LSM SEBAGAI SUBJEK PENGGUGAT DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Oleh SHIDARTA (Juni 2016)
Dalam sejarah hukum Indonesia pasca-kemerdekaan, butuh waktu lebih dari empat dasawarsa untuk memposisikan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi non-pemerintah atau aliansi masyarakat sejenis yang didirikan dengan semangat idealisme tertentu, agar diberi kewenangan beracara (legal standing, ius standi) di pengadilan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tercatat sebagai pendobrak pertama tatkala pada tahun 1988 ia diberi hak beracara menggugat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat, Gubernur Sumatera Utara, Menteri Perindustrian, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan PT Inti Indorayon di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sejak itu sudah cukup banyak lembaga swadaya masyarakat, satu dan lain hal karena diberi kesempatan di dalam undang-undang terkait, untuk menggunakan asas point d’interet point d’action dalam gugatan perdata. Artinya, dalam hukum acara perdata sudah dimungkinkan lembaga swadaya masyarakat tertentu berposisi sebagai penggugat dengan sejumlah syarat. Misalnya saja, di dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dipersyaratkan organisasi ini harus berbentuk badan hukum atau yayasan, dan dalam anggaran dasar organisasi itu disebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi ini, yaitu memang untuk kepentingan yang relevan dengan substansi perkara hukum tersebut. Organisasi yang bersangkutan tidak sekadar mencantumkan idealismenya itu di dalam anggaran dasar, melainkan juga harus sudah melaksanakan kegiatan yang diamanatkan anggaran dasarnya itu.
Namun, perkembangan yang memperluas subjek penggugat ini seakan-akan hanya berlangsung dalam ranah hukum [acara] perdata dan sangat mungkin, menimbulkan keraguan di sejumlah pihak apakah dapat juga berlaku di area hukum lain, yakni tata usaha negara. Adalah tugas penting untuk mencermati apakah sebenarnya ada perbedaan yang signifikan antara perluasan subjek penggugat dalam hukum [acara] perdata itu dan subjek penggugat dalam hukum tata usaha negara ini? Dengan perkataan lain, apa yang membedakan dan menyamakannya legal standing lembaga swadaya masyarakat dalam ranah hukum perdata dan hukum tata usaha negara?
KRETERIA FORMAL ATAS SUBJEK PENGGUGAT
Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009) memang tidak disebut-sebut definisi tentang penggugat. Hal ini berbeda dengan definisi atas tergugat (lihat Pasal 1 butir 12). Sekalipun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 10 (sebelumnya dicantumkan pada butir 4) dan Pasal 53, dapat diketahui siapa yang dimaksud dengan subjek penggugat dalam sengketa tata usaha negara.
Pasal 1 butir 10 dan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa yang berhak mengajukan gugatan adalah seseorang atau badan hukum perdata. Subjek hukum yang disebut ‘seseorang’ di sini adalah orang perorangan (natuurlijke persoon), sementara subjek hukum lainnya adalah ‘badan hukum perdata’. Istilah badan hukum perdata di sini dapat ditafsirkan sebagai pembeda dengan kategori lain, yakni badan hukum publik. Apa yang disebut dengan badan hukum perdata, jika mengacu pada Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah perkumpulan.
Sekitar setahun yang lalu (Juni 2015), rekan-rekan dari suatu perkumpulan yang bernama Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial) mengajak penulis berdiskusi tentang dimungkinkan tidaknya perkumpulan ini berposisi sebagai penggugat di lingkungan peradilan tata usaha negara. Diangkatnya topik ini mengingatkan kembali tentang diskusi dengan rekan-rekan dari Imparsial tersebut. Apabila perkumpulan tersebut banyak disebut-sebut dalam tulisan ini, hal itu sekadar contoh untuk membantu memperjelas pandangan penulis terkait topik tulisan ini.
Jika persoalannya adalah apakah Imparsial adalah subjek hukum atau bukan, jelas hal ini tidak perlu diragukan. Ia didirikan berdasarkan hukum Indonesia dengan Akte Pendirian No. 10/25 Juni 2002 di hadapan Notaris Rina Diani Moliza, S.H., yang beralamat di jalan Tebet Utara II C Nomor 25 Jakarta Selatan, Jakarta 12810. Artinya, Perkumpulan Imparsial adalah subjek hukum yang diakui sah berdiri menurut hukum di Indonesia. Subjek hukum ini adalah “orang” yang dibentuk menurut hukum (rechtspersoon), yang berkompeten menyandang hak dan kewajiban. Patut dicatat, bahwa subjek hukum di sini tidak selalu harus berbadan hukum.
