POLEMIK PENOLAKAN IDI SEBAGAI EKSEKUTOR TINDAKAN KEBIRI KIMIAWI
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juni 2016)
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak sebagai eksekotor bagi pelaksanaan tindakan kebiri kimiawi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 (Perppu No. 1 Tahun 2016). IDI beralasan bahwa dokter dilarang untuk mempergunakan pengetahuannya untuk hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan. Sebagaimana dilaporkan oleh Maharani (2016) IDI tetap mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan ancaman hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak. Tentu hal ini menjadi berita buruk bagi pemerintah dan pihak yang pro atas pidana kebiri.
Penolakan dari IDI tersebut, hendaknya harus dilihat dari kacamata hukum pidana. Dalam hal ini terdapat dua aspek. Pertama hukum acara pidana mengenai siapakah yang dimaksud dengan eksekutor dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia. Kedua dari sisi hukum penitensier, yaitu mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan sebagai suatu bentuk pidana dalam kerangka hukum penitensier.
Dokter bukanlah seorang eksekutor bagi pelaksanaan putusan pengadilan mengenai perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 1 angka 6 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tegas diatur bahwa jaksa merupakan pejabat yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian dalam undang-undang khusus (lex specialis) tidak ada yang secara tegas mengatur mengenai wewenang seorang dokter yang bertindak sebagai eksekutor atas putusan pengadilan pidana. Jika demikian pertanyaan kemudian adalah siapakah pejabat yang memiliki wewenang dan kemampuan untuk melaksanakan tindakan kebiri kimiawi? Wakil Presiden Jusuf Kalla kemudian menyatakan bahwa tindakan kebiri dapat dilaksanakan oleh dokter Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dokter Polisi sesuai dengan penugasannya sebagaimana dilaporkan oleh Modo (2016). Tentu pernyataan ini bertentangan dengan prinsip dalam KUHAP tersebut, karena TNI dan polisi tidak memiliki fungsi sebagai seorang eksekutor. Dalam hal ini mungkin dapat dipertimbangkan bahwa seorang dokter yang merupakan pegawai negeri sipil pada Kejaksaan dapat dipertimbangkan untuk dapat diberikan jabatan fungsional sebagai jaksa untuk bertindak sebagai eksekutor putusan pengadilan. Tentu hal ini harus kemudian dipertimbangkan bagaimana mekanismenya mengingat bahwa ada perbedaan fungsional antara pegawai negeri sipil pada Kejaksaan dengan seorang jaksa, sehingga apabila seorang dokter yang merupakan pegawai negeri sipil pada Kejaksaan hendak menjadi seorang jaksa maka harus mengikuti pendidikan dan ujian jaksa untuk kemudian dapat diangkat menjadi jaksa dan melaksanakan tugas penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekutan hukum tetap.
Dalam Pasal 81 ayat (7) Perppu No. 1 Tahun 2016, kebiri kimiawi merupakan suatu tindakan. Kemudian pada Pasal 81A ayat (1) Perppu No. 1 Tahun 2016 dinyatakan bahwa pelaksaaan tindakan kebiri kimiawi dilaksanakan paling lama dua tahun setelah menjalankan pidana pokok. Terkait dengan pelaksaan tindakan kebiri kimiawi tersebut, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan bahwa tindakan kebiri kimiawi hanya diberikan kepada pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak yang merupakan seorang pedofilia. Terkait dengan penolakan IDI tersebut kaitannya dengan hukum penitensier harus dilihat dari dua hal pertama apa yang dimaksud dengan tindakan (maatregelen) dan kedua tujuan dari pemidanaan yang hendak dicapai dari pemberian tindakan kebiri tersebut.
