HUKUM PERWAKAFAN DI INDONESIA: DARI MASA KE MASA
Oleh ABDUL RASYID (Juni 2016)
Wakaf merupakan salah satu sarana yang digunakan oleh umat Islam dalam menyalurkan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Berbeda dengan zakat yang diatur secara jelas dalam al-Quran, pengaturan wakaf tidak disebutkan secara eksplisit. Meskipun tidak diatur secara eksplisit, terdapat beberapa ayat dalam al-Quran yang memerintahkan umat Islam untuk berbuat baik kepada manusia yang oleh para ulama dipandang sebagai landasan hukum wakaf. Ayat-ayat tersebut antara lain dinyatakan dalam surah al-Haj (22), al-Baqarah (2: 267) dan surah ali-Imran (3:98). Ayat-ayat ini pada prinsipnya memerintahkan manusia agar berbuat baik antar-sesama dengan menyedekahkan harta miliknya.
Kata wakaf berasal dari bahasa Arab, yakni waqafa-yaqifu, yang secara bahasa berarti berhenti, berdiri atau menahan. Dalam bahasa Arab, sinonim kata waqafa adalah habasa yang juga berarti menahan. Kata habasa (habs) biasanya dipergunakan di negara Afrika Utara di kalangan mazhab Maliki. Berdasarkan pengertian secara bahasa tersebut, dapat dipahami secara sederhana bahwa wakaf adalah menahan suatu harta benda yang manfaatnya digunakan untuk kebajikan yang dianjurkan oleh agama.
Wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, wakaf sudah ada semenjak Islam masuk ke Indonesia. Saat itu lembaga wakaf telah menjadi penunjang utama umat Islam. Ia berkembang dan diterima sebagai salah satu sumber finansial penting bagi membangun masyarakat Indonesia dalam setiap aspek kehidupan baik dari segi sosial, politik maupun ekonomi. Kita bisa lihat hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf. Berbicara tentang wakaf, maka kita bisa lepas dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat periodisasi peraturan perundang-undangan tentang wakaf di Indonesia.
Masa Pemerintahan Hinda Belanda
Menurut Daud Ali (2012), pengaturan wakaf sudah ada semenjak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1905, Pemerintah Hindia Belanda, melalui Sekretaris Gubernur, mengeluarkan Surat Edaran No. 435, yang termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6196 tentang Toezicht op den houw van Muhammedaansche bedehuizen. Surat Edaran ini ditujukan kepada para kepala wilayah di Jawa dan Madura kecuali wilayah-wilayah Swapraja. Surat Edaran ini mengatur perwakafan tanah termasuk mesjid dan rumah-rumah ibadah lainnya. Surat Edaran ini juga memerintahkan kepada bupati untuk membuat daftar rumah-rumah ibadah umat Islam yang berada di wilayah mereka masing-masing. Pada tahun 1931, dikeluarkan Surat Edaran No. 1361/A, yang termuat dalam Bijblad 1931 No. 12573, tentang Toizich van de Regeering of Muhammedan schebedehuizen, Vrijdagdienstten en Wakaf. Surat Edaran ini intinya mengatur mewajibkan bupati membuat daftar rumah-rumah ibadah di wilayahnya, juga menegaskan bahwa orang yang mau mewakafkan harta perlu mendapatkan izin dari bupati. Bupati akan menilai maksud perwakafan dan tempat harta yang diwakafkan. Selanjutnya pada tahun 1934, dikeluarkan Surat Edaran Baru ,yakni Bijblad No. 13390 tentang Toezicht Van de Regeering of Mohammedaansche bedehuizen, Verijdogdiesten en wakaf. Surat Edaran ini pada prinsipnya mempertegas surat-surat edaran sebelumnya dengan menambahkan ketentuan bahwa bupati dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat dalam pelaksanaan sholat jumat apabila masyarakat berkehendak demikian. Surat Edaran berikutnya dikeluarkan pada tahun 1935, yaitu Bijblad 1935 Nomor 13480 tentang Teozijh Van de Regeering Muhammedaanssche bedehuizen en Wakafs. Aturan baru yang diatur dalam surat edaran ini yaitu setiap perwakafan harus diberitahukan kepada bupati supaya dapat dipertimbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan tempat yang dilanggar agar bupati dapat mendaftarkan wakaf tersebut dalam daftar yang tersedia. Peraturan perwakafan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, menurut Daud Ali, tidaklah berjalan dengan semestinya. Pada masa penjajahan Jepang, tidak ada peraturan tentang wakaf yang dikeluarkan, maka peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Hinda Belanda masih tetap berlaku. (Daud Ali, 2012)
Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, persoalan wakaf diatur oleh Kementerian Agama. Kewenangan dalam mengelola dan mengatur harta wakaf berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1949 jo. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1980 serta berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 9 dan No. 10 tahun 1952. Menurut Peraturan Menteri Agama No. 9 dan No. 10 tahun 1952 jawatan urusan agama dengan kantor-kantor saluran vertikal di daerah-daerah KUA Pusat, KUA Kabupaten, dan KUA Kecamatan mempunyai salah satu kewajiban menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi atau menyelenggarakan pemilihan wakaf. Lebih lanjut, menurut peraturan tersebut, perwakafan tanah menjadi wewenang Menteri Agama yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala Kantor Urusan Agama.
