KATABELECE
Oleh AGUS RIYANTO (Juli 2016)
Tahun berubah, tetapi perilaku katabelece tidak. Katabelece itu lagu lama yang kembali hadir di tahun berbeda. Sejarahnya, istilah katabelece digunakan pertama kali dalam kasus Golden Key, Eddy Tanzil pada tahun 90-an dengan melibatkan Laksamana Sudomo yang diduga sebagai perilis katabelece, yang berhasil menjebol negara lebih dari 1 trilyun dan Eddy Tanzil hingga tak jelaslah kemana.
Katabelece kembali hadir dua tahun terakhir semenjak dugaan seorang Ketua MK melalui memo meminta perlakuan khusus untuk kerabatnya yang menjadi Jaksa di Jawa Timur kepada mantan petinggi di Kejaksaan Agung RI. Katabelece juga menimpa seorang Menteri yang di duga meminta disediakan fasilitas akomodasi dan transportasi kepada Konsulat Jenderal RI di Sydney kepada koleganya yang akan berlibur bersama keluarganya di Sydney, Australia. Terakhir, katabelece melalui perantaraan surat menimpa dua wakil rakyat kita di DPR. Pertama, salah seorang anggota DPR yang terhormat diduga meminta KBRI Perancis untuk memfasilitasi transportasi dari bandara dan stasiun kereta selama di Paris, untuk liburan bersama keluarganya dari tanggal 20-24 Maret 2016. Kedua, Wakil Ketua DPR di duga meminta fasilitas pendampingan untuk “putrinya” selama bertandang ke “Negeri Paman Sam” dari tanggal 12 Juni-12 Juli 2016 kepada pihak Konsulat Jenderal RI di New York, Amerika Serikat.
Rangkaian realitas kejadian tersebut di atas mengindikasikan bahwa katabelece itu tidak pernah habis. Eksistensinya tidak akan lekang dimakan zaman dan waktu, meski rezim boleh berganti, tetapi perilaku tak terpuji ini tidak berubah. Hal ini karena sumber katabelce itu tetap sama yaitu adanya kekuasaan. Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau sekelompok untuk dapat menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya, namun demikian kewenangannya itu tidak dapat dijalankan dengan melebihi kewenangannya untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain berpikiran dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhinya. Dari arti itu sendiri kekuasaan memang rentan dan terbuka kemungkinan penyalahgunaan yaitu karena kewenangan yang dijalankan tidak untuk kemaslahatan publik, tetapi lebih mendekatkannya kepada kepentingan personal yang membuat katabelece dengan dibalut kekuasaan. Dalam bentuk verbal memo pembuat katabelece tidak menyadari bahwa kedudukannya yang lebih tinggi itu dapat mempengaruhi pada yang menerima yang lebih rendah jabatannya. Dapat juga karena kedekatan hubungan personal, sehingga yang menerima katabelece tersebut menjadi ewuh pakewuh (sungkan) menolaknya, meskipun bertentangan dengan akal sehat dan juga nurani, namun tidak kuasa untuk menampiknya.
Katabelece yang dikarenakan kondisi di dalam hubungan atas bawah dan adanya kedekatan personal itu sama saja dengan sebangun konstruksinya dengan perilaku pejabat publik yang melakukan nepotisme. Nepotisme itu adalah pemanfaatan kesempatan, karena jabatannya untuk dapat memberikan pekerjaan, kesempatan, maupun penghasilan, bagi keluarga atau kerabatnya dekat pejabat, sehingga menutup kesempatan bagi orang lain untuk mendapat kesempatan yang sama. Untuk itu, maka tradisi buruk ini telah dilarang Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Pasal 1 Angka 5 UU tersebut telah menentukan bahwa nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara. Tradisi buruk ini harus segera dihentikan, karena yang terjadi adalah ketimpangan dalam hal perlakuan yang seharusnya sama menjadi tidaklah sama atau berat sebelah. Hal tersebut, karena katabelece adalah merupakan surat sakti atau nota dari pejabat kepada bawahan yang meminta agar apa yang tercantum di dalam surat tersebut diperhatikan atau dilaksanakan, dengan ketentuan bahwa si pembuatnya dapat merubah, yang di dalam akal sehat dilarang, menjadi tidak dilarang dan begitu sebaliknya. Dari titik ini dapat diartikan bahwa katabelece dengan pemahaman sebagai perbuatan dari penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan dengan menginjak ketidakadilan publik.
Namun demikian publik tidak di dalam keadaan diam. Publik mempunyai cara tersendiri. Melalui media sosial katabelece dapat ditekan dan dipermasalahkan, serta kerjasamanya dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maka akan diperjuangkan untuk menegakkan ketimpangan katabelece itu. Hal ini sebagai upaya untuk menuntaskan dan menegakkan penyelesaian katabelece, meskipun menurut pasal 22 Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme terbuka untuk hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama dua belas tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), namun ternyata yang terjadi selama ini lebih berat kepada hukuman yang bersifat administratif dengan etika yang dikedepankannya, bahkan di dalam realitasnya lebih banyak berupa teguran saja. Keputusan teguran yang melukai publik dengan pertanyaan bagaimana masalah ini seharusnya dituntaskan. Publik menghadapi hal ini “hanya” dapat memberikan hukuman sosial dengan menandai para pembuat katabelece tersebut berupa tanda nada minor terhadapnya. (***)