TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
Oleh : AHMAD SOFIAN (Juli 2016)
Praktik eksploitasi seksual anak terus menerus berlangsung seolah tidak ada hentinya, seolah-olah anak-anak “dihalalkan” untuk disantap oleh para penikmat seks anak. Seks anak adalah industri yang luar biasa besar dengan keuntungan milyaran dollar, sehingga para pengambil keuntungan ini tidak mau begitu saja menghentikan ‘bisnis” seks anak. Dalam salah satu buku best seller karya David Brazil (2005) dikatakan: salah satu pusat pelacuran anak di Indonesia yang terkenal sampai ke manca negara adalah Batam dan Bintan. Dua wilayah tersebut adalah wilayah yang sering dikunjungi oleh laki-laki Singapura, sehingga wilayah itu dikenal dengan istilah “kampung cinta” dan “peternakan ayam”.
Konsepsi Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Anak
Secara internasional pengertian tindak pidana eksploitasi seksual adalah pelanggaran terhadap hak anak yang mendasar dengan menjadikan anak sebagai objek seksual dan objek komersial. Menurut ECPAT international ada 5 bentuk tindak pidana eksploitasi seksual anak, yaitu: pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, pariwisata seks anak dan pernikahan anak (lihat: www.ecpat.net). Namun, ada pendapat lain yang membagi eksploitasi seksual menjadi tiga bentuk, yaitu: pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Sementara itu, pernikahan dan pariwisata seks anak hanya merupakan cara untuk dapat mengekploitasi anak-anak tersebut (Antarini Arna dan Mattias Bryneson, 2004).
Definisi eksploitasi seksual anak berdasarkan konsensus internasional yang dirumuskan dalam deklarasi Stokholm (1996) adalah sebagai berikut:
“Eksploitasi seksual anak adalah sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak yang terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan uang atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.”
Rumusan definisi di atas terlihat jelas bahwa eksploitasi seksual anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komoditas. Adanya unsur ‘keuntungan’ dalam eksploitasi anak inilah yang membedakan antara eksploitasi seksual anak dengan kekerasan seksual anak, karena dalam kekerasan seksual anak tidak ada unsur keuntungan meskipun keduanya sama-sama menunjuk pada tindakan seksual anak.
Dalam kaitannya kekerasan seksual terhadap anak, definisi atas perbuatan ini adalah hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau dewasa seperti: orang asing, saudara kandung, atau orang tua, dimana anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan ini biasanya diikuti dengan perbuatan lain berupa: paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Perlu diketahui bahwa kekerasan seksual tidak mensyaratkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut, karena tindakan seperti ekshibisme atau voyeurism (seperti: orang dewasa menonton atau merekam seorang anak sedang telanjang atau menuyuruh atau memaksa anak-anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain) (ECPAT International, 2004). Celakanya, biasanya perbuatan ini dilakukan oleh pelaku yang dikenal atau dipercaya oleh si anak (korban).
Dalam kepustakaan hukum nasional, tindak pidana eksploitasi seksual anak merupakan konsep yang belum banyak dibahas khususnya dalam lingkup hukum pidana. Undang-undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002 yang direvisi melalui UU No. 35/2014) hanya menyebut dua pasal tentang larangan melakukan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi pada anak yaitu pasal 76 huruf I dan pasal pasal 88 dengan ancaman hukuman penjara maksimum 10 tahun dan atau denda paling banyak 200 juta rupiah. Namun sayangnya undang-undang ini tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang konseps tindak eksploitasi seksual.
Berbeda halnya dengan tindak pidana perdagangan orang, dimana terminologi ini telah lebih dikenal dalam KUHP maupun di luar KUHP. Pasal 297 KUHP menyebutkan : “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa,diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya UU Perdagangan Orang) telah mendefinisikan jenis tindak pidana ini. Meski, para ahli telah sepakat bahwa seharusnya UU Perdagangan Orang juga mendefinisikan secara khusus tindak pidana perdagangan anak, karena konsepsi antar keduanya berbeda, khususnya terkait dengan elemen atau unsur-unsur deliknya.