Tindakan (maatregelen) berbeda dengan pidana pokok maupun tambahan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan (maatregelen) diperkenalkan dalam Pasal 44 KUHP, berupa penempatan pelaku tindak pidana ke rumah sakit jiwa selama jangka waktu maksimal satu tahun untuk dilakukan observasi. Pelaku tindak pidana tersebut adalah pelaku tindak pidana yang cacat mental atau gangguan jiwa sejak lahir atau berubah mentalnya atau menderita penyakit jiwa sehingga memiliki unsur kesalahan dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya. Selain itu tindakan (maatregelen) juga diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak (UU No. 11 Tahun 2012), yakni tindakan dikenakan kepada anak yang usianya empat belas tahun ketika melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan tersebut bukan merupakan tindak pidana dengan ancaman pidananya maksimal tujuh tahun. Bentuk-bentuk tindakan (maatregelen) tersebut berupa a) pengembalian kepada orang tua/wali; b) penyerahan kepada seseorang; c) perawatan di rumah sakit jiwa bagi anak yang pada saat melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa; d) perawatan di Lembaga Penyelenggaran Kesejahteraan Sosial; e) kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f) pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g) perbaikan akibat tindak pidana. Tindakan (maatregelen) yang diatur tersebut diberikan apabila pelaku tindak pidana memiliki kualifikasi tertentu dan bentuknya tidak dapat dikatakan seperti penghukuman tetapi lebih pada perawatan atau perlakuan (treatment) sebagai rehabilitasi atas kualifikasi yang dimilikinya. Walau dalam perkembanganya seperti di Belanda tindakan dapat berupa pemberian ganti rugi kepada korban (Remmelink, 2007, 506). Dengan demikian timbul pertanyaan apakah pelaku tindak pidana kejahatan seksual anak yang merupakan seorang pedofilia memiliki kualifikasi sebagai pelaku yang memerlukan perawatan atau perlakuan khusus (treatment) melalui suatu tindakan (maatregelen).
Lebih lanjut tujuan dari pemidanaan apa yang hendak dicapai dari pemberian tindakan (maatregelen) kebiri kimiawi tersebut. Hal tersebut dikarenakan ketentaun Pasal Pasal 81A ayat (1) Perppu No. 1 Tahun 2016 dinyatakan bahwa pelaksaaan tindakan kebiri kimiawi dilaksanakan paling lama dua tahun setelah menjalankan pidana pokok. Tentu setiap pembentukan undang-undang pidana memiliki tujuan untuk pencegahan tindak pidana (prevention) dengan melakukan rehabilitasi dan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan. Pidana pokok untuk pelanggaran pasal tersebut adalah pidana penjara dan/atau denda, sehingga terpidana yang telah menyelesaikan masa hukumannya di lembaga pemasyarakatan telah dilakukan program rehabilitasi dan reintegrasi ke dalam masyakarat sehingga dipandang sebagai manusia yang utuh lagi. Tindakan (maatregelen) yang diberikan pasca menjalankan pidana pokok penjara merupakan suatu penderitaan tambahan yang diberikan tanpa fungsi pemidanaan yang jelas. Metode kebiri kimiawi dilakukan dengan menyuntikan obat kimiwai sehingga pada tubuh pelaku tindak pidana kejahatan sekusal terhadap anak yang dapat menurunkan level hormon testosteron sehingga menurunkan atau menghilangkan libido pelaku. Menurut dr. Boyke Dian Nugroho. Spog. dan Prof. Dr dr Wimpie Pangkahila, SpAnd, FACCS, kebiri kimiawi memiliki dampak yang mengerikan dimana karena hormon testosteronnya turun atau hilang laki-laki akan tumbuh payudaranya (ginokemastia), otot-ototnnya kan menjadi lemah, kemudian mudah gemuk dan obesitas, mudah terserang diabetes, tulang keropos, kurang darah, ganguan pembulu darah dan jantung, gangguan kognitif yang pada akhirnya membuat pelaku kaku seperti robot atau mayat hidup, bahkan bisa menyebabkan meninggal. Hal ini dipandang sebagai bentuk penyiksaan dan hal inilah yang menjadi alasan penolakan IDI untuk menjadi eksekotor tindakan (maatregelen) kebiri kimiawi. Melihat efek samping dari tindakan (maatregelen) kebiri kimiawi tersebut maka hal ini tidak dapat dipandang sebagai suatu bentuk treatment dan rehabilitasi lagi tetapi merupakan bentuk penyiksaan yang dilarang oleh Pasal 7 Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Marabat Manusia yang keduanya telah diratifikasi oleh Indonesia.
Pada akhirnya penolakan yang dilakukan oleh IDI sebagai eksekutor tindakan (maatregelen) kebiri kimiawi dari kaca mata hukum pidana sangat logis. Oleh karena itu jika pada akhirnya Perppu No. 1 Tahun 2016 ini diterima dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai sebuah undang-undang, maka harus dicari solusi atas pelaksanaan eksekusi ini agar jangan sampai Perppu No. 1 Tahun 2016 ini hanya sekedar aturan yang tidak dapat diterapkan. (***)