Dengan demikian, secara formal, Imparsial untuk sementara dapat disimpulkan merupakan subjek hukum yang seharusnya memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan menurut ketentuan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Sayangnya, pandangan ini tidak sempat teruji. Sebagai informasi dalam perkembangannya kemudian, kasus gugatan Imparsial ini kandas pada babak awal di PTUN Jakarta. Putusan hakim PTUN sama sekali tidak menyinggung soal legal standing Imparsial. Dalam putusan PTUN Jakarta tanggal 29 Juli 2015, majelis hakim menyatakan PTUN tidak berwenang mengadili gugatan tersebut karena mereka menilai keputusan pembebasan bersyarat (terhadap Pollycarpus) tidak termasuk objek sengketa di PTUN. Dengan perkataan lain, soal apakah LSM bisa tampil sebagai penggugat dalam peradilan PTUN memang belum terjawab melalui putusan tersebut.
KRITERIA MATERIAL ATAS SUBJEK PENGGUGAT
Jika kita berandai bahwa kasus di atas tetap berjalan dan tidak dimentahkan di babak awal, berarti Imparsial dapat disimpulkan telah memenuhi kriteria formal sebagai subjek hukum. Bagaimana dengan kriteria materialnya? Untuk itu kata kunci yang penting sebagaimana disebutkan dalam asas point d’interet point d’action, maka pertama-tama harus diperiksa apakah Imparsial memiliki kepentingan (interest) itu. Kepentingan di sini selama ini kerap dimaknai harus langsung berhubungan dengan objek sengketa.
Objek sengketa tata usaha negara dalam konteks perkara a quo (yang dimintakan oleh rekan-rekan Imparsial kepada penulis) adalah Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. WII.PK.01.05.06-0028 tanggal 13 November 2014 tentang Pemberian Pembebasan Bersyarat atas Nama Narapidana Pollycarpus Budihari Priyanto. Keputusan ini jelas adalah keputusan tata usaha negara yang memenuhi syarat konkret, individual, dan final. Jika dikatakan bahwa kata kunci dari lahirnya kewenangan dari subjek penggugat di sini adalah adanya kepentingan (interest), maka kepentingan macam apa yang secara meyakinkan telah ada dan dimiliki oleh Imparsial dalam konteks pemberian Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. WII.PK.01.05.06-0028 ini?
Untuk itu dapat dilihat pertama-tama dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Di sini terdapat kata “kepentingan.” Artinya, Menteri Hukum dan HAM seharusnya mengambil keputusan dengan terlebih dulu mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut, untuk mengambil atau tidak mengambil keputusan tertentu.
Imparsial dapat menilai ada kepentingan masyarakat luas yang tidak ikut dipertimbangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada saat surat keputusan ini akan untuk dikeluarkan. Kepentingan yang dimaksud di sini secara garis besar terkait dengan belum tuntasnya pengungkapan kasus Munir oleh aparat penegak hukum karena dengan dihukumnya Pollycarpus ternyata masih menyisakan pertanyaan besar tentang siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan Munir. Terpidana Pollycarpus adalah tokoh kunci, tetapi ia tidak cukup kooperatif untuk menuntaskan kasus yang menempatkan negara Indonesia dalam sorotan dunia internasional ini. Gagalnya negara hukum Indonesia membongkar siapa dalang dari kasus ini akan membuat negeri ini tidak lagi sanggup tampil terhormat sebagai negara yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Imparsial adalah lembaga swadaya masyarakat yang jelas didirikan dengan semangat idealisme untuk menegakkan semangat penghormatan terhadap hukum dan hak-hak asasi manusia. Persis sama degnan semangat idealisme dari keberadaan Kementerian Hukum dan HAM dalam portofolio Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Kepentingan di atas adalah kepentingan yang paling fundamental. Tentu saja Imparsial memiliki kepentingan lain-lain sebagaimana telah diungkapkan dalam alasan-alasan pengajuan gugatan ini. Sebagian alasan yang diajukan boleh jadi berdimensi subjektif, seperti Almarhum Munir adalah pendiri dan mantan direktur Imparsial. Dengan demikian ada ikatan emosional yang sangat kuat antara Imparsial dan Almarhum Munir. Alasan-alasan ini tetap layak dipertimbangkan, namun sesungguhnya alasan-alasan ini lebih memposisikan Imparsial sebagai subjek penggugat yang ikut menjadi “korban”. Padahal, ada alasan yang lebih fundamental untuk menghargai posisi penggugat sebagai subjek hukum (pihak ketiga) yang berkepentingan karena idealismenya, dengan memberikan legal standing kepada lembaga swadaya masyarakat ini.
