PERTAPAKAN KAUSALITAS DALAM FILSAFAT KE HUKUM PIDANA
Oleh AHMAD SOFIAN (Juni 2016)
Ajaran kausalitas menjadi sesuatu hal yang penting dalam perkembangan filsafat hukum. Tidak banyak ilmuwan hukum yang tertarik untuk mendalami ajaran ini, sehingga perkembangan pemikiran ajaran ini di Indonesia seolah mengalami mati suri. Dalam artikel yang ringkas ini, penulis ingin memaparkan secara ringkas pertapakan ajaran kausalitas dalam konteks filsafat. Pertapakan kausalitas dalam konteks filsafat penting difahami sebagai dasar dalam pemahaman ajaran kausalitas dalam hukum. Pertapakan filsafat kausalitas dibagi dalam tiga babak, yaitu pada masa Yunani Kuno, zaman pertengahan dan zaman moderen
Pertama: Zaman Yunani Kuno
Plato dinilai sebagai peletak dasar prinsip kausalitas pada zaman Yunani Kuno. Dikatakannya bahwa “everything that becomes or changes must do so owing to some cause; for nothing can come to be without a cause”. Plato menekankan bahwa pentingnya sebuah penyebab (cause) adalah pada jenis sebab-sebab yang formal (formal causes), karena menurutnya perubahan pada sesuatu disebabkan oleh banyak kemungkinan, karena itu yang paling penting adalah mencari sebuah atau beberapa sebab yang formal saja.
Aristoteles memberikan pandangan atas pendapat Plato, dia berbeda dengan Plato dalam melihat sebuah cause, dia menyebutkan tentang “efficient causes” sebagai sumber perubahan atau sumber gerakan. Dalam konsepsi Aristoteles, kausalitas ada di banyak tempat, tetapi yang terpenting adalah pada apa yang disebutnya sebagai “posterior analytics”, yaitu sebuah analisis yang menggunakan ilmu fisika dan ilmu metafisika yang dikaitkan dalam konteks ilmu pengetahuan. Aristoteles memperkenalkan empat aitia dalam memahami teori kausalitas. Keempat konsepsi aitia ini adalah aitia material, formal, efisien dan final. Konsep aitia terdapat dalam sebuah proses kejadian sehingga melahirkan wujud baru.
Selanjutnya adalah paham Stoics tentang kausalitas. Para penganut paham Stoics adalah ahli filsafat pertama yang secara sistematis mempertahankan ide bahwa setiap peristiwa dibutuhkan adanya syarat-syarat sebab-akibat tertentu. Apa yang dinamakan prinsip kausalitas ini telah datang untuk mendominasi seluruh pandangan barat hingga saat ini. Oleh karena itu, salah satu inovasi utama dari prinsip Stoics adalah bahwa ide tentang sebab dikaitkan dengan keteraturan tanpa pengecualian dan keharusan. Para penganut paham Stoics berpegang teguh pada pandangan bahwa setiap peristiwa memiliki sebuah sebab. Mereka menolak ide bahwa ada beberapa peristiwa tanpa sebab karena itu akan meruntuhkan kepercayaan dasar mereka dalam hubungannya dengan alam semesta. Selain itu, mereka berpendapat bahwa setiap peristiwa khusus membutuhkan akibatnya.
Kedua: Zaman Pertengahan
Perkembangan selanjutnya adalah pandangan sebagian besar ahli filsafat abad ke-13 yang tidak sependapat dengan Aristoteles. Mereka membedakan dua jenis sebab efisien: causa prima dan causa secunda. Jenis sebab efisien pertama merupakan sumber asli dari makhluk. Jenis sebab efisien kedua hanya ditemukan dalam benda-benda yang diciptakan, dan merujuk pada asal dari awal gerakan atau perubahan. Sebab pertama bekerja dalam semua sebab sekunder yang dapat dianggap sebagai sebab-sebab instrumental yang tunduk pada sebab pertama tersebut.
Ketiga: Zaman Moderen
Pada abad ke-17 lahir sebuah gerakan pemikiran yang dikenal sebagai ilmu pengetahuan modern. Evolusi ini merupakan sebuah perubahan radikal dalam perkembangan konsep kausalitas. Sejarah perkembangan pandangan ini luar biasa kompleks, dan dipengaruhi oleh sebuah keyakinan teologis dan ilmiah. Akan tetapi, penentuan kausalitas tidak dipandang memiliki sebuah sumber ilmiah, tetapi sebuah sumber teologis. Idenya adalah bahwa semua benda ditentukan asal muasalnya (sebabnya), dan hanya karena Kemahakuasaan Tuhan dan kemahatahuan ilmu pengetahuan. Jika Tuhan mengetahui apapun dan dapat melakukan apapun, maka apapun harus terjadi. Dengan kata lain, hanya Tuhan yang dapat menjadi sebab, bahkan Tuhan juga yang menjadi inisiator aktif dari sebuah perubahan.
Para penganut paham rasionalis tentang kausalitas antara lain Descartes, Hobbes, Spinoza, dan Leibniz – dan beberapa dari ahli metafisik abad ke-17 lainnya. Beberapa ilmuwan dan filsuf yang mengetengahkan kausalitas dengan pendekatan paham empiris antara lain Locke, Newton, Hume, Kant dan Mill.
