‘POKEMON GO’ DAN ANCAMAN KEAMANAN
Oleh SHIDARTA (Juli 2016)
Saat terminal baru bandar udara Abdul Rachman Saleh diresmikan bulan Juni 2015, saya sedang berada di kota Malang dan menikmati fasilitas terminal baru tersebut persis pada hari pertama ia digunakan. Sebagai pengajar mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, naluri saya terusik untuk mengamati seberapa serius pengelola bandara ini melengkapi fasilitas pelayanannya bagi para penumpang. Toilet adalah salah satu fasiltas penting. Bagi saya toilet di ruang tunggu bandara itu terlalu sempit untuk mengakomodasi kebutuhan penumpang yang boleh jadi membludak di hari-hari tertentu, sehingga saya merasa perlu untuk mengabadikannya dengan kamera. Tiba-tiba seorang petugas berseragam yang berjaga di bandara milik TNI-AU ini mendekati saya dan meminta saya tidak lagi memotret apapun. Saya mengiyakan, walaupun saya merasa aneh juga atas larangan demikian diterapkan di ruang tunggu penumpang, mengingat saat ini hampir semua penumpang memiliki kamera yang setiap saat bisa dimanfaatkan untuk jeprat-jepret di berbagai sudut bandara.
Alasan keamanan juga disuarakan baru-baru ini terhadap anggota TNI dan masyarakat yang senang bermain ‘Pokemon Go’ di area-area terbatas (restricted areas), misalnya fasilitas militer. Bahkan ada kecurigaan bahwa monster digital ini sengaja disebar di area-area tersebut agar para penggemar game ini terdorong mengakses tempat-tempat tersebut untuk berburu pokemon. Di Kodim Cirebon, misalnya, seorang berkebangsaan Prancis bernama Romain Pierre ditahan karena memasuki area tersebut dengan alasan berburu pokemon (The Jakarta Post, 20 July, 2016, “‘Pokemon Go’ poses threat to national security: TNI”).
Ilustrasi di atas sesungguhnya tidak harus disikapi secara berlebihan karena persoalannya boleh jadi sama sekali tidak relevan dihubung-hubungkan dengan games semacam Pokemon Go ini. Penyebaran pokomen tadi lebih patut dicurigai bermotifkan ekonomi, misalnya di pusat-pusat perbelanjaan, dengan maksud memobilisasi massa datang ke lokasi ini.
Sangat menyedihkan apabila fasilitas dan instalasi militer kita dapat begitu rentan hanya dengan cara pokemon disebar dan kemudian mengundang orang-orang berdatangan ke sana. Para gamers yang sudah kehlangan orientasi sehingga memasuki fasilitas terlarang untuk publik seperti itu, secara gampang dapat dijerat dengan tindakan trepassing. Jangankan fasilitas militer, mereka bahkan dapat dipidana jika sampai masuk ke pekarangan rumah, ruangan, atau pekarangan orang lain tanpa izin pemiliknya. Pasal 167 ayat (1) KUHP menyatakan, “Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lima sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Isu tentang keamanan justru lebih serius apabila terkait keamanan data pribadi. Ada kekhawatiran apabila aplikasi ‘Pokemon Go’ meminta hak akses yang berlebihan atas data personal pengguna (gamers) saat dlakukan instalasi. Data ini berpeluang untuk dimanfaatkan tanpa seizin pemilik data. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memang menyatakan, “Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.” Ayat berikutnya mengatakan bahwa setiap orang yag dilanggar haknya sebagaimana dimaksud dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan undang-undang ini. Pasal 26 ini jelas membingkai persoalan penggunaan data pribadi seseorang sebagai perkara perdata biasa. Pada saat instalasi, setiap pemilik data biasanya secara sadar maupun tidak akan menyatakan tidak keberatan dan sudah mengizinkan datanya diserahkan ke pihak yang meminta. Pernyataan ini dapat saja dijadikan dalih sebagai bentuk persetujuan.
Jika dicermati dengan saksama, Pasal 27,s.d. 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, sama sekali tidak akomodatif untuk mengatasi perilaku pemanfaatan data pribadi seperti ini. Oleh sebab itu, perlindungan negara terkat data pribadi warganya sudah selayaknya dihadirkan dalam konstelasi hukum positif kita. (***)
Published at :