Pada tanggal 5 Maret 1956, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agraria membuat Keputusan Bersama No. Pem. 19/22/23/7.SK/62/Ka/59, terkait dengan pengesahan perwakafan tanah milik yang semula menjadi wewenang bupati dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria. Pelaksanaan selanjutnya diatur dengan Surat Pusat Jawatan Agraria Kepala Pusat Jawatan Agraria tanggal 13 Februari 1960 No. 2351/34/11. Peraturan-peraturan ini mengindikasikan bahwa pemerintah serius dalam mengurus dan menjaga kelestarian tanah wakaf yang ada. Selanjutnya terdapat beberapa peraturan yang juga dikeluarkan oleh Departemen Agama pada tahun 1953 terkait dengan petunjuk-petunjuk mengenai wakaf dan Surat Edaran Jawatan Urusan Agama tanggal 8 Oktober 1956, No. 3/D/1956 tentang Wakaf yang bukan Milik Kemasjidan. Kemudian demi pembaruan hukum agraria di Indonesia, persoalan tentang perwakafan tanah diberi perhatian khusus oleh pemerintah sebagaimana terlihat dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Pasal 49 UUPA ini mengatur hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial. Terkait dengan perwakafan tanah milik, Pasal 49 ayat (3) UUPA menyatakan bawah hal tersebut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah tersebut baru dikeluarkan oleh Pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977, PP No. 28 tentang Perwakafan Tanah Milik. PP ini dikeluarkan karena sebelumnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan tanah milik belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan dan juga bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginakan disebabkan tidak adanya data-data yang lengkap mengenai tanah-tanah wakaf. Masih banyak lagi aturan-aturan teknis tentang wakaf pada periode ini yang tidak akan dijelaskan dalam tulisan ini. Pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden mengesahkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1992 kepada Menteri Agama agar menyebarluaskannya. KHI ini terdiri dari tiga buku, buku III KHI ini mengatur hukum perwakafan. Buku III ini memuat 15 Pasal, dari Pasal 215 sampai dengan 229 yang mengatur substansi wakaf maupun teknis perwakafannya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami pada masa ini cukup banyak peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang mengatur tentang perwakafan. Hal ini menandakan bahwa pemerintah sangat serius untuk mewujudkan ketertiban atas harta wakaf baik dari segi hukum maupun administrasinya sehingga lembaga perwakafan ini bisa berjalan dengan sebaik mungkin.
Masa Reformasi
Meskipun pada masa kemerdekaan telah banyak peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan perwakafan, namun peraturan-peraturan tersebut dianggap masih belum mencukupi, karena tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan pada umumnya mengatur tentang wakaf tanah, sebagaiman halnya yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977. Sehingga wakaf hanya identik dengan mesjid, kuburan, dan madrasah saja. Oleh karena itu, pengelolaan wakaf di Indonesia tidak berkembang dan mengalami stagnasi. Padahal di berbagai negara Muslim, pengelolaan wakaf sudah mulai berkembang, dengan melakukan berbagai inovasi dalam mengelola harta wakaf sehingga manfaatnya betul-betul dinikmati oleh mauquf alaih. Berdasarkan permasalahan di atas, guna mengelola harta wakaf secara eketif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum, maka pada tahun 2004 Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia menetapkan UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. UU ini cukup konfrehensif dan inovatif, terdiri dari 71 Pasal dan XI Bab. UU ini secara tegas mengatur bahwa harta wakaf tidak hanya harta benda tidak bergerak, tapi juga termasuk harta benda bergerak, seperti uang. (Lihat Pasal 16). Selain itu juga diatur mulai dari pembentukan nazhir, pengelolaan harta wakaf sampai dengan pembentukan Badan Wakaf Indonesia guna memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Badan Wakaf Indonesia ini merupakan lembaga independen dalam melaksanakn tugasnya (Pasal 47). Agar UU ini berjalan dengan efektif, pada tahun 2006 pemeritah mengeluarkan PP No. 42 Tahun 2006 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Wakaf. Dengan adanya UU No. 41 Tahun 2004 serta peraturan pelaksananya semakin mengokohkan pentingnya eksistensi wakaf di Indonesia. Wallahu ‘alam. (***)