KEDEWASAAN MENERIMA KEKALAHAN
Oleh AGUS RIYANTO (Juli 2016)
Menerima kekalahan memang tidak mudah. Kekalahan Persija Jakarta ketika menghadapi Sriwijaya FC 0-1 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) jumat (24/6/2016) bagaikan aib bagi “The Jakmania” suporter Persija Jakarta. Akibatnya, kerusuhan, kekerasan dan kerusakan di dalam dan di luar GBK adalah ekspresi kekecewaan kekalahan tersebut. Kata kalah sulit diterima suporter Persija, sehingga reaksinya menjadi tidak rasionalitas. Nalar sportivitas dihempas ke dalam dasarnya kebanggaan semu. Kebanggaan yang seharusnya ditanggalkan dengan mengedepankan kedewasaan sikap menerima kekalahan. Menerima kalah tidaklah berarti terhinakan, karena kalah dan menang adalah dua sisi kehidupan yang tidak mungkin dapat dihindari, sehingga terima dengan terbuka dan kelapangan hati. Belajar menerima kekalahan adalah jalan menuju kedewasaan diri.
Ketidakdewasaan di dalam menerima kekalahan dapat disebabkan lebih dari satu variabel penyebabnya. Fanatisme berlebihan adalah dasar bermulanya penolakan kekalahan. Hal ini terjadi karena semuanya menjadi di luar batas nalar kewajaran reaksinya, sehingga dampak destruktif yang merusak adalah perwujudannya. Semangat demikian dibentuk dikarenakan rasa sayang berlebih membela klubnya. Membela dengan tutup mata buta dan dengan rela mengorbankan harta dan nyawanya adalah sebuah pembelaan yang tidak dapat diterima rasionalitasnya. Akibatnya, jika klub yang dibelanya kalah, maka runtuhlah semuanya dan bentrok dengan aparat keamanan dan lawan pendukung klub adalah dasar dari pembenaran untuk kekesalan. Ekspresi demikian tidak dapat dibenarkan, karena olah raga di dasari pada darah sportivitas yang menjadi rangkaian perjalanan pertandingan, maka menerima kalah tidak berarti kalah, tetapi sejatinya adalah kemenangan yang tertunda. Kekalahan bukanlah akhir kehidupan, tetapi menjadi cambuk kemajuan dan tangga menuju kesuksesan yaitu kemenangan sejati.
Kekalahan yang tidak dikehendaki pendukung fanatik klub juga disebabkan tidak didudukan sebagai subjek, tetapi cenderung menjadi objek industri sepak bola di Indonesia. Suporter sebagai objek berarti “hanya” menjadi pendukung yang ikut meramaikan dan melengkapi pertandingan. Konsekuensinya jika menang, maka gembiralah dan jika kalah mengamuk dan memarahi kekalahan. Berbedalah jika pendukung klub menjadi subjek, maka kedudukannya menjadi rasa memiliki. Memiliki berarti akan selalu berusaha menjaga nama baik klubnya, sehingga perilaku negatif yang merugikan nama besar klub akan dihindarinya. Lebih dari itu sebagai subjek, klub dapat menjadikan suporter sebagai asset yang akan mendatangkan keuntungan material dengan jalan menjual berbagai merchandise sepak bola, seperti jersey, syal, flag, gelas, gelang, topi, penjualan tiket yang resmi, sponsor utama klub, hak siar televisi yang menyiarkan langsung pertandingan sepakbola dan lain-lain. Hal ini berarti para ultras (pendukung yang fanatik) dapat di-manage dengan lebih baik dan akan mendatangkan keuntungan material klub. Untuk itulah, hentikan menjadi objek, tetapi jadikan pendukung subjek yang juga akan memiliki klub dan pada akhirnya akan menerima kekalahan sebagai proses pendewasaan klub dan suporternya.
Kekecewaan pendukung klub terhadap kekalahan juga dapat disebabkan ketidaktahuannya konsekuensi tindakannya. Tindakan dimaksud adalah yang anarkistis yang dapat berpotensi membahayakan orang lain. Hal ini karena dalam kejadian di GBK, The Jakmania tidak saja melukai dan merusak beberapa bagian GBK serta bahkan yang lebih tragis Brigadir Hanafi, anggota Brimob Polda Metro Jaya, mengalami sobek terbuka di kepala, dagu retak, pelipis kanan kiri retak, mata ada pukulan tumpul. Tindakan yang tidak dapat dibenarkan atau melanggar hukum. Untuk itu dalam tataran normatif harus ada pertanggungjawabannya. Yang pertama-tama dapat dimintakan tanggung-jawab adalah pendukungnya Persija. Hal ini merujuk kepada Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan barangsiapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum selama-lamanya lima tahun enam bulan. Apabila luka, tujuh tahun; luka berat, sembilan tahun; dan menyebabkan ke matian, maka dihukum selama waktu dua belas tahun penjara. Dengan ketentuan di atas, maka seharusnya para pendukung fanatik sepak bola di Indonesia berpikir ulang. Hal ini beratnya hukuman yang dapat dijatuhkan, namun besar kemungkinan tidak mengetahuinya, sehingga tetap saja terjadi kembali kerusuhan atau kerusakan hanya disebabkan kekalahan tim sepak bola kesayangannya. Untuk itu, maka dibuka kemungkinan adanya hukuman tambahan terhadap para pelanggar dan kejahatan sepak bola berupa sanksi yang keras terhadap klub idamannya dan larangan menonton para pendukungnya, apabila terbukti di pengadilan, dengan hukuman dilarang langsung menonton seumur hidup di seluruh stadion tempat berlangsungnya pertandingan sepak bola di Indonesia, untuk dapat memberikan efek jera.
Kekalahan di dalam sepak bola yang berujung kepada kekerasan, kerusuhan, kerusakan dan anarkistis adalah refleksi belumlah dewasa pelakunya. Sebab, kedewasaan itu sesungguhnya bertumpu pada akal sehat atau rasional menghadapi kekalahan, namun yang sering terjadi kekerdilan pelakunya. Sikap yang tidak melihat masalah kalah sebagai bagian dari proses tahapan yang seharusnya dilalui menuju kemenangan. Kedewasaan itu dapat bermula dari keberanian klub mengendalikan pendukung fanatiknya sebagai bukti kedewasaan awal sikap yang harus ditunjukkan. Kemudian ditindaklanjutinya kerja sama dengan melibatkan seluruh para pemangku kepentingan sepak bola mulai klub, kelompok suporter, wasit, pemerintah pusat dan daerah, dan pihak kepolisian untuk dapat menegakan instrumen hukum sebagai wujud realitas kesungguhan kedewasaan itu untuk meminimalisasi ekses negatif kekalahan tersebut sebagai muara awal masalahnya dengan bertindak tegas dan terukur. Di dalam olah raga itu akan selalu ada yang menang dan kalah, maka bersikaplah dewasa menerima kekalahan tersebut. (***)
Published at :