ASPEK PERDATA DAN PIDANA DALAM PENYELESAIAN KASUS KETENAGAKERJAAN
Oleh IRON SARIRA (Juni 2016)
Ada banyak aspek yang melingkupi kasus-kasus yang muncul seputar ketenagakerjaan (hubungan indutrial). Dalam tulisan ini akan diangkat dua aspek saja, yakni ranah perdata dan pidana, yang sebagian diambil dari refleksi pengalaman penulis menangani kasus-kasus demikian.
Ranah Hukum Perdata
Permasalahan ketenagakerjaan dalam ranah hukum perdata banyak terjadi karena bertolak dari perselisihan perjanjian. Dalam Pasal 1338 KUH Perdata dikatakan perjanjian itu berlaku seperti halnya undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri. Jadi, dalam hal suatu perjanjian telah memenuhi syarat sahnya (1320 KUH Perdata), maka wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh para pihak yang berjanji, seperti layaknya undang-undang bagi mereka. Tentu tidak semua hal dicantumkan di dalam perjanjian itu. Ada hal-hal yang memang sudah menjadi ketentuan memaksa dalam peraturan perundang-undangan, bahkan kebiasaan, yang juga mengikat untuk dipatuhi, terlepas hal itu tidak dicantumkan secara eksplisit dalam perjanjian.
Konkretnya dapat disajikan satu contoh kasus sebagai berikut. Seorang tenaga kerja telah mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian kerja dengan status hubungan kerja kontrak (PKWT) dan telah menyepakati dengan penandatanganan perjanjian kerja tersebut pada tanggal 1 November 2013 (untuk jangka waktu 1 tahun). Salah satu isi pasal dalam perjanjian disebutkan bahwa hubungan kerja dimulai pada tanggal 1 Desember 2013. Pada perjalanannya, si tenaga kerja sebelum pelaksanaan tanggal hubungan kerja dimulai, memberikan informasi secara verbal kepada pihak perusahaan bahwa dirinya tidak jadi untuk bekerja dengan alasan tidak disetujui oleh pimpinan perusahaan yang lama untuk keluar, dan ditawarkan dengan remunerasi lebih berupa promosi dan peningkatan gaji dan benefit. Tenaga kerja (atau tepatnya kandidat) yang telah menandatangani PKWT tersebut menyampaikan pengunduran dirinya secara tertulis dan menyerahkan kepada calon atasannya melalui pihak ke-3 (sebutlah, cleaning service) pada perusahaan tersebut. Surat tersebut sampai ke bagian HRD terkait pada saat tanggal hubungan kerja dimulai (di atas tanggal 1 bulan Desember 2013). HRD perusahaan calon tenaga kerja berdasarkan informasi dan koordinasi dengan atasan calon karyawan tersebut meminta untuk dikirimkan surat panggilan pertama atas si calon karyawan karena tidak hadir pada hari pertama dan seterusnya, sehingga dilakukan pengiriman surat panggilan kedua atas ketidakhadiran yang melebihi lima hari kerja sehingga apabila tidak hadir sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam surat panggilan kedua, maka akan dikualifikasikan bahwa calon tenaga kerja tersebut melakukan pengunduran diri akibat kemangkiran lima hari kerja. Atas konsekuensi ini, maka penguduran diri si calon tenaga kerja tersebut mempunyai implikasi terhadap konsekuansi penalty atas kontrak yang telah ditandatangani, dan wajib membayar atas tidak terpenuhinya bulan selama kontrak dikalikan upah yang disepakati.
