TARIK-MENARIK ANTARA ASAS ‘PACTA SUNT SERVANDA’ DAN ‘ITIKAD BAIK’ DALAM PERJANJIAN
Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (Juni 2016)
Seperti halnya terjadi perdebatan perenial di antara para filsuf hukum terkait mana yang harus lebih diutamakan antara kepastian hukum ataukah keadilan, maka di dalam hukum kontrak pun imbas dari perdebatan ini juga terjadi. Untuk kepastian hukum dalam kontrak diwakili oleh suatu asas yang dikenal dengan asas pacta sunt servanda; sedangkan untuk ukuran keadilan diwakili oleh suatu asas yang sering kita sebut sebagai asas itikad baik (good faith).
Pada teori klasik hukum perjanjian, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi ketika kontrak sudah memenuhi syarat hal tertentu. Akibatnya ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra-perjanjian atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini peranjian belum memenuhi syarat hal tertentu. Lain halnya dengan teori modern, yang berpandangan bahwa perjanjian bukan lagi “een tweezijdige rechtshandeling” (satu perbuatan hukum yang sifatnya dua pihak) tetapi “twee eenzijdige rechtshandeling” (dua perbuatan hukum bersisi tunggal). Lebih jauh lagi perjanjian bukanlah rechtshandeling (perbuatan hukum) tetapi telah berubah sebagai rechtsverhouding (hubungan hukum).
Dalam teori modern dikemukakan janji pada saat pra perjanjian harus didasarkan pada itikad baik, seperti contohnya di Prancis pihak yang melakukan perundingan tanpa maksud sungguh-sungguh untuk membuat perjanjian atau pihak yang membatalkan janji tanpa alasan yang tepat akan bertanggung jawab kepada pihak lainnya atas dasar perbuatan melawan hukum, bahkan jika perundingan sudah mencapai tingkat yang matang untuk lahirnya suatu perjanjian, pihak yang mengundurkan diri dari perundingan mungkin saja dibebani kewajiban berdasarkan hubungan kontraktual. Demikian pula di Jerman, sejak akhir tahun 1960-an, pengadilan telah mengembangkan suatu aturan (rule) bahwa pihak yang terlambat mengundurkan diri dari negosiasi dan mengakibatkan investasi yang ditanamkan oleh rekan bisnisnya menjadi sia-sia dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum, jika pengundurun diri dari perundingan tersebut, tidak didasarkan pada alasan yang tepat. (Jack Beatson & Daniel Friedman, 1993: 38)
Seperti kita ketahui pacta sunt servanda adalah asas kepastian hukum dalam perjanjian yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda memberikan sinyal bahwa hakim harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sehingga jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian.
Asas itikad baik mengandung pengertian suatu keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya. Selanjutnya pendapat dari Prof. R. Subekti, menunjukkan bahwa jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru akan menimbulkan ketidakadilan, sehingga hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya (R. Subekti, 1998: 41). Dengan demikian jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidak seimbangan atau melanggar rasa keadilan, hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam perjanjian tersebut
Pada mulanya pengadilan memegang teguh asas pacta sunt servanda, tetapi belakangan sikap ini bergeser ke arah iktikad baik. Iktikad baik bahkan kemudian digunakan hakim untuk membatasi atau meniadakan kewajiban kontraktual apabila ternyata isi dan pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan keadilan. Keadaan ini bisa kita jelaskan dari fakta yang menunjukkan adanya tarik-menarik antara dua asas penting dalam hukum kontrak, yakni antara pacta sunt servanda dari putusan-putusan pengadilan.
Berikut kita bisa melihat kasus-kasus yang menggambarkan kecenderungan tarik-menarik antara asas pacta sunt servanda dan asas itikad baik:
- Dalam perkara Ida ayu Surjani v. I Nyoman Sudirdja, No. 289 K/Sip/1972, Mahkamah Agung berpandangan bahwa besarnya suku bunga pinjaman adalah sebagaimana yang telah diperjanjikan. Dari putusan ini terlihat sikap Mahkamah Agung yang memegang teguh ajaran kebebasan berkontrak. Apa yang telah disepakati bersama dalam sebuah kontrak akan menjadikannya sebagai sesuatu yang mengikat bagi para pihak, dan ketentuan tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak (pacta sunt servanda). Dengan keadaan demikian, tidak perlu diperhatikan apakah isi atau prestasi para pihak dalam kontrak tersebut rasional dan patut ataukah tidak. Mereka tetap terikat kepada yang telah disepakati atau diperjanjikan sejak semula.
- Dalam perkara Tjan Thiam Song v Tjia Khun Tjai, No. 791 K/Sip/1972, Mahkamah Agung tidak membenarkan judex factie untuk membatasi kewajiban kontraktual atas dasar ajaran iktikad baik, dalam hal ini kepatutan. Di sini Mahkamah Agung lebih mengkedepankan asas facta sunt servanda.
- Dalam perkara Zainal Abidin v. A.M. Mohammad Zainuddin cs, No. 1253K/Sip/1973, Hakim atau pengadilan mulai mengubah sikapnya, yakni tidak lagi memegang teguh asas pacta sunt servanda, dan makin bergerak ke arah asas kepatutan atau iktikad baik. Dalam pertimbangannya, Pengadilan Negeri Lhokseumawe menyatakan bahwa agama Islam yang dianut kedua belah pihak sangat mencela perbuatan yang membungakan uang. Selain itu, dalam kehidupan sosial bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak melarang untuk mencari keuntungan, tetapi dibatasi oleh nilai-nilai moral dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
- Dalam perkara Sri Setyaningsih v. Ny Boesono dan R. Boesono, No. 3431 K/Pdt 1985 pengadilan telah pula meninggalkan kesakralan asas pacta sunt servanda. Mahkamah Agung dalam putusannya antara lain memberikan pertimbangan bahwa bunga 10% setiap bulan terlalu tinggi dan bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan mengingat tergugat II adalah purnawirawan dan tidak mempunyai penghasilan lain. Ketentuan di dalam perjanjian untuk menyerahkan buku pembayaran pensiun sebagai jaminan adalah bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.
- Dalam perkara Hetty Esther v. Anak Agung Sagung Partini cs, No. 1531 K/Pdt/1997, pengadilan judex factie secara tegas mendasarkan putusannya pada iktikad baik dan telah menerapkan iktikad baik untuk membatasi atau meniadakan perjanjian, pendirian itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Dalam pertimbangannya, tidak dijumpai alasan yang mendasari pendirian Mahkamah Agung yang membenarkan judex factie menggunakan fungsi itikad baik yang mengurangi atau meniadakan untuk membatalkan kontrak yang bersangkutan.
Dari berbagai putusan di atas terlihat bahwa pengadilan belum memiliki pemahaman yang mendalam dan konsisten tentang makna itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Kemudian berkaitan dengan sikap pengadilan tentang itikad baik ini terlihat bahwa pada mulanya pengadilan lebih mengkedepankan asas pacta sunt servanda dan mengesampingkan itikad baik. Belakangan, itikad baik lebih dikedepankan. Bahkan, dengan itikad baik, penerapan pacta sunt servanda dikesampingkan.
Akhirnya masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita pemerhati hukum untuk membuat formula yang objektif terkait itikad baik agar punya nilai yang universal dalam penerapannya. (***)