Di Amerika Serikat tindak pidana eksploitasi seksual sudah menjadi satu konsep dalam tindak pidana yang diatur dalam The Protect Act, 2003 (Tracy Agyemang, 2004). Menariknya, undang-undang perlindungan anak tersebut memiliki jangkauan perlindungan anak di dalam dan di luar negeri. Bentuk eksploitasi seksual yang dimaksudkan dalam The Protect Act, 2003 meliputi: prostitusi anak, pornografi anak dan pariwisata seks anak.
Selain Amerika Serikat, beberapa negara di Asia yang sudah memiliki undang-undang perlindungan seksual anak yang lebih baik dari Indonesia adalah Philipina yang sejak tahun 1991 telah telah memiliki undang-undang eksploitasi seksual anak. Meski, eksploitasi seksual anak masih dibatasi pada bentuk prostitusi anak (lihat: Republic of Philipines, Congres of Phiipines, Metro Manila, Republic Act 7610, 21 Juli 1991). Sementara itu, negara lain di Asia yang sudah memiliki undang-undang perlindungan seksual anak adalah Thailand sejak tahun 1996 telah memiliki “the Prevention and Suppresion for Prostitution Act 1996” (the “Act 1996”). Adapun undang-undang perlindungan anak di Thailand memberikan sanksi pidana (kurungan dan denda) kepada siapa pun mengambil manfaat dari prostitusi anak atau membeli seks pada anak-anak yang belum berusia 18 tahun.
Berdasarkan pengaturan perlindungan eksploitasi anak di beberapa negara sebagaimana dijelaskan di atas, dalam hal klasifikasi tindak pidana dikatakan bahwa eksploitasi seksual anak adalah tindak pidana khusus, bukan pidana umum. Oleh sebab itu, maka rumusan pengaturannya menjadi lex specialis. Saat ini di Indonesia tidak ada le specialis tentang eksploitasi seksual anak, tetapi dalam hal perlindungan anak diintegrasikan ke dalam undang-undang perlindungan anak. Namun, sayang undang-undang perlindungan anak tidak menempatkan tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam bab khusus, bahkan yang lebih tragis, masalah pelacuran anak tidak didefinisikan sehingga sulit memidanakan pelaku tindak pidana ini. Masalah lainnya adalah meskipun sudah ada upaya melakukan unifikasi tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam undang-undang perlindungan anak, namun kenyataannya, beberapa undang-undang lain mengatur persoalan ini, sebut saja Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang juga mengatur tentang tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam konteks pornografi anak yaitu sebagaimana diatur pada pasal 4 sampai pasal 12.
Pengaturan Eksploitasi Anak dalam R-KUHP
Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP), tindak pidana eksploitasi seksual anak tidak didefinisikan secara khusus sehingga secara konseptual tidak ada pemaknaan atas tindak pidana ini. Oleh sebab itu, pemaknaan tindak pidana eksoloitasi seksual anak akan dikembalikan kepada doktrin. Selain merujuk pada doktrin, maka penting juga merujuk pada instrumen-instrumen hukum internasional yang lebih dahulu mendefinisikannya seperti Deklarasi Stockholm, atau Protocol Optional tentang Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2012. Selain itu, lembaga internasional yang khusus memberikan perhatian pada masalah eksploitasi juga sering kali dijadikan rujukan sebagai alternatif, seperti: ECPAT Internasional. Lembaga seperti ECPAT biasanya secara konsisten melakukan penelitian dan menerbitkan sejumlah literatur yang membahas secara khusus tindak pidana eksploitasi anak.
Dalam mengatur jenis-jenis tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam rumusan R-KUHP tidak hanya menempatkannya dalam satu bab khusus, tetapi tersebar dalam beberapa bab. Bahkan R-KUHP juga menempatkanya dalam bab tentang kesusilaan. Misalnya tindak pidana pornografi anak sebagaimana diatur dalam pasal 384 R-KUHP. Pasal ini berada di dalam Bab VIII dengan judul Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang, Kesehatan, Barang dan Lingkungan Hidup. Sedangkan rumusan Pasal 384 sendiri mengatur tentang pornografi anak melalui internet. Tindak pidana pornografi yang tidak melalui Internet diatur dalam pasal 478 dan 479 yang berada dalam Bab XVI yang berjudul Tindak Pidana Kesusilaan. Dengan adanya perbedaan penempatan Bab dalam mengatur eksploitasi anak, maka terlihat bahwa pembuat undang-undang kesulitan dalam menyusun aturan tindak pidana pornografi anak. Hal ini mengindikasikan bahwa penyusun undang-undang kesulitan dalam menempatkan jenis tindak pidana ini dalam satu bab khusus sehingga terjadilah jumping ini atau kemungkinan penyusun undang-undang tidak menemukan landasan teori yang tepat dalam menempatkan tindak pidana ini, sehingga akhirnya terjadi suatu aturan pornografi anak pada dua bab yang berbeda. Secara akademik bab ini juga bermasalah, karena dapat ditafsirkan penyusun undang-undang tidak memahami secara teoritis delik ini.
