MENGINTIP RUANG DISKRESI PADA PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (Bagian 2 dari 2 Tulisan)
Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (Juli 2016)
Pada bagian tulisan yang pertama, telah disinggung tentang penggunaan diskresi sesuai dengan tujuannya merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. Juga telah dikemukakan setidaknya lima hal penting menyangkut adanya ruang diskresi yang diatur dalam UU 30/2014 (Lihat kembali Bagian 1 tulisan tersebut dengan klik di sini!)
Kian meluasnya wilayah administrasi di ranah kebijakan pemerintah daerah tersebut, meskipun sering dianggap bertentangan dengan semangat anti korupsi, sejatinya secara normatif telah cukup memproteksi pelaksanaan program dan kegiatan di daerah dari potensi kriminalisasi. Dengan demikian, tak ada alasan bagi ketakutan dikriminalisasi bagi aparatur sipil negara dalam pencarian anggaran daerah yang kini menjadi keprihatinan bagi pemerintah. Coba kita lihat selengkapnya terkait beberapa pasal dalam UU Pemda tentang legalisasai inovasi yang membentengi upaya pemerintah daerah guna penyerapan anggran terkait pengadaan barang dan jasa.
Pasal 386 UU Pemda, dengan tegas menyatakan, dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan inovasi. Inovasi merupakan semua bentuk pembaruan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang harus berpedoman pada sejumlah prinsip penting, seperti peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas, perbaikan kualitas pelayanan, dan sejenisnya.
Bahkan, Pasal 389 UU Pemda menegaskan, dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan pemda dan inovasi tersebut tak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur sipil negara tak dapat dipidana. Namun, pelaksanaan inovasi itu mengharuskan dipenuhinya persyaratan prosedur dan substansi yang cukup ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan inovasi daerah.
UU AP juga mengatur bahwa pejabat pemerintah diberi kewenangan menggunakan diskresi dalam pelaksanaan kebijakan. Namun, penggunaan wewenang diskresi tersebut harus didasarkan atas tujuan yang bersifat limitatif, sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (2) UU AP, antara lain, melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan.
Kalau kita melihat ketentuan-ketentuan di atas jelaslah sudah bahwa ruang diskresi itu ada dan seharusnya ada area yang cukup bagi pemerintah untuk melakukan innovasi demi terserapnya anggaran terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah tanpa was-was terkena pidana jika itikad baik yang menjadi landasannya. (***)