PENGAMEN DAN DILEMA PENEGAKAN HAK CIPTA
Oleh BESAR (Juni 2016)
Musik dan lagu yang telah diperdengarkan kepada khalayak ramai seringkali dengan mudah dinyanyikan oleh orang lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan baik dalam skala yang sangat kecil (tidak jelas pendapatannya) maupun dalam skala yang besar. Pada skala yang sangat kecil, dapat kita jumpai dilakukan oleh para pengamen yang sehari-harinya menyanyikan lagu ciptaan orang lain.
Menyanyikan lagu atau memainkan musik dapat digolongkan ke dalam tindakan “mempertunjukan atau mengumumkan lagu atau musik hasil karya orang lain” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 yang menyebutkan bahwa “Pelaku Pertunjukan adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampikan dan mempertunjukkan suatu Ciptaan” yang diperkuat Pasal 1 angka 11, yakni: “Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.”
Memanfaatkan secara ekonomi adalah hak eksklusif dari pencipta atau pemegang hak cipta sesuai dengan pasal 8 UU No 28 Tahun 2014, sehingga setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi seorang pencipta wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (1). Kewajiban ini mengandung konsekuensi bahwa dalam hal tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta maka siapapun dilarang menggunakan ciptaan itu secara komersial. Hal ini tercantum dalam Pasal 9 ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut berakibat pada penjatuhan sanksi seperti yang tercantum dalam Pasal 112 pada UU yang sama. Kemudian timbul pertanyaan: (1) apakah pengamen juga harus mendapatkan izin, dan (2) apakah pengamen harus membayar royalti?
Kalau kita melihat pada kata “setiap orang” seperti pada Pasal 9 ayat (1) di atas, maka konsep hak cipta dalam UU 28 tahun 2014 ini tidak mengecualikan pengamen. Namun, adakah para pencipta lagu atau pemegang hak cipta yang mempermasalahkan para pengamen yang menyanyikan lagu-lagu mereka? Sampai sekarang belum ditemukan keberatan yang diajukan oleh para pencipta/pemegang hak cipta terkait perilaku para pengamen ini.
Terkait dengan masalah keharusan membayar royalti, Pasal 23 ayat (5) menyatakan bahwa: setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif. Persyaratan membayar imbalan ini artinya bahwa hak cipta itu perlu perlindungan dari para pengguna yang tidak sah. Fungsi royalti untuk melindungi pemilik hak cipta atau pemegang hak cipta.
Lembaga Manajemen Kolektif hanya sebagai sarana atau agen penagih atau tempat membayar. Siapa saja yang menggunakan karya cipta orang lain berkewajiban membayar royalti kepada Pencipta atau pemegang hak cipta. Kata “setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial” ini menunjukan keterbukaan penggunaan atas karya cipta yang bisa digunakan oleh siapa saja tanpa kecuali namun dengan persyaratan bahwa pengguna tersebut harus membayar royalti. Tidak membayar royalti atas penggunaan hak cipta orang lain dianggap sebagap pelanggaran dan dapat dijatuhi sanksi. Berbeda halnya apabila penggunaan hak cipta orang lain tersebut bukan untuk komersial dan digunakan untuk pementasan yang tidak dipungut bayaran dan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 44 ayat 1 huruf d yang menyebutkan bahwa Penggunaan suatu Ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan secara lengkap untuk keperluan: pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
Lalu, apakah pengamen dianggap melakukan pementasan, atau melakukan pengumuman? Apakah kegiatan pengamen digolongkan pada kegiatan yang memungut bayaran atau tidak?
Pengamen tidaklah melakukan pementasan secara khusus, tapi melakukan pengumuman dan menarik bayaran walaupun hal penarikan kepada pendengar itu hanya serelanya saja atau sekedarnya saja, tapi jelas menarik bayaran. Mengenai “ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta” ini belum ada ketentuan atau ukuran yang pasti. Sebagai gambaran dapat saya sampaikan sebagai berikut: kalau seseorang pengamen yang setiap harinya menyanyikan lagu yang sama terus-menerus dalam kendaraan dan mendapatkan penghasilan Rp. 200.000 sampai Rp. 250.000 sehari, apakah ini disebut sebagai “merugikan kepentingan yang wajar” atau “tidak”. Kalau hal ini dianggap sebagai suatu hal yang merugikan maka berarti pengamen tidak memenuhi Pasal 44 ayat (1) huruf d, yang artinya tindakannya bisa dianggap sebagai pelanggaran yang membawa akibat adanya penjatuhan sanksi terhadap pengamen yang cukup berat hukumannya.
Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan peraturan pelaksananya belum mengatur tentang hal ini. Di sini terlihat bahwa penegakan hak cipta juga menghadapi dilema sosiologis di lapangan yang harus juga mencermati sasaran yang dituju. Apabila sasaran penegakan hak cipta juga menimpa para pengamen jalanan, maka yang terjadi justru sikap resisten yang kontraproduktif bagi tertib sosial di Indonesia secara umum. Bagi negara seperti Indonesia, yang masih berjuang mengangkat derajat 28 juta lebih penduduknya dari jebakan kemiskinan dan kehilangan lapangan kerja, kerapkali kampanye penegakan hak cipta masih dinilai “barang mewah”. (***)