SELAYANG PANDANG PERATURAN KETENAGAKERJAAN DAN KEPENTINGAN DI DALAMNYA
Oleh Iron Sarira (Juli 2016)
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU-TK) dikatakan sebagai produk undang-undang yang pro pengusaha. Hal ini didasarkan pada alasan utama bahwa kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan lebih banyak merugikan pekerja. Dari sisi buruh, berbagai gerakan demonstrasi dan upaya uji materi undang-undang ketenagakerjaan dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. Tetapi menariknya, dibalik silang pendapat tentang undang-undang ketenagakerjaan ada kekuatan lain yang bermain selain kekuatan yang bersifat nasional, yaitu kekuatan asing yang tercantum dalam paket kebijakan ekonomi IMF. Untuk dapat mengetahui paket kebijakan IMF dimulai sejak kapan? Kiranya perlu dijelaskan secara diakronik sejarah singkat peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 Tentang Kerja (disahkan 20 April 1948); Pengesahan UU ini diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 dari RI untuk seluruh Indonesia;
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (disahkan 25 Maret 1957, LN/TLN: 42/1227); UU ini kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1957 Tentang Pengubahan UU tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (disahkan 23 September 1964, LN/TLN: 93/2686); UU ini mencabut semua peraturan-peraturan terkait pemutusan hubungan kerja yang berlaku di Indonesia;
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan (belum disahkan, LN/TLN: 73/3702); UU ini diubah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dengan mencabut Pasal 199 UU No. 25/1997;
- Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/MEN/1996 Tentang Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Rugi. Permen ini disempurnakan dengan terbitnya Kepmen 150/2000;
- Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/MEN/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan;
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (disahkan 25 Maret 2003, LN/TLN: 39/4279);
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (disahkan 14 Januari 2004, LN/TLN: 6/4356).
UU-TK adalah penyempurnaan dari undang-undang ketenagakerjaan tahun 1997. Namun karena adanya perlawanan dari pihak pekerja yang menolak undang-undang tersebut maka undang-undang ketenagakerjaan tahun 1997 tidak diberlakukan. Alhasil, dibuatlah beberapa peraturan pelaksana tentang ketenagakerjaan. Menariknya, pada saat itu kondisi investasi asing pada saat itu sangat rendah, kerena salah satu keberatan perusahaan asing untuk masuk ke Indonesia adalah tingginya beban biaya yang perlu dikeluarkan untuk membiayai para pekerja. Artinya, ada efek buruk bagi pengusaha jika upah buruh dibayarkan secara tinggi. Tetapi di lain pihak, para pekerja memerlukan kesejahteraan melalui upah layak yang harus dijamin oleh pemerintah sebagai salah satu amanat dari Undang-Undang Dasar 1945.
Situasi ini pada akhirnya membawa Indonesia pada penandatanganan paket bantuan dana dengan IMF yang pada akhirnya diikuti dengan dilahirkannya UU-TK tahun 2003. Perlu disampaikan bahwa UU-TK tahun 2003 dibuat tanpa adanya naskah akademik dan dibuat karena adanya tekanan dari kepentingan pemodal asing dalam memenuhi kebutuhan pekerja/buruh di Indonesia. Artinya, karena adanya tekanan dan ikatan kesepakatan maka pemerintah perlu mengeluarkan undang-undang yang dapat mengakomodasikan kepentingan asing itu. Sebenarnya, hal ini telah diingatkan oleh Agusmidah (1976) sejak lama bahwa dalam UU-TK ada tekanan dari pihak pemodal. Tetapi yang menjadi masalah adalah kebutuhan Indonesia akan modal asing untuk memperkuat roda ekonomi nasional. Dua tegangan inilah yang perlu dipilih secara cermat oleh pemerintah. Salah satu aspek yang menjadi masalah dalam undang-undang ketenagakerjaan adalah tentang pekerja lepas, outsorcing, upah, dan sebagainya. Poin penting dari rangkaian sejarah perundang-undangan tentang ketenagakerjaan adalah tegangan antara kepentingan pekerja dengan kepentingan pemodal asing yang perlu diantisipasi oleh pemerintah.
Dengan diundangkannya UU-TK tahun 2003 sebagai produk undang-undang yang tidak berpihak kepada kepentingan buruh, tentunya menimbulkan reaksi dari kalangan para buruh sebagai salah satu bentuk penolakan. Selain penolakan dilakukan dalam bentuk demonstrasi, para buruh melalui organisasi buruh juga melakukan upaya hukum dengan melakukan uji materi ke MK sebagaimana yang telah dilakukan oleh 22 organisasi buruh (lihat: Perkara No. 012/PUU-I/2003). Ini menunjukkan bahwa upaya perlawanan buruh terus dilakukan secara gigih tanpa kenal lelah. Oleh sebab itu adalah suatu keniscayaan jika produk undang-undang ketenagakerjaan tidak berpihak kepada buruh, maka akan selalu ada perlawanan dari pihak buruh baik melalui upaya hukum ataupun melalui demonstrasi di jalanan.
Belajar dari pengalaman sejarah perundang-undangan ketenagakerjaan sejak tahun 1997 bahwa merumuskan peraturan ketenagakerjaan bukanlah perkara yang mudah dengan adanya benturan kepentingan di dalamnya. Untuk menjawab permasalahan kepentingan antara pemodal dengan buruh tentunya memerlukan kajian hukum interdisipliner yang mendalam, sehingga pengambilan kebijakan hukum terkait ketenagakerjaan menjadi tepat sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu pengetahuan (scientific proven). (***)