Tindak pidana pelacuran anak, secara spesifik juga tidak disebutkan dalam R-KUHP. Delik ini digolongkan sebagai tindak pidana persetubuhan atau pencabulan pada anak sebagaimana diatur dalam Pasal 486, 487, 493, 495-500 R-KUHP. Kesuluruhan pasal-pasal tersebut berada di dalam Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan. Penempatan tindak pidana pelacuran anak dalam Bab Tindak Pidana Kesulilaan tidaklah tepat karena pada prinsipnya tindak pidana kesusilaan (ontruchte handelingen) merupakan tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran susila, yaitu tentang perilaku-perilaku yang menampilkan perilaku seksual yang dinilai bertentangan dengan moral dan norma yang hidup di dalam masyarakat (Simons, Barda Nawawi Arief, 2003). Sedangkan tindak pidana pelacuran anak lebih luas dari sekedar pelanggaran seksual tetapi sudah melingkupi serangan seksual secara sistematis kepada anak yang memiliki dampak jangka panjang. Oleh sebab itu, tindak pidana pelacuran anak bukan sekedar tindak pidana persetubuhan dan perbuatan cabul, namun di dalamnya ada unsur ekonomi dan “transaksional” yang diperoleh dari tindak pidana tersebut, dengan demikian maka harus masuk dalam kategori delik sendiri.
Sebagai komparasi, maka penting juga untuk menyimak KUHP Norwegia yang mengatur tentang tindak pidana pelacuran anak. Dalam KUHP Norwegia, tindak pidana pelacuran anak adalah: setiap orang yang demi mendapatkan bayaran, terlibat dalam aktivitas seksual atau melakukan sebuah aktivitas seksual dengan seseorang yang berusia di bawah 18 tahun dapat dikenai denda atau kurangan selama 2 tahun (Penal Code Norway Section 19). Undang-undang Norwegia mengatur bahwa seorang yang mendapatkan layanan seksual anak dengan bayaran kepada anak berimplikasi anggung jawab pidana. Ini artinya bahwa penawaran uang dengan maksud untuk melibatkan seorang anak dalam aktivitas-aktivitas seksual secara luas dapat dikenakan pidana.
Demikian juga dengan KUHP Afrika Selatan hasil amandemen tahun 2007 menyatakan bahwa seseorang yang secara tidak sah dan dengan sengaja mendapatkan layanan dari seorang anak dengan izin atau tanpa izin anak tersebut, untuk imbalan uang atau imbalan lain, kebaikan atau kompensasi dengan tujuan untuk terlibat dalam sebuah perbuatan seks dengan anak, tanpa memandang apakah perbuatan seks tersebut dilakukan atau tidak adalah tindak pidana yang dapat dihukum. Dalam KUHP Afrika Selatan ini pelaku tindak pidana pelacuran anak sudah dapat dipidana, meskipun baru sebatas menerima tawaran seks dari anak (Catherine Beaulieu, 2008).
Penutup
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan pentingnya pengaturan tentang eksploitasi seksual anak disusun secara sistematis khususnya dalam KUH Pidana. Hal ini menjadi salah satu pilihan karena momentum penyusunan KUH Pidana merupakan kesempatan untuk dapat memasukkan pengaturan tentang eskploitasi seksual anak secara lebih lengkap, dimana pengaturan secara lex specialis masih kurang memadai. Di samping itu, khusus tindak pidana pelacuran anak, perlu mendapatkan perhatian. Rumusan tindak pidana ini belum ditemukan dalam R-KUHP. Penyusun R-KUHP masih belum mengikuti perkembangan terbaru delik ini, khususnya konvensi internasional. Dengan memklasifikasikan tindak pidana terhadap anak secara lengkap, maka diharapkan instrumen hukum dapat melindungi anak Indonesia untuk masa yang akan datang. (***)