ARGUMENTASI PENGAKUAN LEGAL STANDING LSM
Posisi Imparsial (contoh perkumpulan LSM yang diangkat dalam tulisan ini) adalah sebagai badan hukum perdata yang memiliki kepentingan fundamental dalam hal dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM WII.PK.01.05.06-0028. Kepentingan ini ada dalam konteks idealisme yang dibangun oleh Imparsial sebagai suatu lembaga swadaya masyarakat. Pemberian kewenangan legal standing bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat, sebagaimana sudah lazim dipraktikkan di bidang hukum perdata berangkat dari alasan idealisme ini. Oleh sebab itu, hal yang sama seharusnya juga diterapkan dalam area hukum tata usaha negara. Artinya, Imparsial layak diberikan legal standing untuk menjadi pihak penggugat dalam perkara a quo.
Pasal 53 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tidak memberi pembatasan (limitasi) tentang badan hukum perdata seperti apa badan hukum perdata yang boleh dan tidak boleh menjadi subjek penggugat. Dengan perkataan lain, di sini tidak ada beban bagi majelis hakim untuk nanti dinilai telah melakukan konstruksi hukum (analogi) atas ketentuan beracara dalam hukum tata usaha negara dengan hukum acara perdata. Pemberian status legal standing adalah suatu konsekuensi logis dari penghormatan atas asas point d’interet point d’action, suatu asas yang paling fundamental dalam ketentuan hukum acara (dalam bidang hukum apapun).
Kata “kepentingan” yang ada dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara membuka ksempatan emas dilakukannya penemuan hukum melalui penafsiran ekstentif bahwa kepentingan di sini adalah kepentingan semua pihak, yang telah dipertimbangkan secara komprehensif. Kepentingan inilah yang telah dicederai dalam penerbitan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM WII.PK.01.05.06-0028. Pertimbangan yang telah diberikan semata-mata demi menunaikan hak terpidana Pollycarpus yang telah menjalani sekian masa hukumannya dengan perilaku baik. Apalagi pihak penggugat ternyata juga menunjukkan bukti bahwa pertimbangan yang tidak proporsional tersebut (dengan semata-mata berangkat dari kepentingan terpidana) juga mengandung cacat-cacat secara administratif/prosedural.
Pertimbangan terkait ketidakmauan terpidana untuk secara kooperatif menuntaskan kasus pembunuhan Munir ini dan dampak perbuatannya bagi martabat bangsa dan negara di mata internasional, telah mencederai perjuangan dan idealisme lembaga-lembaga swadaya masyarakat seperti Imparsial. Atas nama idealisme itulah seharusnya Imparsial diberi tempat untuk menjadi pihak dalam gugatan ini.
Roscoe Pound (1870-1964) adalah tokoh penting yang memberikan doktrin tentang perlunya negara, khususnya lembaga peradilan, berpihak pada penghormatan atas kepentingan sosial. Pound dalam tulisannya berjudul “A Survey of Social Interests” membedakan kepentingan dalam tiga kelompok, yakni kepentingan individu, kepentingan publik, dan kepentingan sosial. Negara (dalam hal ini termasuk peradilan) memiliki tugas untuk berperan sebagai entitas yuridis (a juristic person) dan sebagai pengawal kepentingan sosial (a guardian of social interests). Pada posisi sebagai entitas yuridis, negara harus memastikan tidak ada hak-hak individu yang dilanggar, tetapi pada saat bersamaan ia juga harus mengawal hak-hak masyarakat sebagai mahluk sosial.
Jika dikembalikan kepada konteks perkara ini, maka hak Pollycarpus untuk mendapatkan pelepasan bersyarat seharusnya tidak boleh dipersoalkan seandainya saja hak-hak yang sama dari Almarhum Munir dan keluarganya telah ditunaikan secara proporsional melalui sistem hukum negara ini. Sayangnya, hal inilah yang justru tengah terus diperjuangkan melalui semangat idealisme lembaga seperti Imparsial. Dengan tetap mengedepankan pentingya penghormatan hak-hak individu tersebut, Pound dalam artikelnya berjudul “The Spirit of Common Law” memberi pesan sebagai berikut: “Although we think socially, we must still think of individual interests, and of that greatest of all claims which a human being may make, the claim to assert his individuality, to exercise freely the will and reason which God has given him. We must emphasize the social interest in the moral and social life of the individual. But we must remember that it is the life of a free-willing being.” Kasus Munir akan menjadi test-case bagi bangsa ini apakah anak-anak bangsa ini memiliki “a free-willing being” itu tadi. (***)