AFORISMA JASA PENERBANGAN INDONESIA MERESPONS MEA
Oleh REZA ZAKI (Juli 2016)
Menurut Asosiasi Industri Penerbangan Dunia, International Air Transport Association (IATA), selama tahun 2012 hingga 2032, jumlah penumpang angkutan udara komersial diperkirakan akan tumbuh dari 5,4 miliar menjadi hamper 14 miliar. Ini berarti dari 14,8 juta penumpang per hari pada tahun 2012, dalam 20 tahun mendatang akan menjadi 38,4 juta.
Menurut proyeksi IATA, pertumbuhan jumlah penumpang yang terbesar akan terjadi di kawasan Asia. Di Eropa dan kawasan Amerika Utara, pertumbuhannya sudah sangat lambat. Hal serupa terjadi pada layanan angkutan barang (kargo), yang volumenya diperkirakan bakal bertumbuh hingga tiga kali lipat. Akan lebih banyak lagi barang-barang perishable, produk high-tech, high-fashion, farmasi, dan produk-produk bernilai jual tinggi yang diangkut dengan menggunakan pesawat. Kasarda memperkirakan kelak sekitar 30% dari total volume, bakal memanfaatkan jasa angkutan udara. Menurut IATA, pertumbuhan tertinggi angkutan barang tersebut bakal terjadi di kawasan Asia.
Untuk mengimbangi pertumbuhan angkutan manusia dan barang, maskapai-maskapai penerbangan pun terus menambah jumlah pesawatnya. Selama tahun 2012 hingga 2032, IATA meramalkan, jumlah pesawat di seluruh dunia akan bertambah dari 20.310 unit menjadi 41.240 unit.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai, dari lima sektor jasa yang potensial dalam perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mendatang, ternyata sektor jasa penerbangan Indonesia merupakan sektor jasa yang paling tidak siap menghadapi MEA. Dibandingkan dengan Singapura yang hanya memiliki satu bandar udara (bandara), lanjut dia, bandara Singapura itu mampu beroperasi di seluruh ASEAN. Padahal, Indonesia sendiri memiliki jumlah bandara yang jauh lebih banyak dibanding Negeri Singa tersebut. Pesawat penerbangan Indonesia seperti Lion dan Susi Air saja pilotnya dari asing. Ini karena kurangnya pelatihan di Indonesia (Metro TV, 2015).
Sementara itu, jumlah auditor penerbangan Indonesia hingga saat ini baru berjumlah 100 orang. Idealnya Indonesia harus memiliki 300 auditor. Auditor independen ini harus digenjot secara kuantitas dan kualitas kedepan agar mampu mengendalikan peliknya penerbangan di Indonesia yang sudah semakin padat (Kontan, 2015).
Melihat sejumlah pergerakan tersebut, dengan mudah kita dapat membaca bahwa bandara bakal menjadi faktor penentu. Sebab, kemana lagi tujuan dari semua pergerakan pesawat-pesawat tadi kalau bukan ke bandara. Namun, untuk bisa melayani jumlah penumpang yang bakal mencapai 14 miliar, volume kargo yang bakal meningkat hingga tiga kali lipat termasuk di dalamnya produk-produk perishable dan bertambahnya jumlah pesawat yang datang dan pergi, banyak perubahan yang harus dilakukan oleh bandara. Menurut Kasarda, ada beberapa faktor yang memicu transformasi bandara, sering terjadinya gelombang kelima dunia.
Pesawat. Para produsen pesawat dunia terus mengembangkan pesawat-pesawat berbadan lebar yang mampu mengnagkut lebih banyak penumpang dan barang, tetapi hemat konsumsi BBM-nya. Misalnya, Boeing mengembangkan seri B747-8, sementara Airbus memiliki A380 dan A340. Bandara-bandara harus menyiapkan fasilitas dan infrastrukturnya agar mampu didarati pesawat-pesawat berukuran jumbo tersebut.
