MENCARI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM BAGI KORBAN VAKSIN PALSU
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juli 2016}
Menteri Kesehatan, Prof. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, Sp. M, mengumumkan empat belas rumah sakit dan delapan klinik yang diduga membeli dan memberikan vaksin palsu kepada bayi dan anak-anak yang merupakan pasien dari rumah sakit atau klinik tersebut. Para orang tua dari bayi dan anak-anak tersebut kemudian beramai-ramai datang ke rumah sakit dan klinik tersebut untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban dari rumah sakit dan klinik tersebut. Namun, sayang pihak rumah sakit dan klinik tidak memberikan penjelasan yang jelas bahkan ada yang menolak bertanggung jawab atas tindakan tersebut sebagaimana dilaporkan oleh Mavanita (2016) dari kompas.com. Beberapa rumah sakit akhirnya menyediakan posko untuk orang tua anak atau bayi mendaftarkan nama anak atau bayi nya yang diduga menerika vaksin palsu tersebut. Akan tetapi ketegangan dan kericuhan masih tetap terjadi sampai akhirnya kepolisian mensiagakan anggotanya di rumah sakit yang dimaksud.
Kondisi ini jika tidak ditangani dengan baik akan berpotensi menimbulkan sengketa hukum, bahkan beberapa orang tua anak dan bayi telah mendatangi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk berkonsultasi Memang pihak kepolisian telah melakukan penyidikan atas dugaan tindak pidana ini dan telah menetapkan dua puluh tiga tersangka dalam dugaan tindak pidana ini. Akan tetapi penyelesaian secara hukum pidana saja tidak cukup karena bagi orang tua anak atau bayi tersebut yang terpenting adalah bagaimana keberlangsungan kesehatan dan/atau memulihkan kesehatan akibat dari pemberian vaksin palsu tersebut.
Gugatan perdata tentu dapat ditempuh atas dasar perbuatan melawan hukum kepada pihak rumah sakit, klinik dan dokter atau tenaga medis yang dipandang ikut bertanggung jawab. Dalam gugatan perdata tersebut dapat dimintakan kompensasi ganti kerugian baik material maupun imaterial terhadap perbuatan rumah sakit, klinik dan dokter atau tenaga medis yang melanggar hak-hak konsumen yaitu hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan vaksin, hak untuk mendapatkan keselamatan dalam menggunakan vaksin serta hak konsumen untuk hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atas pemberian vaksin palsu tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen). Selain didasarkan pada pelanggaran atas UU Perlindungan Konsumen, gugatan perdata tersebut juga didasarkan atas pelanggaran atas Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentan Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Mengingat banyaknya korban maka gugatan class action atau gugatan kelompok dapat dilakukan oleh korban-korban pada satu rumah sakit yang sama. Gugatan perdata memang dapat memberikan kompenasi ganti rugi atas pemberian vaksin palsu kepada anak atau bayi, namun Gugatan perdata dipandang kurang tepat untuk memenuhi kebutuhan para korban ini. Kekurangan dari penyelesaian sengketa ini adalah prosesnya yang lama. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan perdata dari pengadilan tingkat pertama sampai dengan berkekuatan hukum tetap bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun. Belum lagi jika ada salah satu pihak yang mengajukan upaya hukum luar biasa, peninjuan kembali. Walaupun dalam asasnya upaya hukum luar biasa tidak menghentikan eksekusi, faktanya tidak demikian.
Upaya hukum yang dipandang tepat untuk menyelesaikan hal ini adalah dengan penyelesaian sengeta di luar pengadilan. Melalui penyelesaian ini pemulihan atas hak konsumen dan pasien dapat terpenuhi. Orang tua anak atau bayi dapat menuntut untuk tidak hanya sekedar pemenuhan ganti rugi materil atau imaterial, lebih dari itu dapat menuntut untuk pemenuhan tindakan medis yang diperlukan seperti permintaan untuk vaksin ulang atau tindakan medis lainnya sebagai dampak dari pemberian vaksin palsu tersebut. Upaya penyelesaian ini juga lebih cepat. Akan tetapi tidak mudah untuk mencapai kesepakatan dalam penyelesaian sengketa ini, masing-masing pihak perlu untuk menurunkan ego mereka masing-masing untuk mencari win-win solution bagi para pihak. Orang tua anak atau bayi sebagai korban tentu tidak bisa menempatkan dirinya di atas angin yang dapat menuntut segala yang diminta dengan “ngotot”. Selain itu sangat penting ada pihak ketiga yang kompeten sebagai penegah dalam upaya penyelesaian ini, baik seorang arbiter, konsilator maupun mediator. UU Perlindungan Konsumen sendiri telah membuka upaya penyelesaian sengketa melalui jalur ini. Demikian pula dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Oleh karena itu, patut ditunggu apakah penyelesaian sengketa ini dipilih dan dapat menyelesaikan sengkata mengenai vaksin palsu yang mungkin muncul. (***)
Published at :