People Innovation Excellence

FENOMENA GAME POKEMON DAN TANTANGAN HUKUM SIBER

Oleh BAMBANG PRATAMA (Juli 2016)

Melihat booming-nya game Pocket Monster (Pokemon) di masyarakat menuai berbagai respon di berbagai kalangan. Dibalik respon masyarakat ini, ada reaksi yang paling menarik untuk dicermati lebih jauh, yaitu respon reaktif dari kalangan eksekutif pemerintahan. Pihak pemerintah menganggap bahwa game Pokemon adalah salah satu cara memata-matai fasilitas keamanan. Akibatnya, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada tanggal 20 Juli 2016 mengeluarkan Surat Edaran No.B/2555/M.PANRB/07/2016 yang berisi larangan kepada seluruh Aparatur Sipil Negara dari tingkat Menteri ke bawah untuk tidak bermain game Pokemon di lingkungan kantor pemerintahan. Sejalan dengan itu, untuk benar-benar memastikan apakah game Pokemon berbahaya bagi keamanan nasional maka kepala BIN, Sutiyoso dan timnya sedang melakukan kajian mendalam.

Respon pemerintah yang reaktif tentang larangan bermain game Pokomen rasanya sangat berlebihan, karena ancaman keamanan nasional tidak hanya datang dari game Pokemon tentunya. Jika game Pokemon dilarang dengan alasan keamanan nasional, maka muncul pertanyaan: apakah pencitraan geo-spasial melalui Google Earth bukan ancaman nasional?, atau media sosial seperti Facebook dan lainnya yang mengambil data sebanyak-banyaknya bukan ancaman kemanan nasional?.

Dalam kaitannya teknologi game Pokemon, Fatimah Kartini Bohang, mengatakan bahwa teknologi yang digunakan pada game Pokemon adalah augmented-reality dan global positioning system (GPS) yang pertama-tama dikembangkan John Hanke untuk membuat program Google Earth. John Hanke adalah pencipta game Pokemon yang saat ini beredar dengan modal bersama antara Google, Nintendo, Pokemon Company dan beberapa investor lainnya. Kemudian, untuk menjawab hal ini secara teknis, Widyaman (dosen TI UGM) mengatakan bahwa teknologi yang digunakan dalam game Pokemon sama dengan teknologi pemetaan yang ada pada Google, Go-Jek, Path, Facebook. Jadi, seharusnya tidak ada alasan untuk takut memainkan game Pokemon dengan alasan keamanan nasional.

Jika permasalahan Pokemon di pandang dari sisi aturan hukum, masalah utamanya adalah kesiapan regulasi hukum siber yang ada saat ini dalam merespon fenomena siber. Game Pokemon dikatakan sebagai salah satu fenomena siber karena dalam penggunaannya menggunakan sarana TIK sebagai salah satu syaratnya. Atas alasan tersebut, maka fenomena game Pokemon bisa dikatakan sebagai fenonema siber.

Ketidakcermatan pemerintah dalam mengatur fenomena siber kembali terlihat, setelah belum lama ini dibingungkan oleh kasus penyedia jasa booking transportasi online sejenis Go-Jek. Isu siber pada game Pokemon menjadi semakin kompleks ketika bercampur dengan ancaman keamanan nasional. Perlu disampaikan bahwa secara konseptual pemahaman pembuat undang-undang sangat lemah. Oleh sebab itu, tidak heran jika sikap pemerintah berlebihan dalam merespon fenomena siber. Celakanya, kelemahan konseptual dari pembuat undang-undang ini terlihat sangat jelas dari produk hukum yang dihasilkannya. Ada tiga produk undang-undang yang secara jelas menunjukkan kelamanan konseptual.

Pertama; pada penjelasan Undang-undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, dimana penggunaan terminologi siber ditempatkan dengan keliru dengan menyamakan perang siber dengan siber saja. Seharusnya terminologi perang siber dipersamakan dengan istilah cyber war.

“Ancaman terhadap keamanan dalam negeri meliputi separatisme, terorisme, spionase, sabotase, kekerasan politik, konflik horizontal, perang informasi, perang siber (cyber), dan ekonomi nasional.”

Kedua; pada penjelasan pasal 15 ayat (3) Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Kutipan penjelasan pasal yang dimaksud menunjukkan kekeliruan penggunaan kata siber kembali dilakukan oleh pembuat undang-undang, yaitu: mensertifikasi transaksi elektronik dst. disamakan dengan cyber notary. Seharusnya pejabat yang dapat melakukan sertifikasi elektronik dst. adalah cyber notary.

“Yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.”

Ketiga; kutipan penjelasan pada Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kekeliruan pembuat undang-undang di sini adalah menyamakan hukum siber dengan hukum telematika. Seharusnya hukum siber adalah cyber law, bukan hukum telematika.

“Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika.”

Ketiga undang-undang tersebut di atas adalah salah satu bukti kelemahan konseptual pembuat undang-undang khususnya dalam memahami konsep ‘siber’. Fenomena Go-Jek, fenomena game Pokemon adalah tantangan hukum siber yang boleh jadi merupakan permulaan. Masih banyak isu-isu hukum siber lainnya yang akan bermunculan di kemudian hari, misalnya tentang: data pribadi, kekayaan intelektual di dunia siber, ­good governance, smart city, dan sebagainya. Oleh sebab itu, tuntutan akan yuris yang memahami hukum siber menjadi keniscayaan untuk menjawab tantangan di masa yang akan datang. (***)


Screen.Shot.2016.04.30.at.23.15.33


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close