Sebagian besar ahli filsafat modern percaya bahwa Hume menyangkal berbagai pandangan para penganut faham rasionalis sebelum dia (Descartes, Hobbes Spinoza, dan Leibniz), yang semuanya menyatakan bahwa ada sebuah elemen penalaran secara apriori asli dalam kesimpulan sebab-akibat. Akan tetapi, menurut Hume, hubungan sebab-akibat secara logis tidak dibutuhkan dan oleh karena itu hubungan sebab-akibat tersebut tidak dapat diketahui secara apriori (lebih berdasarkan teori daripada kenyataan yang sebenarnya). Ia mengatakan bahwa kausalitas bukanlah sebuah hubungan yang dibutuhkan berarti secara logis. Ia memberikan contoh walaupun jika A menyebabkan B, tidak mungkin secara logis untuk mengira bahwa, karena A, B tidak akan telah terjadi.
Selama alasan dan logika menerima, pada sebuah peristiwa tertentu, maka apapun bisa terjadi kemudian. Ini merupakan sebuah alasan yang tepat mengapa hubungan sebab-akibat tidak dapat diketahui berdasarkan teori (apriori) tetapi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya; untuk menentukan apakah sebuah hubungan sebab-akibat menghubungkan antara A dan B atau tidak, maka kita harus mengandalkan pengalaman kita tentang hubungan-hubungan yang serupa. “Tidak ada benda,” tulis Hume, “yang dengan survei saja, tanpa berkonsultasi dengan pengalaman, yang dapat kita tetapkan menjadi sebab dari benda yang lain; dan tidak ada benda, yang tentu saja dapat kita tetapkan dengan cara yang sama untuk tidak menjadi sebab tersebut”.
Konsep kausalitas Hume (1711-1776) merupakan konsep keharusan: peristiwa atau keadaan benda harus mengikuti sebabnya. Secara lebih khusus, dia mengatakan bahwa hubungan sebab-akibat ditandai oleh tiga faktor: (1) kedekatan (dalam ruang dan waktu) sebab dan akibat, (2) prioritas dalam waktu dari sebab ke akibat, dan (3) hubungan yang dibutuhkan antara sebab dan akibat.
Kant secara eksplisit mendukung keharusan bahwa akibat tidak hanya mengikuti sebabnya, tetapi akibat juga harus mengikuti sebab tersebut. Di samping itu, berkebalikan dengan Hume, universalitas yang terlibat dalam hubungan sebab-akibat tidak didasarkan pada induksi, dan oleh karena itu tidak empiris; karena, pengalaman tidak pernah dapat memberikan universalitas. Konsep kausalitas menunjukkan sebuah aturan yang menurut aturan tersebut satu keadaan harus mengikuti keadaan yang lain, maka pengalaman hanya dapat menunjukkan kepada kita bahwa satu keadaan benda umumnya mengikuti satu keadaan yang lain, dan oleh karena itu tidak memberi kita universalitas ataupun keharusan.
. Prinsip kausalitas Kant yang didasarkan pada struktur alasan. Prinsip kausalitas menyatakan bahwa (a) setiap kejadian memiliki sebuah sebab; (b) sebab dari setiap kejadian adalah kejadian sebelumnya; (c) akibat harus mengikuti sebab tersebut, (d) sesuai dengan aturan universal absolut; (e) bukan dari pengalaman tetapi dari apriori.
Menurut Mill (1806-1873) , ide akal sehat tentang ‘sebab’ tersebut menyesatkan karena ada lebih banyak syarat lagi yang dibutuhkan yang sama pentingnya agar akibat tersebut terjadi. Oleh karena itu, “berbicara secara filosofis,” kita tidak berhak untuk memilih salah satu dari syarat-syarat tersebut dan menamai salah satu syarat tersebut dengan ‘sebab’. Karena itu, Mill mendefinisikan sebab dari sebuah kejadian sebagai sejumlah syarat yang karena sejumlah syarat tersebut maka kejadian tersebut (yaitu, sebuah kejadian sejenis) selalu terjadi. Sebab, kemudian, berbicara secara filosofis, adalah jumlah keseluruhan dari semua syarat tersebut, positif dan negatif secara bersama, seluruh kemungkinan dari setiap gambaran, yang disadari, akibat yang selalu mengikuti.
Secara singkat pertapakan kausalitas dalam filsafat dapat digambarkan sebagai berikut:
Filsafat kausalitas yang dikemukan para filsuf dan ilmuwan di atas mempengaruhi lahirnya kausalitas dalam hukum pidana. Von Buri menyatakan secara terang-terangan doktrin condition sine qua non terinspirasi dari filsafat kausalitas Mill. Oleh karena itu, pemikiran kuasalitas dalam hukum pidana, banyak meminjam kausalitas dalam pemikiran filsuf, peminjaman ini tidak seluruhnya tuntas, akibatnya muncul doktrin-doktrin kausalitas yang satu sama lain masih memperdebatkan dalam upaya menemukan sebab dan merangkai sebab tersebut dengan akibat yang dilarang. Perkembangan Doktrin kausalitas dalam hukum pidana tidak melenceng jauh dari apa yang sudah diperdebatkan oleh pemikiran para filsuf. Kausalitas sebagai logika berfikir dalam menemukan perbuatan yang menjadi sebab, disokong oleh ilmu pengetahuan dan disokong juga oleh sesuatu yang apriori. (***)