POTENSI WAKAF UANG DI INDONESIA
Oleh ABDUL RASYID (Juni 2016)
Menurut Pasal 1 butir 1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang dimaksud dengan wakaf adalah ‘perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.’ Jika kita berbicara mengenai perbuatan hukum, maka kita harus mengaitkannya dengan konsekuensi hukum yang timbul dari perbuatan tersebut. Artinya, ketika wakif telah menyerahkan harta bendanya untuk kepentingan wakaf, baik dimanfaatkan untuk selamanya ataupun dalam jangka waktu tertentu, maka harta wakaf tersebut secara otomatis bukan miliknya lagi, tapi sudah menjadi milik umat. Apabila harta wakaf diserahkan untuk dimanfaatkan selamanya, maka konsekuensi hukumnya harta wakaf tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan, atau diwariskan oleh wakif. Jika harta yang diwakafkan itu untuk jangka tertentu, maka harta tersebut juga tidak bisa dijual, dihibahkan, atau diwariskan oleh wakif sampai jatuh temponya.
Harta wakaf tidak selalu identik dengan benda yang tidak bergerak, seperti tanah, bangunan, dan tanaman, tetapi juga bisa berbentuk benda bergerak berupa uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa (lihat Pasal 16 UU No. 41/2004). Perlu dicatat, tidak semua benda bergerak bisa diwakafkan. Benda-benda bergerak, seperti gula, gandum, dan garam, jika dikonsumsi akan habis manfaatnya, tidak bisa dijadikan sebagai harta wakaf.
Terkait dengan harta benda wakaf bergerak berupa uang saat ini mulai gencar digalakkan, karena mempunyai potensi yang sangat besar. Secara sederhana wakaf uang dapat diartikan sebagai ‘wakaf dalam bentuk uang yang dapat dikelola secara produktif dan hasilnya dimanfaatkan oleh mauquf alaih (penerima wakaf)’. Selama ini harta wakaf selalu didentikan dengan tanah, sehingga diasumsikan hanya orang kaya sajalah yang bisa berwakaf. Namun, dengan diberlakukannya wakaf uang, semua orang bisa berwakaf, baik orang kaya maupun yang biasa-biasa saja.
Di Indonesia, wakaf uang mulai dikembangkan pada tahun 2001, tatkala para pakar ekonomi Islam melihat banyaknya aset wakaf di Indonesia tidak diberdayakan secara maksimal. Pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang. Menurut fatwa MUI wakaf uang (cash wakaf/waqf al-nuqud) hukumnya jawaz (boleh). Wakaf uang adalah ‘wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai’. Termasuk pengertian uang ini adalah surat-surat berharga. Meskipun diperbolehkan, nilai pokok wakaf uang mesti dijamin kelestarianya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, serta beberapa aturan lainnya, seperti Keputusan Menteri Agama No. 4/2009 tentang Adminstrasi Pendaftaran Wakaf Uang, juga mengatur pengelolaan wakaf uang. Menurut Pasal 28 UU No. 41 Tahun 2004, wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh menteri.
Wakaf uang bisa dijadikan sebagai salah satu solusi guna memberdayakan aset wakaf nasional yang terbengkalai. Saat ini, menurut Data Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama RI (Maret, 2016), aset wakaf nasional berupa lahan tanah mencapai 4,35 miliar meter persegi yang berada di 435.768 lokasi. Betapa luas dan bernilainya aset wakaf tanah ini! Namun, sayangnya mereka belum diberdayagunakan secara optimal dan sabagian besar hanya digunakan untuk mesjid, kuburan, dan sekolah. Dari sekian banyak aset wakaf nasional tersebut, tentu ada yang bernilai tinggi dan berpotensi untuk dikembangkan, terutama aset wakaf tanah yang berada diperkotaan. Aset wakaf potensial ini bisa diproduktifkan, dijadikan sebagai tempat ibadah plus pusat perdagangan, rumah sakit, perhotelan dan lain sebagainya sehingga hasil yang diperoleh darinya bisa diberikan kepada mauquf alaih. Untuk mengembangkan aset wakaf tersebut tentu perlu dana yang besar. Wakaf uang bisa menjadi salah satu solusi dan memainkan perannya di sini. Menurut Mustofa Edwin Nasution, wakaf uang mempunyai potensi yang sangat besar apabila dikelola dengan baik. Sebagai ilustrasi, jika empat juta Muslim berpenghasilan Rp500 ribu/bulan, dan katakan saja mereka memberikan wakaf uang Rp5.000/bulan, maka akan terkumpul wakaf uang sebesar Rp20 milyar/bulan atau Rp 240 milyar/tahun. Apabila ada sejuta Muslim berpenghasilan 5-10 juta/bulan mewakafkan Rp100 ribu/bulan, maka akan terkumpul wakaf uang Rp100 milyar/bulan atau Rp1,2 triliun/tahun. Bisa dibayangkan betapa besarnya potensi wakaf uang tersebut! Nah, nantinya wakaf uang ini bisa digunakan untuk mengembangkan aset wakaf potensial sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Tentu potensi wakaf uang yang besar ini tidak akan terwujud apabila tidak dikoordinasikan dengan baik dan tanpa dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah. Bagi pemerintah, jika memang sungguh-sungguh ingin mengimplementasikan wakaf uang, mekanismenya sederhana saja, cukup dengan mengeluarkan suatu peraturan/kebijakan tentang penarikan wakaf uang yang ditujukan kepada seluruh jajaran pegawai negeri sipil yang beragama Islam. Wakaf uang akan diambil dari gaji mereka setiap bulannya dan di-autodebet secara otomotis. Nominalnya cukup Rp500 ribu atau Rp100 ribu saja setiap bulannya. Menurut penulis hal ini tentu tidak akan memberatkan karena di samping nominalnya yang tidak terlalu besar, para pegawai negeri sipil yang beragama Islam tersebut juga akan mendapatkan pahala yang terus mengalir sampai mereka tiada. Kita bisa bayangkan betapa besarnya potensi wakaf uang ini apabila peraturan/kebijakan tersebut diimpelemtasikan ke seluruh intansi, baik pemerintah ataupun non-pemerintah. Sosialisasi mesti dilakukan secara terus menerus agar timbul kesadaran dalam diri dan tidak menimbulkan pro dan kontra ketika kebijakan tersebut dijalankan.
Telah dijelaskan di atas, bahwa wakaf uang bisa diwakafkan oleh wakif melalui Lembaga Keuangan Syariah sebagai Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Pengelolaan wakaf uang ini tetap dilakukan oleh nazhir (pengelola wakaf) bekerjasama dengan LKS-PWU. Menurut data Badan Wakaf Indonesia, saat ini sudah terdapat 15 LKS-PWU dan 112 nazhir. Kedua lembaga ini juga mempunyai peran penting dalam meningkatkan potensi wakaf uang. Terkait dengan peran bank syariah, saat ini mereka masih terbatas sebagai LKS-PWU bekerjasama dengan nazhir. Di kemudian hari, di samping sebagai penerima, bank syariah juga diharapkan dapat berperan sebagai pengelola dana wakaf dan menyalurkannya menjadi wakaf produktif dengan kompetensi yang dimiliki bank dalam menganalisis kelayakan usaha. Wallahu a’lam. (***)