Globalisasi. Bandara-bandara harus mampu melayani produsen dan konsumen yang kian mengglobal. Ini tercermin dari volume perdagangan dunia yang terus meningkat. Menurut data World Trade Organization (WTO) pada tahun 2013, volume perdagangna dunia mencapai 2,1 % terhadap total perdagangan. Pada 2014 angkanya naik lagi menjadi 4,7 %. Untuk tahun 2015, volume perdagangan dunia bakal meningkat lagi menjadi 5,3 %.
Kecepatan. Segala proses dan prosedur di bandara harus dibuat lebih cepat. Para penumpang yang ingin berpergian dari bandara kalau bisa segera check-in dan boarding, lalu naik ke pesawat dan berangkat. Begitu pula dengan para penumpang yang baru saja mendarat, ingin segera menerima bagasi kalau penumpang penerbangan internasional, melalui proses imigrasi dan segera meninggalkan bandara.
Kelincahan. Bandara-bandara juga dituntut untuk mampu dengan lincah melayani kebutuhan konsumen. Dan, mampu dengan cepat pula merespons perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis kebandarudaraan.
Konektivitas. Bandara-bandara juga harus bisa menjadi bagian dan titik simpul serta penghubung dari jaringan korporasi global. Untuk itu bandara harus mampu mengembangkan sejumlah fasilitas dan infrastruktur guna mendukung gerak dan langkah bisnis dari korporasi-korporasi global tersebut.
Perishability. Bandara-bandara harus membangun fasilitas dan infrastruktur agar siap melayani kian berkembangnya perdagangan produk-produk perishable. Untuk itu bandara-bandara harus membangun gudang-gudang pendingin serta memperbaiki proses dna prosedur pengurusan dokumen agar lebih cepat dan ringkas.
Pariwisata. Industri pariwisata dunia akan terus berkembang. Jumlah orang yang melakukan kunjungan wisata, baik di tingkat domestic maupun mancanegara, akan terus meningkat. Bandara-bandara harus siap melayani peningkatan tersebut.
SDM. Agar pilot lokal mampu bersaing dengan pilot luar negeri, maka harus ada pelatihan pilot dengan standar internasional. Karena, dengan pendidikan formal saja masih kurang, mesti ada keahlian untuk menjadikan sumber daya manusia (SDM) Indonesia menjadi berkualitas.
Di era MEA ini, Indonesia juga harus melirik model aerotropolis. Aerotropolis bersandar pada kapasitas bandara di suatu negara. Di beberapa negara maju, peran bandara sebagai sentra bagi pertumbuhan ekonomi kawasan sekitarnya, dan bahkan bagi Negara yang bersangkutan, adalah suatu keniscayaan. Lihatlah Singapura, maju mundurnya negara itu sangat bergantung oleh kinerja bandaranya, Changi. Begitu pula di Hong Kong atau Korea Selatan, maju mundur dua negara itu sangat ditentukan oleh Bandara Internasional Hong Kong dan Bandara Incheon. Di tiga negara tersebut, bandara betul-betul menjadi driver ekonomi bagi negaranya.
Di Belanda, misalnya, Bandara Schipol di Amsterdam berperan penting dalam menarik investasi di seputar bandara. Di sana, saat ini beberapa perusahaan multinasional seperti Microsoft, Ernst & Young, Solomon Brothers, Unilever, dan Heineken, sudah membuka kantornya. Di area bandara itu juga sudah ada dua hotel dan fasilitas pameran papan atas serta sekitar 61.000 orang setiap hari bekerja di sana.
Dari era kecepatan ekonomi ini, Undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pun harus lebih diperkuat kembali untuk bisa beradaptasi dengan kompetisi yang semakin sengit ini. Di samping itu, produk hukum lainnya yang memiliki relevansi terhadap hadirnya kompetisi perdagangan bebas ini juga diharapkan ikut memperkuat potensi jasa penerbangan Indonesia di masa depan. (***)