SERIBU START-UP PERLU DIKAWAL HUKUM MENUJU INDONESIA 2020!
Oleh BAMBANG PRATAMA (Juli 2016)
Gerakan Nasional seribu start-up yang digagas pemerintah dimulai sejak Presiden Jokowi pulang dari lawatannya ke Silicon Valley, California Amerika Serikat awal tahun ini. Istilah start-up di kalangan para yuris mungkin terdengar asing karena terminologi ini adalah salah satu terminologi yang bertempat di fakultas ekonomi. Start-up jika diartikan secara bebas adalah usaha baru yang didirikan oleh seorang wirausaha (entrepreneur) yang biasanya dibuat atas dasar kreativitas dan inovasi. Mengapa entrepreneurship (kewirausahaan) menjadi penting?, karena sosiolog David McClelland & Winnter (1969) berpendapat bahwa jumlah pengusaha (entrepreneurs) di suatu negara yang ideal adalah 2% dari jumlah penduduknya.
Berdasarkan penelitian Global Entrepreneurship Monitor (GEM) tahun 2016, jumlah entrepreneur di Indonesia adalah 1.65%. Jumlah tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan Thailand (3%), Malaysia (5%) dan Singapura (7%), atau Amerika Serikat (12%). Jika kenaikan jumlah pengusaha dikaitkan dengan bidang hukum, maka secara common sense dapat dikatakan bahwa peluang pengguna jasa di bidang hukum bisnis tentunya juga akan meningkat. Oleh sebab itu, pengamatan di bidang entrepreneurship bagi yuris yang berminat di bidang hukum bisnis menjadi penting.
Terkait program seribu start-up yang digagas Presiden Jokowi, pemerintah kemudian menggodok roadmap e-commerce yang dipimpin oleh Menteri Kominfo, Rudiantara. Peta jalan yang dibuat ini dibuat untuk dapat menjadi sarana penunjang start-up di bidang TIK. Artinya, fokus start-up yang dipilih pemerintah adalah ekonomi digital dengan alasan cepat, mudah, dan lebih murah dibandingkan dengan bidang usaha lain. Program pemerintah di bidang ekonomi ini sebenarnya bukanlah barang baru. Pada masa pemerintahan SBY, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Ekonomi Kreatif dan pembuatan badan ekonomi kreatif (Bekraf). Saat ini, pemerintahan Jokowi fokusnya dipertajam dengan output yang terukur, yaitu 1000 start-up.
Ada tujuh fokus utama dari roadmap e-commerce yang buat oleh pemerintah, yaitu: logistik, pembiayaan, perlindungan konsumen, infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK), pajak, pendidikan dan SDM, dan keamanan siber (cyber security). Untuk merealisasikan roadmap yang dibuat pemerintah tentunya tidak mudah, dan memerlukan kerangka hukum sebagai tulang punggung (backbone) sebagai pendukungnya. Jika melihat fokus roadmap, maka lingkup bidang hukum yang perlu mendukung e-commerce adalah hukum pengangkutan, hukum pembiayaan, hukum persaingan usaha, hukum perlindungan konsumen, hukum pajak, hukum kekayaan intelektual, dan hukum siber. Tetapi jika melihat pembaruan hukum hanya hukum kekayaan intelektual yang sudah menunjukkan perubahan dengan adanya undang-undang hak cipta dan undang-undang paten yang baru. Bidang hukum lainnya belum menunjukkan tanda-tanda perubahan yang signifikan.
Perancangan hukum yang mendukung roadmap e-commerce sifatnya urgent, karena program seribu start-up dipersiapkan untuk tahun 2020. Ini artinya, sisa waktu yang dimiliki menuju tahun 2020 adalah 4 tahun. Jika melihat hukum sebagai suatu sistem ekonomi, maka komponen-komponen di dalam hukum berupa bidang-bidang hukumnya harus bergerak mengikuti laju ekonomi. Apabila komponen hukum ini tidak bergerak mengikuti laju ekonomi, maka tujuan seribu start-up di tahun 2020 niscaya tidak akan bisa tercapai. Hukum sebagai bagian dari sistem ekonomi perlu bergerak dan menyesuaikan diri dengan sistem ekonomi. Ini merupakan tantangan yang perlu dijawab bersama oleh para yuris dan para ekonom. Hal ini tentunya menuntut para ekonom untuk memahami cara hukum beroperasi dan para yuris dituntut memahami cara ekonomi beroperasi.
Dalam perspektif hukum ekonomi, saat ini adalah saat yang tepat untuk melakukan pembaruan hukum. Pasalnya, perubahan hukum yang mendukung start-up akan dapat meningkatkan daya saing bangsa di era pasar bebas ASEAN atau MEA. Oleh sebab itu, kini saatnya para yuris melakukan penemuan hukum dan terobosan hukum khususnya di bidang hukum ekonomi menuju 2020. Jika terobosan hukum tidak dilakukan dengan segera, maka di era pasar bebas ASEAN, Indonesia akan kembali tertinggal dibandingkan dengan Thailand, Malaysia dan Singapura. (***)