pihak yang terkena perbuatan subjek norma? Apakah ia merupakan subjek hukum atau bukan? Pertanyaan ini menarik karena pihak yang terkena (korban) ini sangat luas cakupannya. Korban ini bisa berupa orang alamiah (manusia), orang buatan hukum (korporasi), atau bukan orang; misalnya hewan, tumbuhan, lingkungan, bahkan sampai pada mayat. Sebagai contoh, di Tokyo Jepang terdapat sebuah restoran (Tavern) yang mempekerjakan monyet sebagai pelayan (untuk melihat video tentang kasus ini, silakan klik di sini!). Hukum perlindungan hewan di sana mengatur jam kerja untuk monyet tersebut tidak boleh lebih dari dua jam per hari. Di Indonesia, Pasal 302 KUHP juga memuat sanksi pidana bagi orang yang menganiaya hewan. Contoh lain, di banyak kota di seluruh dunia, tindakan menebang pohon di pinggir jalan raya tanpa izin dari pemerintah kota setempat adalah tindak pidana. Membongkar kuburan dan merusak mayat di dalamnya, kendati itu kuburan tak dikenal sekalipun, adalah suatu tindak pidana (vide Pasal 179 dan 180 KUHP). Demikianlah, ada begitu banyak entitas hukum yang bisa diposisikan sebagai pihak yang terkena perbuatan pelaku (subjek norma). Lalu, apakah hewan, tumbuhan, dan mayat ini merupakan subjek hukum?
Dalam teori hukum pidana, sebenarnya pihak korban di sini selalu didenotasikan secara luas, yaitu masyarakat pada umumnya. Jadi pihak korban langsung dari suatu tindakan pelaku tindak pidana, hanyalah bagian dari masyarakat yang harus dilindungi. Setiap pelaku tindak pidana berhadapan dengan negara. Dalam persidangan, penuntut umum tidak bertindak untuk dan atas nama korban, melainkan untuk dan atas nama negara. Dalam hal ini negara berkepentingan pertama-tama untuk melindungi masyarakat luas dari akibat perbuatan tindak pidana tersebut. Dalam rangka itu tentu korban tercakup sekaligus di dalamnya.
Dengan kaca mata ini maka subjek hukum dalam arti luas mencakup semua penyandang hak dan/atau kewajiban, sementara subjek hukum dalam arti sempit adalah subjek norma. Hal yang terakhir ini terutama tampak dalam ranah hukum pidana. Penyempitan ini diperlukan untuk memastikan bahwa subjek norma adalah subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum.
Menurut teori organ, di luar manusia ada korporasi yang dapat diminta pertanggungjawaban. Kedudukan korporasi sebagai subjek hukum sudah tidak lagi menjadi polemik dalam hukum perdata, tetapi tampaknya masih menyisakan masalah dalam hukum pidana. Kejahatan korporasi (corporate crime) sudah cukup dikenal, tetapi tatkala korporasi dituntut melakukan tindak pidana, lalu siapa yang harus diajukan sebagai terdakwa? Tetap saja di sini diperlukan orang alamiah untuk maju bertindak mewakili korporasi. Jadi, korporasi sebagai entitas hukum di sini tidak mungkin memiliki kesadaran yang otonom untuk bertindak sendiri. Demikian juga halnya dengan negara. Negara dalam perspektif tertentu dapat dipandang sebagai korporasi juga. Negara bahkan menjadi subjek hukum yang paling diandalkan untuk bertanggung jawab ketika tidak ada lagi entitas hukum lain yang dapat diajukan. Apabila terjadi bencana alam, seperti tsunami yang menewaskan ratusan nyawa manusia, negaralah yang dituntut untuk bertanggung jawab mengembalikan suasana ke keadaan normal (restitutio in integrum).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan konseptual antara subjek hukum dan subjek norma. Subjek hukum adalah orang (baik orang alamiah maupun bukan) yang mampu menjadi penyandang hak dan/atau kewajiban. Dalam konteks melaksanakan hak dan/kewajiban itu, subjek hukum dapat dilekatkan kewajiban, larangan, atau kebolehan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. Subjek hukum seperti ini adalah subjek norma. Dalam ranah hukum pidana, selalu ada pihak-pihak yang bukan orang (hewan, tumbuhan, dan benda mati) juga dijadikan sebagai sasaran perlindungan. Secara filosofis sebenarnya hakikat perlindungannya tidaklah ditujukan pada hewan, tumbuhan, atau benda-benda itu, melainkan pada masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, terhadap subjek norma yang menganiaya atau merusak hewan, tumbuhan, dan benda-benda itu dituntut pertanggungjawabannya oleh negara. Dalam hal ini negara menganggap ada kepentingan umum yang dilanggar oleh si pelaku. Perbuatan si pelaku adalah tindakan anti-sosial yang merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan umum. Dengan demikian subjek hukum dalam ranah hukum pidana tetap saja adalah orang. (***)
Published at :