‘DELAY’ DAN HAK KONSUMEN ANGKUTAN UDARA
Oleh SITI YUNIARTI (Juli 2016)
Efisiensi waktu mungkin merupakan pertimbangan utama yang mendasari pilihan masyarakat untuk menggunakan angkutan udara sebagai moda transportasi, baik untuk bisnis maupun leisure. Air Asia, maskapai penerbangan yang dibeli oleh Tonny Fernandes dengan harga 1 ringgit pada 2 Desember 2001 dianggap sebagai tonggak perubahan paradigma angkutan udara di Asia. Pada era sebelum Air Asia, penggunaan angkutan udara dianggap sebagai hal ekslusif mengingat harga tiket yang tidak murah. Kemudian, dengan tagline “Now Everyone Can Fly”, Air Asia seolah menjadi pembuka akses masyarakat untuk angkutan udara dengan harga terjangkau. Tak butuh waktu lama, kemunculan Air Asia sebagai low cost carrier diikuti oleh beberapa angkutan udara pada kelas yang sama. Dukungan perkembangan teknologi informatika, melalui fasilitas search engine, memudahkan calon penumpang untuk membandingkan harga tiket dari berbagai maskapai penerbangan.
Semakin tinggi minat dan daya masyarakat untuk menggunakan angkutan udara, menuntut peningkatan mutu pelayanan oleh badan usaha angkutan udara, selain peningkatan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagai items yang tidak dapat ditawar lagi. Peningkatan pelayanan tidak lagi dimulai sejak calon penumpang memasuki pesawat, namun sudah dimulai sejak calon penumpang melakukan pencarian tiket penerbangan. Berbagai diskon, kemudahan pembayaran dengan fasilitas cicilan sampai dengan fasilitas web check-in siap memberikan kemudahan bagi calon penumpang. Maskapai penerbangan Indonesia plat merah merupakan salah satu bentuk nyata keberhasilan transformasi sebuah badan usaha angkatan udara. Merangkum kisah yang dituturkan Rhenald Kasali dan Emirsyah Satar melalui buku “From One Dollar to Billion Dollars Company”, maskapai yang pada masa lalu identik dengan keterlambatan jadwal penerbangan ini mampu berevolusi menjadi maskapai penerbangan yang diakui kualitasnya dimana dibuktikan dengan berbagai pencapaian penghargaan dalam dan luar negeri, termasuk menjadi anggota SkyTeam bersama dengan maskapai penerbangan internasional bergensi lainnya.
Ketepatan jadwal penerbangan bukan sekedar menepati janji. Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, menempatkan pemenuhan ketepatan jadwal penerbangan sebagai kewajiban pengangkut. Keterlambatan didefinisikan sebagai terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan. Secara lebih spesifik, Peraturan Menteri Perhubungan No. PM89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia, menyatakan bahwa keterlambatan diperhitungkan pada saat pesawat block off meninggalkan tempat parkir pesawat (apron) atau pada saat pesawat block on dan parkir di apron bandara tujuan.
Secara tegas, melalui Pasal 146 Undang-Undang Penerbangan, dinyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami penumpang akibat keterlambatan jadwal penerbangan, kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Lebih lanjut, dikategorikan sebagai faktor cuaca adalah hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampau standar maksimal yang menganggu keselamatan penerbangan.
Adapun yang termasuk dalam faktor teknis adalah:
- Bandar udara untuk keperluan keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan untuk operasional pesawat udara;
- Lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir atau kebakaran;
- Terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara; atau
- Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuiling).
Sementara itu, yang tidak termasuk teknis operasional adalah:
- Keterlambatan pilot, co-pilot dan awak kabin;
- Keterlambatan jasa boga (catering);
- Keterlambatan penanganan di darat;
- Menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check-in), pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight); dan
- Ketidaksiapan pesawat.
Lebih lanjut, Pemerintah, melalui Permen PM89, memberikan serangkaian kompensasi yang wajib diberikan kepada penumpang yang mengalami keterlambatan jadwal, mulai dari pemberian minuman ringan untuk keterlambatan sampai dengan 60 (enam puluh) menit sampai dengan kewajiban untuk mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket, termasuk apabila keterlambatan di atas 6 jam dan penumpang membutuhkan tempat penginapan maka hal tersebut menjadi kewajiban pengangkut.
Kemudian, guna memastikan pelaksanaan manajemen keterlambatan sebagaimana ditetapkan Permen PM89, Pemerintah melakukan penilaian terhadap penanganan manajemen keterlambatan dengan sejumlah sanksi yang diberikan mulai dari peringatan tertulis, pembekuan rute, pengurangan rute sampai dengan pencabutan izin usaha. Walaupun demikian, tanpa bermaksud mengurangi manfaat dari pemberian kompensasi maupun pengawasan terhadap pelaksanaan manajemen keterlambatan sebagaimana dipersyaratkan dalam Permen PM89, seyogianya Pemerintah melakukan pemeriksaan dan evaluasi atas pelaksanaan ketepatan jadwal penerbangan, tanpa mengurangi faktor keselamatan dan keamanan penerbangan, terhadap badan usaha angkutan udara yang memiliki frekuensi kegagalan yang cukup tinggi dalam pemenuhan jadwal penerbangan guna melindungi masyarakat selaku konsumen. (***)