Bagaimana kasus ini antara lain dapat ditangani menurut mekanisme keperdataan? Setelah pelayangan surat panggilan ke-2 tidak terealisasi dengan pertemuan sesuai dengan tanggal dan tempat yang telah disepakati, maka pihak perusahaan seharusnya masih dapat melakukan pemanggilan secara verbal melalui kontak telepon atau email ke calon tenaga kerja untuk membicarakan permasalahan yang terjadi dan mencari jalan keluarnya bagaimana berdasarkan asas musyawarah untuk mufakat. Perusahaan akan mempertanyakan kewajiban tenaga kerja atas perjanjian yang telah disepakatinya dan apabila tidak dapat dipenuhi, maka tenaga kerja tersebut wajib memenuhi kewajibannya atas konsekuesi penalti yang diatur dalam perjanjian yang telah disepakati. Apabila penanganan secara bipartit ini tidak dapat diselesaikan, maka pihak perusahaan dapat meneruskan permasalahan ini dengan mengajukan permohonan untuk proses tripartit (dalam hal ini adalah mediasi) dengan keterlibatan pihak pemerintah yang dalam hal ini dapat diajukan ke Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja di wilayah Kabupaten atau Kota atau langsung ke tingkat Kantor Dinas Provinsi setempat, berdasarkan tempat terjadinya kontrak (locus contractus).
Perlu diingatkan bahwa proses mediasi merupakan salah satu cara dari proses penyelesaian perselisihan di luar pengadilan (alternative dispute resolution) yang wajib dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa hingga dikeluarkannya suatu anjuran dari mediator sebagai akhir proses bahwa proses berakhir secara tidak sepakat. Manakala proses tersebut berakhir secara tidak sepakat, maka salah satu pihak dapat melanjutkan permasalahan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah terjadinya sengketa melalui Pengadilan Negeri setempat. Hingga akhirnya permasalahan ketenagakerjaan dalam kasus yang disebutkan di atas dapat saja masuk hingga pada tingkat pengajuan kasasi di Mahkamah Agung.
Ranah Hukum Pidana
Kedudukan hukum ketenagakerjaan dapat bersinggungan dengan ranah hukum pidana, misalnya, manakala terjadi suatu penggelapan yang dilakukan oleh pekerja yang diakibatkan karena adanya kewenangan yang dimilikinya dalam suatu posisi jabatan. Kewenangan atas suatu jabatan merupakan otoritas yang dimiliki oleh seorang pekerja apabila ia dipercayakan memegang suatu jabatan yang didasarkan atas suatu perjanjian atau penunjukan. Pasal 374 KUHP menyatakan penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Biasanya seorang pekerja yang melakukan tindakan penggelapan dan telah memiliki minimal dua alat bukti (misalnya ada saksi dan pengakuan), akan diminta secara baik-baik untuk melakukan pengunduran diri dari perusahaan. Hal ini (meminta untuk melakukan pengunduran diri) adalah sesuatu yang “sulit” untuk dilaksanakan. Untuk itu diperlukan trik yang jitu dalam proses negosiasi yang dilakukan. Berdasarkan pengalaman penulis selama ini, permintaan untuk mengajukan pengunduran ini biasanya cukup berhasil dalam rangka mengakhiri suatu hubungan kerja.
Pada awalanya, biasanya pekerja memang tidak selalu bersedia melakukan pengunduran diri. Sebagai eksekutor dalam kasus-kasus seperti ini, memang sebaiknya dilakukan upaya persuasif kepada pelaku. Tujuannya agar si tenaga kerja dapat secara sukarela memberikan pernyataan bahwa benar ia mengakui telah melakukan penggelapan dalam kewenangan yang dimilikinya. Apabila dua bukti penggelepan telah dimiliki, maka dapat dilakukan “ancaman” kepada pelaku bahwa apabila tidak mau mengundurkan diri, maka permasalahan ini akan dilaporkan kepada pihak Kepolisian untuk diusut lebih lanjut sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Biasanya gambaran terkait lamanya proses pidana dan hal-hal lain berupa tekanan sosial, material, dan sanksi hukuman yang akan dilalui oleh pelaku, akan membuat pelaku merasa tidak nyaman. Apabila pilihan akhirnya adalah harus melalui proses pidana, maka laporan diajukan ke Kepolisian (delik aduan) untuk kemudian dilakukan pemanggilan, bahkan sampai penangkapan terhadap pelaku.
Perlu diingat, manakala terjadi tuntutan pidana ke Kepolisian atas kasus-kasus penggelapan, maka permasalahan ini sudah menjadi permasalahan antara negara melawan si pelaku sebagai subjek hukum pidana. Hubungan kerja yang terjadi dapat terputus manakala oleh pihak yang berwajib (di tingkat Kepolisian), yang bersangkutan ditetapkan statusnya sebagai tersangka. (***)