PEREDARAN VAKSIN PALSU DALAM PERSPEKTIF HUKUM MEREK DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh BAMBANG PRATAMA (Juni 2016)
Terungkapnya peredaran vaksin palsu membuat gaduh masyarakat baru-baru ini. Berbagai kecaman dari beberapa tokoh masyarakat khususnya pembela hak-hak anak mendesak pemerintah untuk menghukum mati para pelaku peredaran vaksin palsu. Celakanya, vaksin palsu telah beredar di masyarakat selama 13 tahun. Oleh sebab itu muncul tudingan kepada beberapa yang dianggap paling bertanggung jawab atas vaksin palsu ini. Beberapa pihak yang disebut-sebut harus bertanggung jawab di antaranya adalah BPOM dan dinas kesehatan. Tetapi, lucunya pihak rumah sakit dan dokter tidak pernah disebut-sebut bertanggung jawab atas hal ini. Padahal khususnya rumah sakit adalah pihak yang seharusnya dianggap paling mengetahui adanya vaksin palsu yang digunakan di rumah sakitnya. Pasalnya, pihak rumah sakit adalah stakeholder yang menerima vaksin palsu tersebut. Di lain pihak, dokter juga seharusnya aware akan hal ini, karena dokter adalah orang yang menggunakan vaksin tersebut untuk disuntikkan kepada bayi yang diimunisasi.
Ada dua bidang hukum yang dapat digunakan untuk menjawab masalah peredaran vaksin palsu. Pertama, menggunakan pendekatan hukum kekayaan intelektual, dan kedua, menggunakan pendekatan hukum perlindungan konsumen. Kedua bidang hukum ini belum digunakan untuk menjawab masalah peredaran vaksin palsu karena para penegak hukum masih menggunakan hukum pidana dan undang-undang kesehatan. Oleh sebab itu, tawaran pendekatan dua bidang hukum di atas menjadi menarik untuk diulas lebih dalam.
Perspektif Hukum Merek
Dari tujuh bidang kekayaan intelektual, peredaran vaksin palsu dapat didekati dengan menggunakan hukum merek, yaitu berupa pelanggaran merek palsu. Tetapi dalam kasus ini ada kejanggalan, yaitu adanya pembiaran dari pemegang merek vaksin yang dipalsu. Hal ini menjadi ironis, terlebih jika peredaran vaksin palsu disebut-disebut sebagai kelalaian. Beredarnya vaksin palsu selama 13 tahun sejak tahun 2003 sampai tahun 2016 bukanlah waktu yang sebentar. Anehnya lagi, pemegang merek yang mereknya dipalsu itu tidak merespon. Padahal tentunya dari sisi finansial ada pengaruh penurunan pendapatan yang diakibatkan oleh vaksin palsu.
Jika dicermati lebih dalam, selain dapat menjerat pengedar merek palsu dari sisi pembuat kemasan dan packaging juga seharusnya dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Hal ini didasarkan pada alasan pembuatan suatu produk yang memiliki persamaan pada pokoknya. Selain dari itu, di sini juga ada kelalaian dalam hal pengawasan dari pemerintah. Seharusnya pemerintah mengawasi alur produksi dan distribusi obat-obatan dari sisi hulu sampai hilir. Di sisi hulu terletak pada pengawasan produksi kemasan dan packaging vaksin. Kemasan obat-obatan itu sifatnya unik dan berbeda dengan produk lainnya. Oleh sebab itu, maka seharusnya permintaan atas kemasan dan packaging terkait produk obat-obatan diawasi secara cermat karena pemesannya pasti produsen farmasi yang memiliki izin yang sah, bukan sembarang orang. Dengan demikian, maka dalam hal pengawasan produksi dan distribusi beban tanggung jawab ada pada pemerintah.
Perlu diketahui bahwa pelanggaran merek adalah delik aduan berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Artinya, penegak hukum baru bergerak setelah ada aduan dari pemilik merek yang sah atas peredaran merek palsu. Tetapi yang mengherankan hingga saat ini belum ada aduan dari pemegang merek vaksin tersebut.
Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam perspektif hukum perlindungan konsumen, pihak yang bersangkutan adalah masyarakat dengan pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan (lihat undang-undang kesehatan dan undang-undang tenaga kesehatan). Tetapi sekali lagi sayangnya hal ini juga tidak muncul pada kasus vaksin palsu ini. Meski undang-undang kesehatan sangat bernuansa hukum publik, akan tetapi tidak menutup hal-hal keperdataan, di antaranya adalah perlindungan konsumen. Di sini kedudukan masyarakat adalah sebagai pengguna jasa kesehatan.
Undang-undang kesehatan mengatur tentang standar operasional dan standar pelayanan. Artinya dalam hal distribusi obat-obatan dan pelayanan ke masyarakat diatur dalam undag-undang. Secara common sense tentunya distribusi obat-obatan berada dalam lingkup standar operasional. Untuk memperkuat penjaminan mutu standar layanan kesehatan dijamin oleh akreditasi rumah sakit. Oleh sebab itu, menjadi aneh jika pihak rumah sakit tidak pro aktif dalam mengawasi jalur distribusi obat-obatan yang masuk ke rumah sakitnya.
Perspektif hukum perlindungan konsumen akan masuk jika masyarakat sebagai korban atas efek samping dari vaksin palsu tersebut. Kedudukan masyarakat sebagai pengguna jasa kesehatan menurut undang-undang kesehatan memiliki hak untuk mendapat informasi dan edukasi. Selain itu, menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang produk yang akan dipakainya. Di sini seharusnya konsumen berhak mendapat informasi produk obat-obatan yang dipakainya, misalnya: tanggal kadaluarsa, segel kemasan/keutuhan kemasan, kandungan produk, efek samping dan sebagainya. Informasi bagi konsumen adalah hak konsumen, artinya ada beban kewajiban bagi pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan untuk menginformasikan hal ini. Tetapi sayangnya dalam hal product knowledge ini masih seperti menara gading bagi masyarakat.
Penutup
Kasus peredaran vaksin palsu mungkin saja bukan satu-satunya kasus obat palsu yang beredar di masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan peran aktif pemerintah dalam hal pengawasan di bidang produksi dan distribusi. Dalam hal pemakaian, kedudukan masyarakat adalah end user yang tidak mengetahui sisi produksi dan operasional. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah efek samping yang dirasakan oleh masyarakat akibat vaksin palsu ini yang perlu dilakukan studi lebih lanjut di bidang medis sehingga korban vaksin palsu ini tidak mengalami efek samping yang bersifat permanen. Semoga kasus seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. (***)